Para pendiri bangsa (founding fathers) berwasiat bahwa: "Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2025 menyatakan: "Kami ingin kemiskinan ekstrim turun hingga O% atau nol persen dalam tempo sesingkat-singkatnya". Â
Karena sesungguhnya, kemiskinan bukan sekadar angka untuk menggambarkan kondisi ekonomi, berupa angka statistik: tingkat pendapatan, persentase PDB untuk konsumsi makanan dan non-makanan, asupan nutrisi perkapita perhari dan tingkat pengangguran terbuka.Â
Kemiskinan menyembunyikan kenyataan yang lebih kelam, karena kemiskinan adalah hambatan TSM (terstruktur, sistemik dan massif) dan  penindasan yang meng-eliminasi pilihan.
Sebagai Hambatan
Kemiskinan bukan hanya pembatasan akses terhadap sumber daya; ia juga menghalangi jalan menuju kehidupan yang bermartabat. Ketika seorang anak tidak dapat bersekolah karena harus membantu ekonomi keluarga, sama artinya dengan perampasan masa depan, sebelum ikhtiar merdeka mereka dimulai.Â
Ketika biaya pelayanan kesehatan tidak mampu dilunasi, hak hidup si miskin menjadi ilusi. Ketika petani terjerat utang dan harga panen yang tidak mampu menutup biaya produksi, maka peluang untuk berinovasi dan keluar dari eksploitasi otomatis terhenti.Â
Jangan salah sangka, kemiskinan bukanlah deprivasi / tekanan pasif. Kemiskinan dapat menampakkan wujudnya sebagai hambatan aktif, karena dihasilkan oleh sistem yang timpang.
Sistem yang dibangun dan dilestarikan oleh kuasa politik, yang telah diborong habis atau full booked oleh pemilik kapital demi mengamankan akumulasi kemakmurannya. Â
Hasilnya adalah sistem yang memenuhi mati rasa adil, terus menjerumuskan kelompok terpinggirkan ke dalam siklus keputusasaan.Â