Mohon tunggu...
budi muhaeni
budi muhaeni Mohon Tunggu... Penulis

saya masih rutin jogging untuk 10 km; saya tertarik dengan topik-topik kepemimpinan, psikologi, dan perilaku; saya juga menggemari bacaan atau cerita-cerita tentang hikmah kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Medsos, Hiperrealitas Baru Demokrasi Indonesia

5 Oktober 2025   14:19 Diperbarui: 5 Oktober 2025   18:39 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiperrealitas vs Realitas

Demokrasi kini tidak lagi hanya hidup di ruang parlemen, mimbar, atau jalanan. Ia telah bermigrasi ke ruang digital --- media sosial --- yang lebih bising, lebih cepat, dan sering kali lebih menipu. Di ruang inilah demokrasi berubah bentuk: dari realitas yang faktual menjadi hiperrealitas yang penuh ilusi.

Namun sejatinya, demokrasi memang tidak pernah sunyi. Ia seperti deretan kaleng pengusir burung di sawah --- berisik, memekakkan telinga, tetapi menjaga keseimbangan agar padi tak habis dimakan burung. Begitulah demokrasi: gaduh tapi perlu, ribut tapi menyehatkan.

Medsos: Arena Baru Demokrasi

Di era medsos, siapa pun bisa berbicara, mengkritik, dan menilai. Tak perlu mimbar, cukup gawai di tangan. Dalam hitungan detik, pendapat seseorang bisa menjangkau ribuan orang lain. Kadang disertai data, kadang sekadar emosi. Di sinilah demokrasi menemukan arena baru: tanpa batas, tanpa moderator, dan tanpa tanggung jawab yang jelas.

Menjelang Pemilu 2019, kita menyaksikan bagaimana jagat maya dipenuhi perang opini. Buzzer saling serang, informasi dipelintir, dan hoaks politik bertebaran di setiap grup WhatsApp dan linimasa. Ironisnya, di dunia nyata, banyak warga di kampung dan kompleks justru tetap rukun. Mereka masih bergotong royong membangun jalan, saling bantu saat hajatan, dan berbagi saat musibah.

Hiperrealitas menciptakan ilusi seolah bangsa ini pecah belah, padahal realitas keseharian tidak sekelam itu.

Demokrasi Algoritmik

Media sosial menjanjikan partisipasi politik yang luas, tetapi sering kali yang muncul hanyalah ilusi kebebasan. Setiap orang merasa punya panggung, padahal sorotan ditentukan oleh algoritma --- bukan oleh kedalaman gagasan. Yang tampil di layar bukan selalu yang bijak, melainkan yang paling menarik, paling marah, atau paling viral.

Inilah wajah baru demokrasi kita: demokrasi algoritmik, ketika opini dibentuk oleh kecepatan klik dan bukan oleh kejernihan berpikir.

Contoh paling jelas tampak saat pandemi Covid-19. Fakta ilmiah kalah cepat dari rumor medsos: obat ajaib, teori konspirasi, dan klaim palsu tentang vaksin menyebar jauh sebelum klarifikasi resmi keluar. Realitas faktual tak lagi cukup kuat melawan gelombang hiperrealitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun