Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membedah Novel Prasa dan Kelir, Menggugat Hati yang Kosong

2 November 2023   02:16 Diperbarui: 2 November 2023   07:59 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik


Hari Minggu kemarin, 29 Oktober 2023, bertempat di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang berada di dalam kompleks TIM (Taman Ismail Marzuki), menjadi hari yang perlu dicatat bagi dunia per-novel-an di Indonesia. Karena pada hari itu, novelis mas Yon Bayu Wahyono meluncurkan novel ter-kiwari-nya, yaitu: 'Prasa' dan 'Kelir'.

Tapi bukan hanya diluncurkan, mas Yon, demikian ia biasa dipanggil, pun meminta novelnya itu dibedah, didiskusikan. Untuk mendiskusikan novelnya, pembahas-pembahas yang mumpuni di bidangnya diundang, yaitu dua orang pembahas, bapak Sunu Wasono dan bapak Isson Khairul.

Acara yang dimulai di sekitar pukul 14an itu menampilkan pula pembacaan nukilan kedua novel tersebut. Nukilan novel Kelir dibacakan oleh mbak Retno Budiningsih, sedangkan nukilan novel Prasa oleh mbak Devie Matahari. Pembacaan nukilan yang dibawakan dengan penuh penghayatan inipun memberikan gambaran, kira-kira kedua novel ini bercerita tentang apa.

Untuk memperlancar jalannya diskusi, didapuk mbak Nuyang Jaimee sebagai moderatornya. Sementara yang bertindak sebagai MC adalah tokok penyair TIM, yaitu bapak Nanang R Supriyatin.

Hadirin yang memenuhi undangan temu komunitas Click Kompasiana ini mencapai lebih dari 100 orang yang memenuhi aula ruang peluncuran dan bedah buku. Dinginnya ruang AC ruangan dapat mengimbangi hangatnya acara peluncuran dan bedah novelnya mas Yon ini. Pengemasan acara peluncuran ditata demikian apik tanpa meninggalkan kesan friendly-nya. Sebagian besar yang hadir adalah sahabat-sahabat mas Yon di dunia literasi, yaitu  para Kompasianer, sebagian lagi bukan, namun tetap mendukung, dan tertarik dengan dunia literasi.

Inti dari acara peluncuran dan bedah novel itu, dikunci dengan baik oleh penulis novelnya, yaitu mas Yon, di bait terakhir acara dengan pernyataannya kurang lebih seperti ini:


"sastra harus tetap hadir dalam diri kita untuk mengisi ceruk-ceruk yang kurang atau hilang yang tidak tergantikan oleh kemajuan teknologi moderen." 


Statement tersebut selaras dengan yang telah menjadi concern saya selama ini pula. Dimana, sebagai pegiat literasi, saya merasakan dan menjadi keprihatinan saya pada generasi muda kita - generasi dengan hati yang hampa - bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Walaupun kita tidak ingin hal ini terjadi, melalui pengisian ceruk-ceruk yang kosonglah, melalui hasilan karya-karya sastra, novel dan sebangsanya, yang akan mengisi kekosongan tersebut.

Saat mas Yon menyampaikan kalimat tersebut, terasa sekali kedalaman keprihatinannya bila hal itu dibiarkan demikian - membiarkan hati-hati yang hampa berkelana. Dan keprihatinannya itu dituangkannya diantaranya melalui tulisan-tulisannya di Kompasiana maupun melalui tulisan di kedua novelnya ini.

Apalagi, dengan bertambahnya usia, seperti yang diyakininya yang disampaikan di acara kemarin oleh mas Yon, bahwa dalam keyakinan budaya Jawa - termasuk di aliran kejawen, semakin sepuh manusia, semakin ada keinginan untuk 'menepi' atau bersembunyi, dengan maksud agar dapat lebih memberikan manfaat lagi serta memboboti arti kehidupan ini. Terlebih dengan filosofi Kejawen:"Sangkan paraning dumadi" yang maknanya adalah kita diingatkan dan selalu diingatkan 'darimana sebetulnya asal kita dan kemana kita kembali kelak.'

Sementara menurut beberapa referensi, para penganut kejawen ini diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Sepertinya mas Yon melalui karya-karya sastranya sedang menerapkan 'laku' itu.

Pertanyaan inipun saya kemukakan di momen diskusi,"sepertinya mas Yon ini penganut aliran kejawen, karena menaruh minat dan membahas dengan lugas novel Kelir yang berlatar belakang Kejawen yang kental?" (walau pertanyaan ini tidak mendapat jawaban yang spesifik).

Demikian juga saat salah seorang Kompasianer (mbak Dewi Puspa) menanyakan tentang berapa lamakah mas Yon ini 'nyantri' di padepokan Kejawen. Inipun tidak diulasnya dengan terlalu jelas.

Karena sebetulnya, kita cukup penasaran, seberapa 'intens' atau dalam mas Yon dengan Kejawen. Sebetulnya sah-sah saja dan bahkan kita justru meng-appreciate hal-hal seperti ini. Karena, saat kita membaca novel Kelir, mereka yang kenal mas Yon, akan membayangkan bahwa yang disampaikan oleh mas Yon di dalam novelnya itu adalah sebetulnya kisah mas Yon.  

Kemudian meminjam istilah pak Sunu saat membedah novel kelir, apa yang dilakukan mas Yon ini sangatlah besar jasanya dalam 'mendokumentasikan' uri-uri kepercayaan/keyakinan Kejawen - walaupun hanya sebagian kecil saja dari keyakinan Kejawen, dalam wujud sebuah novel. Karena menurut pak Sunu, referensi tentang Kejawen masih sangat kurang, padahal keingintahuan orang banyak tentang Kejawen masih sangat tinggi. 

Novel Kelir juga,masih menurut bahasan pak Sunu, mengingatkan pada novel-novel yang terbalutkan budaya Jawa yang cukup kental, sebut saja novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang fenomenal itu. Dan novel-novel dengan genre seperti itu masih sangat kurang dan masih sangat diperlukan oleh negeri ini, ditengah-tengah gempuran budaya-budaya non-lokal. Mengangkat muatan budaya lokal menjadi penting dan menarik, terutama untuk melengkapi puzzle khasanah literasi budaya lokal melalui novel.

Saya sependapat untuk hal seperti itu. Terlebih, sebagai seseorang yang berlatar-belakang science, saya lebih banyak berkutat ditulisan-tulisan yang based on fact - lebih kepada fakta (jurnal, makalah, paper, dlsb), tulisan-tulisan sayapun di Kompasiana lebih banyak ke arah yang logic-based. Jarang bahkan sepanjang ingatan saya, saya belum pernah menulis cerpen sekalipun. Kalau puisi, pernahlah beberapa kali. Menulis cerpen ataupun novel memerlukan pengolahan 'roso', tidak hanya logika. Bahkan di saat-saat tertentu pengolahan roso ini mengesampingkan logika. Untuk mengisi agar terdapat kesetimbangan otak kiri dan kanan, saya pribadi mengisinya dengan membaca novel-novel. Novel sejarah Pramoedya Ananta Toer sudah habis saya lalap, tulisan Ahmad Tohari - Ronggeng Dukuh Paruk, saya ikuti saat tulisannya masih berupa cerita bersambung di Harian Kompas, bertahun-tahun yang lampau - sebelum dibukukan apalagi dialih-wahanakan kedalam bentuk film. Ah, jadi ketahuan deh, saya berasal dari generasi mana nih hehe.

Hal lain dari 'gugatan' mas Yon yang mengemuka kemarin, yang diungkap oleh pak Sunu maupun pak Isson adalah bahwa novel-novel ini mengandung makna gugatan-gugatan yang bersifat politis. Kalau di dalam novel Kelir di sekitar bahasan tentang makam, sementara di dalam novel Prasa unsur politik kental dalam pemaparan tentang asal-usul si anak itu (Prasa).

Terkait dengan hal ini, pak Thamrin - seorang Kompasianer saat bertanya menyinggung pula tentang muatan politik di dalam novel mas Yon ini. Bahkan dengan lebih lugas, ditanyakan, apakah bergesernya mas Yon menulis politik di Kompasiana menjadi tulisan dalam bentuk novel karena selama ini tulisan-tulisan politiknya itu tiada mendapat tanggapan yang memadai? Alih-alih mendapatkan solusinya. Sebuah pertanyaan yang patut direnungkan.

Mas Yon cukup smart dalam hal ini, memilih menggugatnya - tentang politik itu - kedalam bentuk novel. Agar menjadi literasi yang dapat dijadikan referensi sepanjang masa.

Jadi kalau kita mau mencoba menarik benang merah dari kedua novel itu, kita justru harus melihatnya mulai dari novel Kelir - dan lalu novel Prasa, karena keduanya saling terhubung secara ide.

Di Novel Kelir, seperti disampaikan mas Yon, ini adalah saatnya mas Yon, yang katanya karena faktor usia yang semakin lanjut - sesuai dengan filosofi Kejawen, menjadi sebuah ajang berkontemplasi sambil mencermati dunia alam fana ini dan cawe-cawe seperlunya, salah satunya adalah dengan selalu berbuat baik, sebagai bekal kembali kepada Sang Maha Pencipta. 

Lihat saja sampul buku Kelir. Kelir dalam istilah wayang kulit Jawa merujuk pada layar putih yang membatasi antara penonton dengan dalang, koleksi wayang kulit, dan nayaga-nayaganya (penabuh gamelan dan sinden). Setelah judul Kelir, lalu nampak dua buah gunungan. Kelir dapat ditafsirkan sebagai batas antara pembaca dengan si penulis. Penulis menyampaikan kisahnya dan pembacanya dapat memiliki interpretasi yang beragam, seperti halnya kehidupan di dunia nyata. Sementara gunungan itu sendiri dalam falsafah pewayangan, memiliki arti dunia dan seisinya. Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa gunungan itu merupakan simbol kehidupan manusia dimana setiap lukisan kulit di dalam gunungan itu melambangkan seluruh alam raya beserta isinya termasuk di dalamnya adalah manusia, flora dan faunanya - termasuk lingkungan kasat mata dan non kasat matanya.

Sayapun  memaknai kedua gunungan dalam cover novel kelir itu sebagai gambaran dunia yang kita hidup didalamnya saat ini dan dunia dimana kita akan kembali nanti ke Sang Pencipta kita. Harus balance antara kehidupan kita di dunia agar kita mengenyam kebaikan di dunia akhirat kelak. 

Sementara di Novel Prasa, terlihat menjadi hasil kontemplasi penulisnya terhadap 'fairness'nya kehidupan.  Kontemplasinya terhadap masalah-masalah pelanggaran HAM di negeri ini, demi kepentingan politik, menurutnya, menjadi dibiarkan kelabu tak berujung. Padahal, seperti disampaikannya di acara peluncuran kedua novelnya itu, seharusnya dibuka secara terang-benderang. Lalu mas Yonpun meneruskan pernyataannya, apakah kebenaran demikian menakutkan? Apakah pelanggaran HAM yang telah terjadi dan teridentifikasi selama ini perlu dimaafkan? Apakah mendewakan pemilik modal dan mempariakan petani/pihak lemah adalah sebuah kebiasaan yang baik?

Hasil kontemplasi dan gugatannya yang disublimasi menjadi kedua novel fiksi tersebut.

Walau disebut fiksi, tapi sebagian dari hadirin di acara kemarin ini meyakini bahwa buku ini adalah mengenai mas Yon - as a writer and as an novel actor as well.... Wallahualam.

Dan kita sepakat untuk sebuah pernyataan yang mengemuka pula dalam acara peluncuran & bedah novel tersebut bahwa tulisan-tulisan yang kita hasilkan, yang para kompasianer hasilkan, pun novel-novel mas Yon, akan menemukan jalannya sendiri, akan menemukan targetnya sendiri, yang penting adalah bahwa semangat upaya literasi kita semua tidak boleh padam dan tidak boleh ada yang memadamkan, agar semakin banyak hati-hati kosong akan menjadi tidak kosong lagi karena terisi oleh literasi kehidupan tulisan-tulisan kita.

Acara peluncuranpun ditutup dengan penyerahan kenang-kenangan kepada pihak PDS HB Jassin atau yang mewakili serta kepada para penanya serta tidak lupa pemateri dan para hadirin berfoto Bersama.

Ups tidak lupa ada dansa-dansi spontan oleh kelompok Ladiesiana -- pimpinan bu lies (Buncah) yang menambah semarak suasana keakraban diantara hadirin.

Selamat mas Yon Bayu Wahyono. Keep productive

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun