Di Kabupaten X, NJOP disesuaikan setiap tahun mengikuti inflasi. Hasilnya, penerimaan PBB stabil dan mampu menopang APBD untuk pelayanan publik.Â
Di sisi lain, Kabupaten Y tidak pernah menyesuaikan NJOP sejak reformasi. Padahal, luas wilayahnya nyaris dua kali lipat Kabupaten X, tetapi penerimaan PBB-nya hanya 10% dibanding Kabupaten X.
Penanganan Wabah DB Terdampak Ketimpangan Fiskal
Ketimpangan fiskal ini terlihat nyata pada tampilan pelayanan publik. Misalnya, saat terjadi wabah demam berdarah (DB):
Di Kabupaten X, pemerintah daerah segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Warga yang terserang DB mendapat pengobatan gratis di fasilitas kesehatan.
Di Kabupaten Y, meskipun setiap RT terdapat sekitar 10 warga yang terserang DB, tidak ada status KLB. Warga harus membayar sendiri biaya berobat, menambah beban ekonomi keluarga.
Lebih ironis lagi, informasi penangan wabah DB disampaikan oleh dokter kepala puskesmas di Kabupaten XÂ tetapi pemegang KTP dan tinggal di Kabupaten Y.Â
Politik Populis dan Hantu Elektoral
Bupati hasil pilkada cenderung menghindari kebijakan tidak populer. Mereka khawatir kehilangan dukungan dan gagal terpilih kembali. Atau jika sudah selesai dua periode, gagal menghantarkan calon dari partainya sendiri. Maka, selama bertahun-tahun, banyak kepala daerah memilih jalan aman: menunda reformasi pajak.
Pola diatas, coba didobrak oleh Bupati Pati, Sudewo. Tapi sayangnya, keberanian fiskal tidak diimbangi dengan komunikasi publik yang baik. Kenaikan dilakukan tiba-tiba, tanpa edukasi, simulasi dampak, atau narasi yang membangun pemahaman masyarakat.
Penutup: Pajak Adil, Negara Kuat