[caption id="attachment_19881" align="alignleft" width="210" caption="Sajian ala Palembang/photo by P. Bayuaji"][/caption]
Misi saya ke Palembang, selain memang berkeinginan wisata kuliner dan kangen dengan tanah kelahiran, juga sekalian memperingati 1 tahun wafatnya Kakek dan 7 tahun Nenek yang paling saya sayangi. Masih ada kontroversi mengenai peringatan wafat seperti ini. Di satu sisi memang adat Palembangnya seperti itu, disisi lain menurut ajaran Islam, tidak ada acara peringatan-peringatan sejenis itu, cukup dengan mengirimkan doa. Saya sendiri mengambil sisi positifnya, bahwa dengan mengadakan acara seperti itu, merupakan salah satu cara kita untuk selalu mengingat orang yang telah membesarkan kita, bukankah salah satu pahala yang tak pernah putus meskipun orangnya telah meninggal adalah do'a anak yang soleh.
Acara peringatannya sendiri tidak ada yang istimewa. Hanya do'a bersama agar Kakek dan Nenek saya selalu tenang berada disisi-Nya bersama-sama dengan para tetangga, dan acara kendurian alias makan-makannya. Disesi ini, keunikan baru terlihat. Sudah lama sekali saya tidak melihat cara makan ala Palembang ini. Entah mungkin karena saya sekarang sudah hidup di kota Megapolitan, atau memang sudah jarang orang yang menyajikan makanan dengan cara seperti itu, dengan berbagai macam alasan. Alasan utama pasti karena repot dibandingkan buffet style. Dan saya sempat merasakan sendiri karena saya juga termasuk yang menjadi "waiter" malam itu. Di Palembang, orang yang melayani seperti itu disebut "Ngobeng".
[caption id="attachment_19883" align="alignleft" width="300" caption="Saat makan "hidangan"/photo by P. Bayuaji"][/caption]
Orang Palembang sendiri menyebut cara hidang tradisional itu dengan "Hidangan". Wujudnya seperti cara makan di daerah Timur Tengah, tetapi lebih bersih karena tetap memakai piring masing-masing. Ternyata cara menghidangkannya juga tidak segampang yang dibayangkan, Â karena ada tata cara tersendiri.
Pertama-tama setelah membentangkan taplak meja di lantai (makannya lesehan diatas tikar atau karpet), dihidangkankan nasi yang telah ditaruh di tempat besar yang disebut dulang. Setelah itu dikeluarkan "pulur". Pulur adalah sebutan buat aneka sambal, seperti sambal mangga dan sambal cobek. Ini pun tetap harus diatur, karena penghidangannya harus ditata dan ditaruh disudut-sudutnya taplak meja. Setelah pulur dihidangkan, baru dihidangkan Lauk, dengan aturan yang hampir sama dengan Pulur, hanya saja tempatnya berbeda. Lauknya bisa bermacam-macam. Malam itu lauknya ada Malbi; semur daging ala Palembang, Ayam Goreng serta Sate Pentul; sate ikan yang enaknya luar biasa. Kemudian baru dikeluarkan air minum dan piringnya, serta baskom kecil dan "jug" air untuk mencuci tangan. Setelah semua terhidang, baru hidangan bisa disantap bersama-sama.
Satu taplak biasanya buat delapan orang. Jadi kalau undangannya 200 orang, bisa dibayangkan berapa besar tempat yang harus disediakan untuk hidangan ini. Biasanya, Hidangan dilakukan pada pesta pernikahan atau pesta peringatan wafat seperti ini. Dulu, saat perayaan pernikahan dilakukan di rumah dan tempatnya terbatas, para tamu harus bergiliran untuk makan. Jadi, kalau satu taplak sudah selesai, para tamu harus tahu diri, dan memberikan giliran untuk yang lain. Repot memang, mungkin karena itu  sekarang tidak banyak lagi orang yang melakukan hidangan dengan cara seperti ini. Saya pun mengucurkan keringat luar biasa saat melayani para tamu. Tapi sekali-sekali sepertinya hal ini tetap harus dilakukan untuk melestarikan budaya yang ada. Paling tidak, kalau dulu orang menganggap hal ini biasa-biasa saja, sekarang dianggap unik dan menjadi salah satu atraksi yang menarik. Mau coba? Hmmm.... siapkan handuk kecil, atau malah handuk besar, kalau tidak mau keringat kita menetesi makanannya......asiiiinnn....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI