Asumsi untuk memperkirakan penjualan kotor itu:Â
- 250 kursi (terisi penuh, setiap hari operasional);Â
- nilai belanja Rp100 ribu/pax;Â
- bisnis beroperasi 25 hari/bulan;Â
- dalam setahun buka 10 bulan (1 bulan Ramadhan, libur setelah Idul Fitri setengah bulan, libur lain-lain 2 pekan).
Penghasilan setahun: 250 X Rp100.000 X 25 hari X 10 bulan = Rp6.250.000.000. Artinya, pembayaran royalti Rp30 juta kecil dibanding penjualan bruto Rp6,25 miliar.
Namun, di dalam penjualan itu terdapat komponen biaya-biaya yang harus dibayarkan untuk:Â
- pajak-pajak
- pembelian bahan baku dan biaya langsung lainnya;Â
- ultilitas (listrik, air, gas);Â
- sewa tempat;Â
- gaji karyawan;Â
- pertunjukan musik atau bayar band;Â
- promosi;Â
- perawatan dan perbaikan;Â
- penyusutan investasi;Â
- perpanjangan izin usaha;Â
- dan lainnya.
Biaya-biaya tersebut masih dapat dikelola. Termasuk biaya yang telah diatur oleh Undang-Undang, seperti pajak-pajak dan pembayaran royalti musik. Itu dapat diterima. Harusnya tidak membebani.
Setelah dipotong biaya-biaya, pemilik kafe akan mendapatkan keuntungan wajar, berkisar 5-10 persen.
Masalahnya, operasional kafe tak lepas dari ganggguan biaya eksternal, yaitu biaya tak dikehendaki yang menyedot keuntungan usha. Misalnya, pada waktu itu setiap tahun harus memperpanjang izin usaha. Kafe seperti yang saya kelola memiliki tiga izin: rumah makan, bar, dan musik hidup (live music).
Biaya resmi pembuatan maupun perpanjangan izin usaha masih dalam batas wajar, mungkin ratusan ribu rupiah. Namun, ngisi amplop untuk kepala dinas terkait itu yang nggak nguatin!
Tergantung pandai-pandainya bernegosiasi, "harga" bisa turun. Menurut pengalaman, pada tahun 2000an saya mengeluarkan Rp75 juta untuk satu izin. Dikalikan dengan 3 izin? Itu termasuk "murah". Pengelola kafe lain dikenakan tarif lebih tinggi.
Entah sekarang, berapa biayanya silumannya?
Belum lagi permintaan sumbangan untuk operasional parcok (tanya Ayah Tuah, artinya apa), pungutan dari ormas dan preman, pengajuan proposal untuk THR, dan sebagainya.
Seringkali biaya-biaya tak dikehendaki menggerogoti keuntungan. Gelap mata, pembayaran pajak (terutama PHR atau Pajak Hotel dan Restoran, yang dipungut pemerintah daerah) direkayasa sedemikian rupa agar berkurang.