Self-growth sering kali diasosiasikan dengan pencapaian besar seperti mendapatkan beasiswa, karier cemerlang, atau hidup produktif.
Namun, sedikit yang tahu bahwa proses bertumbuh justru paling nyata terjadi di saat-saat paling gelap — ketika kita sedang hancur, kehilangan arah, atau bahkan merasa tidak memiliki alasan untuk melanjutkan hidup.
Dalam perjalanan hidup, terutama bagi perempuan yang berada di posisi sandwich generation, self-growth bukan hanya tentang berkembang...
Tapi juga tentang bertahan.
Sandwich Generation: Perempuan di Antara Dua Beban
Menurut American Psychological Association (APA), sandwich generation adalah individu yang harus menanggung beban finansial, emosional, dan fisik untuk generasi di atas (orang tua) dan generasi di bawah (adik atau anak).
Di Indonesia, fenomena ini sering terjadi pada perempuan — baik yang sudah menikah maupun belum.
Perempuan dalam posisi ini sering kali menjalani dua peran sekaligus:
Menjadi ibu bagi adik-adiknya
Menjadi tulang punggung keluarga
Dalam masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki, perempuan seperti ini sering dianggap tanggung — belum menikah, tapi sudah harus memikul tanggung jawab keluarga.
Self-Growth yang Tidak Terlihat
Perjalanan self-growth bagi perempuan sandwich generation berbeda dengan narasi self-growth yang sering kita lihat di media sosial.
Self-growth bukan selalu tentang produktivitas tinggi atau prestasi akademik.
Kadang self-growth hanya tentang: