PERTANYAAN Choky Sitohang membangkitkan jawaban emosional. Luapan perasaan sedih mendalam datang bagaikan gelombang: berkembang dan surut dengan cepat di dalam dada.
Mengingat kejadian tujuh tahun lalu ibarat membuka luka lama. Sambil berupaya menekan duka, saya bercerita terbata-bata tentang masa lalu di depan pemandu acara, narasumber ahli, kamera-kamera, dan kru sebuah televisi swasta.
Pada Selasa (30/9) kemarin saya mengikuti proses produksi sebuah acara televisi swasta di Kedoya Selatan, Jakara Barat. Bukan siaran langsung, melainkan kegiatan perekaman (tapping) untuk kemudian ditayangkan nanti di televisi.
Kok bisa masuk TV? Muat tah di kotak tipi?
Ceritanya panjang. Bermula dari perkenalan dengan sesama penyintas stroke di Bus Transjabodetabek P11 rute Blok M-Bogor pada Juni lalu, saya menjadi anggota sebuah WhatsApp Group (WAG) stroke survivor.
Dari dua WAG berkembang. Sekarang saya mengikuti 5 WAG terkait penyintas stroke. Anggota grup saling menguatkan, berbagi tips & tricks latihan pemulihan, dan sebagainya.
Sebagian anggota juga ada di beberapa grup. Seperti saya yang berada di 5 grup. Kenapa mesti ada banyak grup? Konon ada persaingan di tingkat pengurus, yaitu para petinggi kelompok-kelompok. Entahlah.Â
Percakapan di grup kemudian berlanjut dengan beberapa kali acara tatap muka. Pada pertemuan belum lama ini, saya berbincang dengan seorang Duta Komunitas Penyintas Stroke.
Ia mengaku memiliki hubungan dengan satu tayangan kesehatan di sebuah televisi swasta. Bila ada penyintas stroke berminat, boleh berkabar kepadanya.
Saya pernah melihat acara tersebut, tapi saya tidak begitu intens menyimak. Saya pikir, itu lebih ke tayangan promosi alat kesehatan.
Setelah mendengar ada kesempatan untuk masuk acara, saya berkeinginan mengikuti syuting. Tujuan normatifnya, hendak berbagi pengalaman. Maksud di bawah permukaan adalah demi mendapatkan imbalan dan kesempatan muncul di layar kaca.
Prosedurnya mudah. Cukup kirim foto KTP dan riwayat stroke kepada Duta Komunitas tersebut. Nanti tim acara akan menghubungi dan melakukan wawancara.
Saya mengirim data dua minggu lalu dan tak pernah lagi memikirkan kemungkinan-kemungkinan, hingga Tim Produksi acara TV mengirim pesan WA bahwa akan menelepon.
Beberapa hari setelah perbincangan, juga melalui telepon, dokter dari Tim bertanya perihal riwayat kesehatan, dan segala hal terkait serangan stroke yang menimpa saya. Pertanyaan berkisar tentang pemicu serangan stroke, gejala, hingga penanganan pascastroke.
Sorenya, pewawancara pertama mengkonfirmasi bahwa shooting akan dilakukan pada Selasa 30 September 2025 pukul 14.00 WIB. Pukul 12.00 sebelumnya akan dijemput kendaraan dari pihak televisi.
Ternyata, sopir penjemput datang terlalu cepat. Pukul 11.15 WIB ia sudah berada di halaman parkir Miftahul Jannah, masjid yang terletak di seberang rumah.
Saya sudah siap. Sudah makan. Sudah mengenakan pakaian rapi. Tinggal memakai sepatu. Tidak perlu lama, saya memasuki ke kendaraan yang langsung berangkat. Lebih baik datang cepat di stasiun televisi, daripada telat.
Tiba di Studio 3 stasiun sebuah TV swasta, petugas menawari makan siang, sambil menunggu sesi syuting. Berhubung tadi sudah makan, saya mengambil empek-empek dan air mineral.
Tak lama Mas Yohanes, salah satu narasumber ahli, memeriksa indikator kesehatan saya. Hasilnya, mengejutkan. Kadar kolesterol di bawah ambang batas. Sebaliknya, tekanan darah tinggi (161/88 mmHG). Hasil uji gula darah sewaktu (random blood sugar test) juga tinggi, 374 mg/DL
Pukul 14.30 memasuki ruangan pengambilan gambar. Terlihat backdrop dan kursi-kursi diterangi lampu-lampu sorot. Di sisi gelap terdapat lima kamera, layar monitor, kabel berseliweran, dan para kru.
Pemandu acara adalah Choky Sitohang. Narasumber ahli, dr Lula Kamal dan dr Yohanes. Lalu, ru pengarah gaya meminta saya agar memanggil mereka "Mbak" dan "Mas." Bukan "dokter." Baiklah.
Tapping kurang lebih satu jam. Ada persaan bahwa diskusi antara host, narasumber ahli, dan saya berlangsung lancar. Saya memahami, tidak semua rekaman ditayangkan. Hasilnya akan diedit sedemikian rupa, sehingga durasi tayangnya tinggal 30 menit.
Hal-hal yang saya utarakan di studio tidak jauh berbeda dengan pembicaraan sebelumnya di telepon. Tentang riwayat sebelum serangan stroke, gejala yang terasa saat terjadi serangan, jenis serangan (sumbatan atau pembuluh darah pecah), upaya penanganan, pemulihan pascastroke, dan harapan-harapan.
Umumnya, saya mampu memberikan keterangan dengan lancar; menjawab pertanyaan-pertanyaan secara jernih. Host sedikit heran, saya menyampaikan keterangan serta jawaban secara terstruktur dan mudah ditangkap.
"Saya penulis di blog keroyokan, Kompasiana."
Sebelum sesi pemaparan dan tanya jawab telah diputar profil saya berupa foto-foto. Gambar penerimaan "Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2024" merupakan penegasan.
Ternyata kebiasaan menulis di Kompasiana membentuk cara saya menyampaikan gagasan kepada publik. Lebih fokus pada topik bahasan, terstruktur, dan (sebisa mungkin) dimengerti oleh orang lain.
Pengalaman terkena stroke dan sikap pada masa pemulihan merupakan modal utama pemberian keterangan. Ditambah pengetahuan yang diperoleh dari berbagai bacaan terpercaya.
Dalam kesempatan itu saya mengingatkan tentang pentingnya mengenal gejala stroke. Jika mengetahui seseorang menunjukkan wajah tidak simetris, bicara pelo atau tidak jelas, satu sisi lengan turun, tanpa pikir panjang segera bawa ia ke rumah sakit.
Keterlambatan penanganan medis itulah yang membuat saya mengalami cacat permanen. Tubuh bagian kanan cenderung lemah. Namun, saya tidak perlu menyesali. Sekarang, berpikir agar lebih sehat dan pulih.
Saya lumayan lancar berbicara mengenai stroke dan pemulihannya. Takada kendala berarti.Â
Namun, ketika Choky Sitohang dengan sungguh-sungguh menatap mata saya, lalu bertanya tentang apa yang paling disesali dan membuat marah, saya tak mampu bertahan. Muncul perasaan meluap-luap.
Saya kesulitan menahan gelombang sedih yang datang bergulung-gulung menghantam dada. Ia datang cepat dan tiba-tiba, hampir meruntuhkan bendungan di mata.
Untungnya, retak-retak rasa tidak menumpahkan air mata. Dengan menekan pedih, saya menjawab pertanyaan host. Terbata-bata.
Ingatan yang membuat saya menyesal sehingga stroke menyerang adalah ketidakteraturan hidup dan pola makan, pengabaian terhadap kesehatan diri, kurang olahraga, dan ketidaktahuan tentang gejala stroke.
Setelah itu hanya ada kemarahan kepada apa saja di luar diri saya, termasuk kepada Tuhan.
Beberapa waktu kemudian baru bangkit kesadaran sederhana. Tuhan telah menurunkan hukum-hukum. Di antaranya, makan berlebihan garam dan lemak serta kurang istirahat mengkibatkan serangan stroke.
Siapa yang melakukan perbuatan makan berlebihan dan kurang istirahat? Ya saya!
Artinya, stroke merupakan penyakit yang saya buat sendiri. Hasil perbuatan buruk kepada diri di masa lalu.Â
Maka, untuk pemulihan saya harus mengusahakannya dengan tekad sendiri untuk berobat, melakukan latihan-latihan, bersosialisasi, hingga berpikir positif. Bagi saya, takada lagi ruang untuk menyalahkan faktor-faktor eksternal.
Dalam satu acara pengambilan gambar di sebuah studio televisi swasta itu, Choky Sitohang telah membuka sisi terdalam dari saya.Â
Diskusi hangat di antara host, narasumber ahli, dan saya yang semula berlangsung seru sejenak menjadi hening, ketika saya menekan perasaan, terbata-bata ketika menyampaikan kenyataan buruk yang pernah dialami.Â
Di situlah air mata saya hampir tumpah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI