Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Meneropong Pembayaran Royalti dari Perspektif Pengelola Kafe

7 Agustus 2025   06:08 Diperbarui: 7 Agustus 2025   11:32 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembayaran royalti musik di kafe dan restoran (Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay)

TERSIAR KABAR, akhir-akhir pengelola kafe lebih suka memperdengarkan kicau burung dan suara alam kepada pengunjung, daripada memutar musik beroyalti.

Pemerintah telah mewajibkan tempat komersial membayar royalti untuk pemutaran lagu. Itu membuat pihak kafe cemas.

Polemik antara Once Mekel dan Ahmad Dhani, serta kasus-kasus pelanggaran hak cipta oleh pemegang lisensi Mie Gacoan Bali, Agnes Monica, dan Vidi Aldiano menguatkan keengganan itu.

Nilai dibayar tersebut akan terasa berat bila diletakkan dalam situasi penjualan yang kian merosot, seiring dengan peningkatan persaingan di bisnis serupa dan penurunan daya beli masyarakat.

Restoran dan kafe membayar royalti pencipta Rp60.000 per kursi per tahun; royalti terkait Rp60.000 per kursi per tahun (kompas.com).

Pemungutan, pengelolaan, dan pendistribusian royalti dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif. LMKN merupakan payung dari LMK Ada dua jenis LMK: LMK Pencipta dan LMK Pemilik Hak Terkait (kompas.id).

Seperempat abad lalu saya mengelola sebuah kafe dengan 250 seating capacity. Tempat tersebut dilengkapi dengan iringan musik.

Pada waktu itu sudah ada pungutan royalti. Dibayar setiap tahun kepada Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Terinformasi, yayasan ini mengumpulkan dan mendistribusikan royalti, sesuai kuasa dari pencipta lagu yang menjadi anggotanya (sumber).

Kalau tidak salah, saya membayar setidaknya Rp6.000.000 per tahun atau Rp24.000 per kursi per tahun (6 juta dibagi 250 kursi).

Jika saya menghitung dengan aturan sekarang, kafe tersebut akan membayar royalti kepada LMK sebesar: 250 kursi X (Rp60.000 + Rp60.000) = Rp30.000.000 per tahun. Tidak besar dibanding penjualan setahun.

Asumsi untuk memperkirakan penjualan kotor itu: 

  • 250 kursi (terisi penuh, setiap hari operasional); 
  • nilai belanja Rp100 ribu/pax; 
  • bisnis beroperasi 25 hari/bulan; 
  • dalam setahun buka 10 bulan (1 bulan Ramadhan, libur setelah Idul Fitri setengah bulan, libur lain-lain 2 pekan).

Penghasilan setahun: 250 X Rp100.000 X 25 hari X 10 bulan = Rp6.250.000.000. Artinya, pembayaran royalti Rp30 juta kecil dibanding penjualan bruto Rp6,25 miliar.

Namun, di dalam penjualan itu terdapat komponen biaya-biaya yang harus dibayarkan untuk: 

  • pajak-pajak
  • pembelian bahan baku dan biaya langsung lainnya; 
  • ultilitas (listrik, air, gas); 
  • sewa tempat; 
  • gaji karyawan; 
  • pertunjukan musik atau bayar band; 
  • promosi; 
  • perawatan dan perbaikan; 
  • penyusutan investasi; 
  • perpanjangan izin usaha; 
  • dan lainnya.

Biaya-biaya tersebut masih dapat dikelola. Termasuk biaya yang telah diatur oleh Undang-Undang, seperti pajak-pajak dan pembayaran royalti musik. Itu dapat diterima. Harusnya tidak membebani.

Setelah dipotong biaya-biaya, pemilik kafe akan mendapatkan keuntungan wajar, berkisar 5-10 persen.

Masalahnya, operasional kafe tak lepas dari ganggguan biaya eksternal, yaitu biaya tak dikehendaki yang menyedot keuntungan usha. Misalnya, pada waktu itu setiap tahun harus memperpanjang izin usaha. Kafe seperti yang saya kelola memiliki tiga izin: rumah makan, bar, dan musik hidup (live music).

Biaya resmi pembuatan maupun perpanjangan izin usaha masih dalam batas wajar, mungkin ratusan ribu rupiah. Namun, ngisi amplop untuk kepala dinas terkait itu yang nggak nguatin!

Tergantung pandai-pandainya bernegosiasi, "harga" bisa turun. Menurut pengalaman, pada tahun 2000an saya mengeluarkan Rp75 juta untuk satu izin. Dikalikan dengan 3 izin? Itu termasuk "murah". Pengelola kafe lain dikenakan tarif lebih tinggi.

Entah sekarang, berapa biayanya silumannya?

Belum lagi permintaan sumbangan untuk operasional parcok (tanya Ayah Tuah, artinya apa), pungutan dari ormas dan preman, pengajuan proposal untuk THR, dan sebagainya.

Seringkali biaya-biaya tak dikehendaki menggerogoti keuntungan. Gelap mata, pembayaran pajak (terutama PHR atau Pajak Hotel dan Restoran, yang dipungut pemerintah daerah) direkayasa sedemikian rupa agar berkurang.

Pada saat itu pengelola kafe menunda pembayaran royalti. Kebetulan saya punya kenalan "ordal" yang bisa diajak main mata. Sebetulnya, pengelola ingin membayar royalti atas pemutaran musik. Toh, musik memberikan ambience bagus pada kafe.

Di siang hari, ia menghadirkan efek rileks kepada pengunjung. Pada malam hari, musik menghentak mengantar para pengunjung kepada keseruan. Musik menjadi salah satu daya tarik, baik langsung maupun tidak.

Namun, biaya siluman dalam perpanjangan izin dan pungutan-pungutan di luar ketentuan yang mau tak mau harus dibayar. Biaya-biaya tak resmi yang sangat membebani keuangan kafe.

Pada waktu itu beban finansial makin berat dengan ketatnya persaingan usaha sejenis, sehingga pengunjung berkurang. Ditambah, turunnya daya beli masyarakat imbas krisis moneter 1998.

Sekiranya biaya-biaya dapat direkayasa atau ditunda pembayarannya, maka pengelola kafe terpaksa akan melakukannya, termasuk tidak membayar royalti pemutaran musik.

Saya memahami keengganan pengelola kafe dan restoran untuk memutar musik beroyalti. Berat secara finansial. Bila memutar musik tanpa membayar royalti, mereka khawatir akan konsekuensi hukumnya.

Akhirnya, sementara pengelola kafe lebih suka menyetel bunyi-bunyian alam, musik tanpa copyright, atau rekaman suara dan instrumental bebas royalti, daripada berurusan dengan hukum.

Dalam perspektif saya yang dulu berlaku sebagai pengelola kafe, seyogianya pemerintah mencari titik temu antara hak ekonomi pencipta atau yang terkait, dengan pihak yang menggunakan musik untuk tujuan komersial (seperti kafe, restoran, bar, club, diskotik).

Satu hal penting lainnya. Sebaiknya, pemerintah menciptakan iklim mendukung. Menghilangkan biaya siluman dan pungutan-pungutan tak resmi seperti di zaman dulu. 

Mudah-mudahan sekarang sudah tidak ada lagi. Tiadanya biaya-biaya liar akan mengurangi beban finansial pelaku bisnis kuliner pengguna musik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun