Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% di Kabupaten Pati memicu protes besar-besaran. Berujung lempar-lemparan, tembakan gas air mata dan bakar-bakaran. Melebar ke bupati dilengserkan.Â
Tapi di balik gejolak itu, tersimpan persoalan yang lebih mendalam: ketimpangan fiskal, keberanian politik yang minim, dan pelayanan publik yang terancam.Â
Padahal, luas tersebar berita bahwa di kabupaten lain seperti Semarang dan Jombang, PBB justru naik hingga 400% tanpa gejolak serupa.
Apakah kasus Pati ini merupakan pergulatan antara  politik populis yang mengorbankan keadilan sosial?
Mengapa PBB Dinaikkan?
Sejak reformasi 1998, di banyak kabupaten PBB tidak pernah disesuaikan. Selama lebih dari dua dekade, tarif pajak stagnan, sementara kebutuhan belanja daerah terus meningkat. Akibatnya, APBD terpuruk, dan dampaknya langsung terasa pada pelayanan publik, misalnya: Pendidikan: Fasilitas minim, guru honorer dibayar rendah; Kesehatan: Puskesmas kekurangan obat dan tenaga medis, ada ambulan tetapi tidak ada BBM-nya dan Infrastruktur: Jalan rusak, irigasi terbengkalai, proyek vital tertunda.Â
PBB sebagai Instrumen Redistribusi
Secara normatif, PBB adalah pajak progresif, yaitu: Semakin tinggi nilai tanah dan bangunan, semakin besar pajak yang dibayar. Sehingga Pemilik properti besar membayar lebih banyak daripada pemilik lahan kecil
Karena itu, PBB berfungsi sebagai alat untuk redistribusi kemakmuran. Pajak yang dikumpulkan dari pemilik aset besar digunakan untuk membiayai layanan publik yang dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dua Kasus PBB
Di Kabupaten X, NJOP disesuaikan setiap tahun mengikuti inflasi. Hasilnya, penerimaan PBB stabil dan mampu menopang APBD untuk pelayanan publik.Â
Di sisi lain, Kabupaten Y tidak pernah menyesuaikan NJOP sejak reformasi. Padahal, luas wilayahnya nyaris dua kali lipat Kabupaten X, tetapi penerimaan PBB-nya hanya 10% dibanding Kabupaten X.
Penanganan Wabah DB Terdampak Ketimpangan Fiskal
Ketimpangan fiskal ini terlihat nyata pada tampilan pelayanan publik. Misalnya, saat terjadi wabah demam berdarah (DB):
Di Kabupaten X, pemerintah daerah segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Warga yang terserang DB mendapat pengobatan gratis di fasilitas kesehatan.
Di Kabupaten Y, meskipun setiap RT terdapat sekitar 10 warga yang terserang DB, tidak ada status KLB. Warga harus membayar sendiri biaya berobat, menambah beban ekonomi keluarga.
Lebih ironis lagi, informasi penangan wabah DB disampaikan oleh dokter kepala puskesmas di Kabupaten XÂ tetapi pemegang KTP dan tinggal di Kabupaten Y.Â
Politik Populis dan Hantu Elektoral
Bupati hasil pilkada cenderung menghindari kebijakan tidak populer. Mereka khawatir kehilangan dukungan dan gagal terpilih kembali. Atau jika sudah selesai dua periode, gagal menghantarkan calon dari partainya sendiri. Maka, selama bertahun-tahun, banyak kepala daerah memilih jalan aman: menunda reformasi pajak.
Pola diatas, coba didobrak oleh Bupati Pati, Sudewo. Tapi sayangnya, keberanian fiskal tidak diimbangi dengan komunikasi publik yang baik. Kenaikan dilakukan tiba-tiba, tanpa edukasi, simulasi dampak, atau narasi yang membangun pemahaman masyarakat.
Penutup: Pajak Adil, Negara Kuat
Kenaikan PBB bukan sekadar soal angka, tapi soal keberanian politik yang cerdas dan empatik. Kepala daerah harus berani mengambil keputusan sulit, tapi juga mampu merangkul rakyat dalam prosesnya.
Tanpa komunikasi yang transparan dan partisipatif, kebijakan yang baik pun akan gagal di mata publik. Padahal sejatinya, ketika APBD terpuruk, yang paling menderita bukanlah pejabat, tapi rakyat---karena pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur adalah hak dasar yang ikut tergerus.
Sesungguhnya PBB bukan beban, jika dijalankan dengan adil dan bijak, justru sebagai jembatan menuju kemakmuran yang lebih merata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI