PERJALANAN 3 hari bukan untuk berwisata, melainkan mengambil sampel tanah di daerah pesisir. Satu kerabat memerlukannya untuk tujuan penelitian.
Jadi, selama itu pula kami berhenti dan menyusuri pantai-pantai Pulau Madura, dengan tujuan akhir adalah kembali ke titik awal, yakni Kabupaten Bangkalan.
Memasuki Bangkalan penderitaan itu datang. Mata kaki kanan bengkak dan terus membesar hingga dua minggu setelah kembali ke Kota Bogor. Kelamaan duduk di kendaraan, kurang bergerak diduga menjadi sebab bengkak.
Mungkin juga kadar asam urat dalam darah melonjak. Maklum, makanan pemicu kenaikannya tersedia pada berbagai bagian dari Pulau Madura.
Saat itu bengkak kaki belum menyiksa. Bangkalan menjadi tempat peristirahatan terahir. Maksud saya, menjadi tujuan istirahat setelah melakukan perjalanan panjang.
Sebelum tiba di tujuan, di Hotel Rose Bangkalan, mata melihat gerobak motor penjualanan makanan di pinggir Alun-alun. Saya meminta sopir agar kendaraan yang saya tumpangi berputar balik.
Lupakan sejenak bahwa seafood berpotensi meningkatkan kadar kolesterol dan asam urat dalam darah. Lupakan angka-angka dalam laporan laboratorium.
Menurut Kompasianer Merza Gamal, hasil pemeriksaan lab hanya angka. Tak perlu khawatir ketika menyantap makanan pemicu penyakut, saya sendirian kok yang merasakan penderitaannya, bukan orang lain.
Gerobak sepeda motor yang membuat saya berhenti adalah penjual Kupang Lontong.
Eh, kupang lontong atau lontong kupang?Â
Sama saja sih, tapi sepertinya penamaan Lontong Kupang lebih populer. Kali ini saya memakai istilah Lontong Kupang. Ngikut orang-orang aja lah.
Dulu, sebelum ada Jembatan Suramadu, di Bangkalan tidak ada penjual Lontong Kupang.
Jembatan nasional Suramadu panjang 5,4 kilometer menghubungkan Surabaya di Pulau Jawa dan Bangkalan di Pulau Madura. Melintasi jalan terentang di atas Selat Madura ini, dari ujung ke ujung, hanya menempuh waktu sekitar sepuluh menit berkendaraan bermotor.
Bandingkan jika menggunakan kapal feri. Berlayar dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Pelabuhan Kamal, Bangkalan butuh waktu 1-1,5 jam. Belum lagi jika ditambah antrean masuk kapal.
Jembatan Suramadu meningkatkan mobilitas warga dan distribusi barang atau jasa, termasuk pedagang.
Penjual Lontong Kupang datang dari Kenjeran, Surabaya, ke Alun-alun Bangkalan menggunakan sepeda motor melalui Jembatan Suramadu demi mencari peruntungan di Bangkalan.
Menurutnya, dagangan lumayan laris. "Alhamdulillah, rata-rata dagangan habis."
Saya tidak mencari tahu lebih lanjut, apakah cepat laku karena warga setempat menggemari makanan khas ini, atau warga Bangkalan bertambah dengan pendatang dari Surabaya dan Sidoarjo.
Mengabaikan keingintahuan tersebut, saya memesan Lontong Kupang untuk dimakan di tempat. Di sini saya bisa melihat langsung "pertunjukan" meracik makanan.
Menggunakan sendok makan, pada piring pria penjual menggerus bawang putih, cabai rawit, petis berwarna kecoklatan, dan perasan jeruk nipis. Lalu ia meletakkan potongan lontong dan empat tusuk sate kerang.
Terakhir, penjual membubuhkan kupang (kerang putih ukuran kecil) berikut kuah, lentho (penganan terbuat dari singkong), dan bawang putih goreng.
Kuah kecokelatan tampak berwarna lebih muda dan bening, dibanding Lontong Kupang yang saya makan di Bogor pada Agustus lalu. Rasanya, gurih manis. Kecutnya perasan jeruk nipis memperkaya pengalaman mencecap kuah Lontong Kupang.
"Petisnya dari petis kupang. Kuah dibuat dari air kelapa, dimasak dengan bumbu-bumbu. Jangan khawatir, kupang dicuci tiga kali hingga bersih," jawab penjual setelah saya bertanya mengenai segala hal.
Mengunyah sesendok, kupang terasa sedikit kenyal. Gurihnya memang masih berada di bawah kerang darah, tapi ya tetap sedap disantap. Tak banyak kunyahan, kupang meluncur mulus ke dalam lambung.
Dengan rasa tawarnya, potongan lontong yang empuk menjadi penyeimbang. Kriuk lentho dan pahit gurihnya bawang goreng melengkapi pengalaman rasa. Sate kerang menambah kenikmatan menyantap Lontong Kupang.
Harmonisasi gurih, manis, asam yang samar, dan pedas menstimulasi indra perasa yang kemudian tak bosan menghayati keselarasan rasa Lontong Kupang.
Ingatan sejenak melayang ke masa mencecap Lontong Kupang di Waru, Sidoarjo, sekian belas tahun lalu. Kayaknya, mirip.
Aha! Bisa jadi hidangan khas Sidoarjo di Alun-alun Bangkalan itu memiliki rasa autentik.
Maka, dengan itu terbayar sudah rasa penasaran. Saya telah mendapatkan pengalaman merasakan Lontong Kupang dengan cita rasa asli yang lezat.
Saya bangkit dari kursi plastik di atas trotoar Alun-alun dengan berjingkat. Telapak kaki makin bengkak dan tambah sakit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI