Pemandu acara adalah Choky Sitohang. Narasumber ahli, dr Lula Kamal dan dr Yohanes. Lalu, ru pengarah gaya meminta saya agar memanggil mereka "Mbak" dan "Mas." Bukan "dokter." Baiklah.
Tapping kurang lebih satu jam. Ada persaan bahwa diskusi antara host, narasumber ahli, dan saya berlangsung lancar. Saya memahami, tidak semua rekaman ditayangkan. Hasilnya akan diedit sedemikian rupa, sehingga durasi tayangnya tinggal 30 menit.
Hal-hal yang saya utarakan di studio tidak jauh berbeda dengan pembicaraan sebelumnya di telepon. Tentang riwayat sebelum serangan stroke, gejala yang terasa saat terjadi serangan, jenis serangan (sumbatan atau pembuluh darah pecah), upaya penanganan, pemulihan pascastroke, dan harapan-harapan.
Umumnya, saya mampu memberikan keterangan dengan lancar; menjawab pertanyaan-pertanyaan secara jernih. Host sedikit heran, saya menyampaikan keterangan serta jawaban secara terstruktur dan mudah ditangkap.
"Saya penulis di blog keroyokan, Kompasiana."
Sebelum sesi pemaparan dan tanya jawab telah diputar profil saya berupa foto-foto. Gambar penerimaan "Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2024" merupakan penegasan.
Ternyata kebiasaan menulis di Kompasiana membentuk cara saya menyampaikan gagasan kepada publik. Lebih fokus pada topik bahasan, terstruktur, dan (sebisa mungkin) dimengerti oleh orang lain.
Pengalaman terkena stroke dan sikap pada masa pemulihan merupakan modal utama pemberian keterangan. Ditambah pengetahuan yang diperoleh dari berbagai bacaan terpercaya.
Dalam kesempatan itu saya mengingatkan tentang pentingnya mengenal gejala stroke. Jika mengetahui seseorang menunjukkan wajah tidak simetris, bicara pelo atau tidak jelas, satu sisi lengan turun, tanpa pikir panjang segera bawa ia ke rumah sakit.
Keterlambatan penanganan medis itulah yang membuat saya mengalami cacat permanen. Tubuh bagian kanan cenderung lemah. Namun, saya tidak perlu menyesali. Sekarang, berpikir agar lebih sehat dan pulih.
Saya lumayan lancar berbicara mengenai stroke dan pemulihannya. Takada kendala berarti.Â