Akhirnya, mereka membuat spanduk yang cukup besar, penuh kata-kata tajam dan humor sarkastik. Mereka berdiri di depan kantor desa dengan harapan pejabat datang, namun yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada pejabat yang muncul. Yang ada malah beberapa petugas kebersihan yang kebingungan melihat kerumunan.
Esok harinya, muncul kabar bahwa pejabat yang terlibat dalam proyek itu memberikan klarifikasi. “Ini semua karena ada hambatan teknis dan kebutuhan anggaran yang tak terduga.”
"Aduh, hambatan apa lagi?" tanya Kahar dengan nada sinis. “Gara-gara cari selamat, eh, semua jadi terbengkalai.”
Badu, yang tidak pernah tinggal diam, berteriak, “Kita butuh pejabat yang berani bertanggung jawab, bukan yang cari alasan selamat!”
Di hari yang sama, pejabat itu mengadakan konferensi pers dengan wajah serius dan gaya bicara yang khas. "Kami selalu mengutamakan kepentingan masyarakat," katanya sambil menunjukkan diagram anggaran yang rumit.
Rijal menambahkan, “Nah, ini dia. Ngomongnya sih gitu, tapi perbuatannya kayak sinetron: dramanya selalu berubah-ubah.”
Akhirnya, proyek itu selesai juga, meskipun entah bagaimana anggarannya membengkak lagi. Tetapi, warga desa tak merasa puas. “Yang penting, pejabatnya aman!” kata Kobar sambil terkekeh.
Pada akhirnya, mereka tetap setia pada prinsip mereka: "Jalan bisa rusak, tapi kalau pejabatnya selalu cari selamat, ya jangan harap ada perbaikan yang nyata."
Dan di desa Suka-Selamat, empati terhadap jalanan yang buruk digantikan oleh rasa geli melihat betapa konsistennya pejabat dalam mencari selamat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI