Terakhir, penjual membubuhkan kupang (kerang putih ukuran kecil) berikut kuah, lentho (penganan terbuat dari singkong), dan bawang putih goreng.
Kuah kecokelatan tampak berwarna lebih muda dan bening, dibanding Lontong Kupang yang saya makan di Bogor pada Agustus lalu. Rasanya, gurih manis. Kecutnya perasan jeruk nipis memperkaya pengalaman mencecap kuah Lontong Kupang.
"Petisnya dari petis kupang. Kuah dibuat dari air kelapa, dimasak dengan bumbu-bumbu. Jangan khawatir, kupang dicuci tiga kali hingga bersih," jawab penjual setelah saya bertanya mengenai segala hal.
Mengunyah sesendok, kupang terasa sedikit kenyal. Gurihnya memang masih berada di bawah kerang darah, tapi ya tetap sedap disantap. Tak banyak kunyahan, kupang meluncur mulus ke dalam lambung.
Dengan rasa tawarnya, potongan lontong yang empuk menjadi penyeimbang. Kriuk lentho dan pahit gurihnya bawang goreng melengkapi pengalaman rasa. Sate kerang menambah kenikmatan menyantap Lontong Kupang.
Harmonisasi gurih, manis, asam yang samar, dan pedas menstimulasi indra perasa yang kemudian tak bosan menghayati keselarasan rasa Lontong Kupang.
Ingatan sejenak melayang ke masa mencecap Lontong Kupang di Waru, Sidoarjo, sekian belas tahun lalu. Kayaknya, mirip.
Aha! Bisa jadi hidangan khas Sidoarjo di Alun-alun Bangkalan itu memiliki rasa autentik.
Maka, dengan itu terbayar sudah rasa penasaran. Saya telah mendapatkan pengalaman merasakan Lontong Kupang dengan cita rasa asli yang lezat.
Saya bangkit dari kursi plastik di atas trotoar Alun-alun dengan berjingkat. Telapak kaki makin bengkak dan tambah sakit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI