Mohon tunggu...
Rayhan Azhar Widyaputra
Rayhan Azhar Widyaputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis, Pelukis, Perintis.

Hi, I'm new here!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah, Rumah Kedua Anak yang Tidak Lagi Terasa seperti Rumah

10 Maret 2024   23:14 Diperbarui: 10 Maret 2024   23:15 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan terhadap anak (Antaranews)

Kekerasan terhadap anak seakan menjadi hal yang lumrah di negeri kita. 

Perundungan, pemukulan, hingga kekerasan seksual terhadap anak sudah menjadi makanan sehari-hari yang seringkali diberitakan media. Indonesia nampak seperti tidak punya tempat yang aman untuk anak-anak penerus bangsa. Kasus kekerasan pada anak kian melonjak dari tahun ke tahun, maraknya pemberitaan mengenai pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak semakin terlihat mengkhawatirkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2022. 

Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, menyebutkan bahwa kenaikan laporan kekerasan terhadap anak meledak dari 14.517 kasus di tahun 2021, hingga 16.106 kasus di tahun 2022. Sekolah pun tidak luput dari permasalahan ini, menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), terdapat 717 korban kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah dengan jumlah korban anak laki-laki sebanyak 334 orang dan anak perempuan sebanyak 383 orang, angka yang sangat miris bukan?

Ilustrasi unjuk rasa siswa di sekolah (Save the Children Indonesia)
Ilustrasi unjuk rasa siswa di sekolah (Save the Children Indonesia)

Data-data tersebut menunjukkan betapa tidak amannya lingkungan pendidikan Indonesia sebagai tempat tumbuh dan berkembang anak kita, sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak malah berubah menjadi tempat yang menyeramkan bagi mereka. Hal ini tentunya perlu kita pahami dan bahas dengan lebih dalam, lingkungan belajar yang aman dan nyaman sangat diperlukan untuk mengembangkan potensi anak, terutama saat jenjang sekolah yang masih sangat dini, termasuk pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD). Maraknya peristiwa kekerasan di sekolah tentunya merupakan satu hal yang sangat disayangkan dan harus segera kita benahi. Salah satu tindak kekerasan yang sering terjadi di sekolah adalah kekerasan fisik, bentuk kekerasan ini seringkali terjadi di lingkup sekolah, baik itu di antara murid seperti tawuran dan bullying, hingga kekerasan berbentuk “pendisiplinan” yang kerap dilakukan oleh para guru.

Peristiwa seperti bullying baik secara verbal maupun fisik seakan dianggap hal yang wajar bagi kebanyakan guru-guru di Indonesia, “Namanya juga anak-anak” kata mereka. Padahal, dampaknya dapat terlihat dengan jelas, terutama pada kekerasan fisik yang dapat melukai bahkan sampai membunuh korbannya. Penting bagi seluruh pihak yang berwenang untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung pertumbuhan siswa-siswanya, di mana tindakan kekerasan tidak diterima dan pengetahuan, keterampilan, serta dukungan dapat ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan.

Ilustrasi kekerasan terhadap anak (Kompas) 
Ilustrasi kekerasan terhadap anak (Kompas) 

Peristiwa seperti ini tentu tidak sepenuhnya kesalahan dari sisi pendidik, murid itu sendiri juga seringkali bertindak sebagai pelaku dalam kasus-kasus kekerasan yang belakangan ini sering terjadi, seperti kasus penganiayaan siswa SMK yang dikeroyok oleh senior-seniornya di Semarang, kasus siswi SD yang ditendang kemaluannya hingga berdarah di Solo, hingga kasus siswi SMP yang didorong temannya hingga kakinya cedera di Mojokerto. 

Beberapa faktor yang mendorong anak-anak untuk melakukan tindakan kekerasan diantaranya adalah kurangnya pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan, keluarga tidak harmonis (broken home) yang dapat membuat perilaku anak menjadi lebih agresif, orang tua yang terlalu memanjakan anaknya sehingga anaknya merasa bisa bertindak semaunya tanpa konsekuensi serius, hingga tinggal di lingkungan yang menormalisasi kekerasan. 

Ilustrasi anak sekolah dasar (Shutterstock)
Ilustrasi anak sekolah dasar (Shutterstock)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun