Tanpa pikir dua kali, saya menghabiskan kopi lalu menuju rumah makan tersebut dan memesan Kupang Lontong.
Waktu masih tinggal di Malang, Kupang Lontong merupakan hidangan favorit. Kalau agak jauh, memakannya di Waru, Sidoarjo, di pinggir jalan bernaungkan pepohonan.
Di Malang, penjaja Kupang Lontong berkeliling keluar masuk permukiman.Â
Mbok penjual yang berasal dari Bangil, Jawa Timur, menggendong barang dagangan. Ketika ada yang memanggilnya, ia melepaskan selendang pengikat keranjang pada tubuhnya.
Darinya ia mengeluarkan bahan dan peralatan. Piring bersih diisi sedikit gula, bawang putih, cabai rawit, perasan jeruk nipis, dan petis udang (atau petis kupang?). Semua bahan dihaluskan dengan sendok.
Kemudian kuah panas dan kupang dituangkan ke atasnya. Terakhir, ditambahkan potongan lentho (terbuat dari kacang tolo/tunggak ditumbuk dan bumbu-bumbu).
Kupang merupakan keluarga kerang yang berukuran sangat kecil, dipanen di pinggir pantai atau lumpur air asin (sumber).
Tidak semua orang mau menyantapnya. Sebagian merasa kurang nyaman, karena kupang dipanen dari lumpur muara. Lainnya, merasa janggal dengan rasa dan teksturnya. Itu soal selera.
Saya menyukainya dari kali pertama merasakan. "Pertunjukan" penjual meracik Kupang Lontong menambah keinginan menyantapnya.
Sayang, di Warung Mbo'Is itu proses peracikan Lontong Kupang tidak terlihat. Semua masakan diolah di dalam dapur, tak terlihat dari meja pengunjung.
Bagaimanapun, sepiring Kupang Lontong membuat mata saya berbinar. Selama belasan tahun saya tidak menyantapnya, berhubung di Bogor tidak ada penjualnya dan lama tidak ke Malang atau Surabaya.