Tapi, setelah ada konfirmasi bahwa ternyata tidak demikian, maka yang muncul kemudian adalah klafirikasi. Kalau berpolitik tanpa ada cara-cara tabayyung juga memang sulit. Dalam situasi itu, berarti kita perlu saling menghargai sikap dan keputusan politik setiap orang. Termasuk Prabowo.
Jagat politik akan aman terkendali kalau para politisi kita menunjukkan sikap saling legowo. Menghargai sikap satu sama lainnya. Politik itu jalan yang penuh rintangan. Penuh pula dengan pembagian kekuasaan. Yang mendapat bagian kecil, dianggap tidak adil, kadang mereka beroposisi.
Itu biasa dalam praktek politik. Jangan didramatisir berlebihan. Menariknya, yang perlu juga ditelisik ialah cara penggalangan kekuatan dari sang Presiden Jokowi. Bagaimana pun, Jokowi memiliki kekuatan mengumpulkan dan menghancurkan kekuatan politik.
Semua gerak politik di tanah air, utamanya konstalasi politik Nasional akan ditentukan Jokowi. Kawan ia akrapi lagi menjadi kawan, bahkan seperti saudara. Lawan jadi kawan, lawan tetap jadi lawan. Atau, kawan ia posisikan sebagai lawan, semua saat ini dalam konteks bagi-bagi jatah di Kabinet menjadi kewenangan Presiden Jokowi.
Siapapun yang hebat mendikte, kita sebagai masyarakat awam pasti kurang percaya. Tetap, yang mengatur itu atas resti Presiden. Politik konspirasi ala Jokowi cukup menarik dikaji. Lihat saja, Prabowo sebagai rival politik, kita dirangkulnya. Publik belum tau spesifiknya konsesi politik apa saja yang diberikan.
Dengan merapatnya Prabowo, bertanda Jokowi telah menang lagi. Tentu menang dalam menjinakkan musuhnya. Belum kita bicara dari perspektif kepentingan Prabowo masuk ke Kabinet untuk apa. Pastinya, Jokowi seorang arsitek politik yang belum ada tandingnya saat ini di Indonesia.
Pada kepentingan distribusi kursi di Kabinet Jilid II, Jokowi dikabarkan akan lebih realistis. Beredar kabar, PDIP mendapatkan pembagian kuae kekuasaan yang lebih banyak, diatas 5 kursi. Diikuti Partai Golkar, kemudian PKB, PPP, dan seterusnya.
Bahkan, Prabowo dan Partai Demokrat pun diberi peluang masuk ke Kabinet. Pastinya mereka yang berkeringat bekerja untuk Jokowi Ma'ruf diberikan apresiasi politik. Kalkulasinya, sesuai kursi di parlemen. Kalau itu dilakukan, maka cukup rasional pembagiannya.
Atas maneuver Partai Nasdem soal 'gertakan' menjadi oposisi juga menjadi fenomena menarik. Tentu dalam benar saya, Nasdem dan tim pemenangan Jokowi Ma'ruf harus lebih tinggi secara kuantias kursi Menteri. Ketimbang Partai Gerindra dan Demokrat, maupun PAN.
Kalau misalkan, Nasdem berada pada posisi mendapat jabatan lebih sedikit ketimbang Gerindra. Ini juga menarik untuk sekedar menjadi diskursus dalam membaca kecenderungan pemimpin kita. Memang politik tidak bisa dibaca secara teksutaul.
Politik juga kurang akrab dengan istilah netral dan objektif. Umumnya politik itu bicara keberpihakan, subyektifitas dan tuntutan kepentingan. Komposisi Kabinet yang sedang disayembarakan orang-orangnya ini pasti melahirkan kekecewaan dan sakit hati. Selain bahagia dan kenyamanan. Seperti itulah politik.