Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membedah Novel Prasa dan Kelir, Menggugat Hati yang Kosong

2 November 2023   02:16 Diperbarui: 2 November 2023   07:59 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Sementara menurut beberapa referensi, para penganut kejawen ini diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Sepertinya mas Yon melalui karya-karya sastranya sedang menerapkan 'laku' itu.

Pertanyaan inipun saya kemukakan di momen diskusi,"sepertinya mas Yon ini penganut aliran kejawen, karena menaruh minat dan membahas dengan lugas novel Kelir yang berlatar belakang Kejawen yang kental?" (walau pertanyaan ini tidak mendapat jawaban yang spesifik).

Demikian juga saat salah seorang Kompasianer (mbak Dewi Puspa) menanyakan tentang berapa lamakah mas Yon ini 'nyantri' di padepokan Kejawen. Inipun tidak diulasnya dengan terlalu jelas.

Karena sebetulnya, kita cukup penasaran, seberapa 'intens' atau dalam mas Yon dengan Kejawen. Sebetulnya sah-sah saja dan bahkan kita justru meng-appreciate hal-hal seperti ini. Karena, saat kita membaca novel Kelir, mereka yang kenal mas Yon, akan membayangkan bahwa yang disampaikan oleh mas Yon di dalam novelnya itu adalah sebetulnya kisah mas Yon.  

Kemudian meminjam istilah pak Sunu saat membedah novel kelir, apa yang dilakukan mas Yon ini sangatlah besar jasanya dalam 'mendokumentasikan' uri-uri kepercayaan/keyakinan Kejawen - walaupun hanya sebagian kecil saja dari keyakinan Kejawen, dalam wujud sebuah novel. Karena menurut pak Sunu, referensi tentang Kejawen masih sangat kurang, padahal keingintahuan orang banyak tentang Kejawen masih sangat tinggi. 

Novel Kelir juga,masih menurut bahasan pak Sunu, mengingatkan pada novel-novel yang terbalutkan budaya Jawa yang cukup kental, sebut saja novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang fenomenal itu. Dan novel-novel dengan genre seperti itu masih sangat kurang dan masih sangat diperlukan oleh negeri ini, ditengah-tengah gempuran budaya-budaya non-lokal. Mengangkat muatan budaya lokal menjadi penting dan menarik, terutama untuk melengkapi puzzle khasanah literasi budaya lokal melalui novel.

Saya sependapat untuk hal seperti itu. Terlebih, sebagai seseorang yang berlatar-belakang science, saya lebih banyak berkutat ditulisan-tulisan yang based on fact - lebih kepada fakta (jurnal, makalah, paper, dlsb), tulisan-tulisan sayapun di Kompasiana lebih banyak ke arah yang logic-based. Jarang bahkan sepanjang ingatan saya, saya belum pernah menulis cerpen sekalipun. Kalau puisi, pernahlah beberapa kali. Menulis cerpen ataupun novel memerlukan pengolahan 'roso', tidak hanya logika. Bahkan di saat-saat tertentu pengolahan roso ini mengesampingkan logika. Untuk mengisi agar terdapat kesetimbangan otak kiri dan kanan, saya pribadi mengisinya dengan membaca novel-novel. Novel sejarah Pramoedya Ananta Toer sudah habis saya lalap, tulisan Ahmad Tohari - Ronggeng Dukuh Paruk, saya ikuti saat tulisannya masih berupa cerita bersambung di Harian Kompas, bertahun-tahun yang lampau - sebelum dibukukan apalagi dialih-wahanakan kedalam bentuk film. Ah, jadi ketahuan deh, saya berasal dari generasi mana nih hehe.

Hal lain dari 'gugatan' mas Yon yang mengemuka kemarin, yang diungkap oleh pak Sunu maupun pak Isson adalah bahwa novel-novel ini mengandung makna gugatan-gugatan yang bersifat politis. Kalau di dalam novel Kelir di sekitar bahasan tentang makam, sementara di dalam novel Prasa unsur politik kental dalam pemaparan tentang asal-usul si anak itu (Prasa).

Terkait dengan hal ini, pak Thamrin - seorang Kompasianer saat bertanya menyinggung pula tentang muatan politik di dalam novel mas Yon ini. Bahkan dengan lebih lugas, ditanyakan, apakah bergesernya mas Yon menulis politik di Kompasiana menjadi tulisan dalam bentuk novel karena selama ini tulisan-tulisan politiknya itu tiada mendapat tanggapan yang memadai? Alih-alih mendapatkan solusinya. Sebuah pertanyaan yang patut direnungkan.

Mas Yon cukup smart dalam hal ini, memilih menggugatnya - tentang politik itu - kedalam bentuk novel. Agar menjadi literasi yang dapat dijadikan referensi sepanjang masa.

Jadi kalau kita mau mencoba menarik benang merah dari kedua novel itu, kita justru harus melihatnya mulai dari novel Kelir - dan lalu novel Prasa, karena keduanya saling terhubung secara ide.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun