Mohon tunggu...
Budi Setiawan (Kang Buset)
Budi Setiawan (Kang Buset) Mohon Tunggu... Mantan kuli mulai dari tinta-disket-flashdisk. Kini penulis lepas (freelance). Orang biasa yg bercita-cita jadi orang serba bisa. Dulu SMA seangkatan sama Dilan dan Milea.

Penikmat buku-buku serius duarius. Penyuka buku-buku fiksi non-horor. Mantan editor majalah bisnis komunikasi pemasaran (Cakram Komunikasi) . Mantan pekerja profesional industri farmas. Kini sudah pensiun dini jadi pengusaha kecil di kampung.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Antara LSM dan Premanisme

15 Juli 2025   17:21 Diperbarui: 15 Juli 2025   17:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


DALAM pidatonya memperingati Hari Lahir Pancasila, Presiden Prabowo Subianto melontarkan peringatan keras terhadap sejumlah LSM yang disebut menerima dana asing dan memiliki agenda memecah-belah bangsa. Pernyataan tersebut sontak menyita perhatian karena mengingatkan publik pada cara berpikir lama yang khas Orde Baru.

Di masa lalu, LSM yang bergerak di bidang HAM, lingkungan, dan antikorupsi sering dicurigai sebagai kepanjangan tangan asing. Narasi itu menjadi alat represi terhadap kritik publik. Kini, ketika demokrasi telah berjalan lebih dari dua dekade, tudingan serupa kembali diangkat. Padahal kenyataannya, justru banyak LSM asing yang berperan dalam menguatkan masyarakat sipil dan mendorong transparansi pemerintahan.

Yang lebih mengkhawatirkan saat ini bukan LSM yang menerima dana luar negeri, tapi LSM yang bermasalah secara moral dan praktik. Premanisme berbaju LSM jauh lebih meresahkan. Mereka bukan hadir sebagai penyambung lidah rakyat, melainkan sebagai alat pemerasan dan tekanan politik.

LSM model ini sudah tak asing lagi di mata masyarakat, bahkan tumbuh subur. Mereka mengincar proyek pemerintah, menyodorkan proposal demi "jatah", atau menggelar demonstrasi bayaran untuk menekan lembaga tertentu. Dengan dalih advokasi, mereka justru menebar ketakutan. Mereka menempatkan diri sebagai kekuatan di luar hukum yang kebal dari etika.

Ironisnya, kelompok seperti ini tak pernah disinggung dalam pidato kenegaraan. Padahal mereka jelas-jelas mengganggu ketertiban sosial dan mencoreng makna partisipasi publik. Negara mestinya tak hanya sibuk menyoal sumber dana LSM, tapi juga berani mengaudit integritas dan kinerja mereka.

LSM yang sehat berperan penting dalam menguatkan demokrasi. Mereka menjadi mitra kritis negara, mendorong partisipasi warga, dan menjadi pengawas yang tak tunduk pada kepentingan politik maupun oligarki. Jika negara ingin membenahi sektor ini, lakukan secara menyeluruh---bukan diskriminatif.

Pernyataan Presiden Prabowo seharusnya lebih berimbang. Kritik terhadap LSM perlu disampaikan dengan data, bukan tuduhan umum yang memukul rata. Tindakan tegas terhadap LSM bermasalah perlu diiringi penghargaan terhadap mereka yang bekerja jujur dan konsisten membela kepentingan rakyat.

Rakyat kini makin cerdas. Mereka tahu membedakan mana LSM yang murni memperjuangkan kepentingan publik, dan mana yang sekadar mengejar keuntungan pribadi. Jangan sampai negara justru menutup mata terhadap bahaya dalam selimut sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun