Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gelombang Corona, Puasa, dan Kesenjangan Sosial

30 April 2020   11:32 Diperbarui: 30 April 2020   11:32 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulan puasa dan bahaya Corona (Dok. Fahri/diolah dari Katadata)

ADA kegelisahan yang kadang kala kita liat dari wajah mereka yang berpuasa Ramadhan 1441 Hijriah, di tengah musim pandemic Corona Virus (Covid-19). Betapa tidak, segala usaha untuk mendapatkan kebutuhan ekonomi serba dibatasi. Kebebasan rakyat diawasi. 

Singkatnya di era pandemic kesenjangan sosial begitu terlihat. Rakyat saling berjarak. Tempat dan fasilitas-fasilitas umum yang dulunya menjadi wahana pertemuan masyarakat, seperti di rumah ibadah, tepat olahraga, rumah kopi, dan ruang public lainnya menjadi sunyi senyap karena Covid-19. Rakyat dianjurkan menjaga jarak sosial, tetap di rumah saja.

Puasa kali ini tidaklah mudah, sebagian besar umat islam sudah harus rela tidak boleh melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah. Belum lagi rakyat prasejahtera makin kesulitan mengakses ekonomi. Aktivitas ekonomi seperti mengalami mangkrak, mereka rakyat tidak leluasa lagi. 

Hal sederhana yang menambah pemasukan rakyat berupa penjual takjil Ramadhan, tidak diberikan kesempatan berjualan lagi. Realitas itu kita temukan di Kota Manado. Alasan pemerintah setempat adalah membatasi penyebaran Covid-19.

Rakyat diminta tampil di depan dalam upaya melawan penyebaran wabah Covid-19. Begitu miris, ketika rakyat memerlukan bantuan pangan (logistik) pemerintah belum mampu memberikan secara baik. Selain penyaluran bantuan sosialnya lamban, paket bantuan pun hanya apa adanya. Bias bertahan 1 sampai 2 minggu saja.

Bulan suci Ramadhan 1441 Hijriah atau di masa 2020, penuh rintangan. Mereduksi kebersamaan rakyat. Kegiatan seperti aktivitas keagamaan umat Islam yang dilakukan, telah ditiadakan. Tadarus Al-qur'an, tarawih berjamaah di masjid tidak terlihat lagi. Rakyat atau jamaah kita diimbau untuk melakukan segala aktivitas peribadatan di rumah masing-masing.

Tantu hal berpengaruh pada relasi sosial kita, keakraban rakyat menjadi berkurang. Menurun, terkikis dan mulai lemah soliditas di tengah-tengah rakyat. Apa yang mau kita harapkan, sementara pemerintah menginstruksikan rakyat bersatu.

Serba dilema posisi rakyat saat ini. Ketika melaksanakan rutinitas kesehariannya di rumah, mereka dituduh membangkang perintah (imbauan dan ajakan) pemerintah. Daerah yang belum berstatus Pembebasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga mulai menerapkan disiplin yang bukan main. 

Tidak sewajarnya dilakukan. Pemerintah kita seperti menampilkan proses edukasi public yang cacat. Mereka nyaris gagal membedakan imbauan, ajakan, rekomendasi dan juga intsruksi.

Permasalahan itu kita temukan di lapangan. Rakyat yang melaksanakan shalat atau kegiatan keagamaan di rumah ibadah dituding sebagai mereka yang melawan, padahal tidak seperti itu. Namanya saja ikhtiar, semua manusia punya cara untuk melakukan ikhtiar masing-masing. Rasa-rasanya logika yang dipakai pemerintah mulai amburadul, tidak sejalannya hak dan kewajiban diberikan kepada rakyat.

Sederhananya jika minta rakyat di rumah saja, pemerintah harus memberi makan rakyat. Bulan puasa yang menantang, tidak mudah bagi rakyat utamanya mereka yang memiliki derajat ekonomi lemah. Pemerintah dengan percaya dirinya, gagah berani meminta rakyat bersatu melawan penyebaran Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun