Pada saat itu pengelola kafe menunda pembayaran royalti. Kebetulan saya punya kenalan "ordal" yang bisa diajak main mata. Sebetulnya, pengelola ingin membayar royalti atas pemutaran musik. Toh, musik memberikan ambience bagus pada kafe.
Di siang hari, ia menghadirkan efek rileks kepada pengunjung. Pada malam hari, musik menghentak mengantar para pengunjung kepada keseruan. Musik menjadi salah satu daya tarik, baik langsung maupun tidak.
Namun, biaya siluman dalam perpanjangan izin dan pungutan-pungutan di luar ketentuan yang mau tak mau harus dibayar. Biaya-biaya tak resmi yang sangat membebani keuangan kafe.
Pada waktu itu beban finansial makin berat dengan ketatnya persaingan usaha sejenis, sehingga pengunjung berkurang. Ditambah, turunnya daya beli masyarakat imbas krisis moneter 1998.
Sekiranya biaya-biaya dapat direkayasa atau ditunda pembayarannya, maka pengelola kafe terpaksa akan melakukannya, termasuk tidak membayar royalti pemutaran musik.
Saya memahami keengganan pengelola kafe dan restoran untuk memutar musik beroyalti. Berat secara finansial. Bila memutar musik tanpa membayar royalti, mereka khawatir akan konsekuensi hukumnya.
Akhirnya, sementara pengelola kafe lebih suka menyetel bunyi-bunyian alam, musik tanpa copyright, atau rekaman suara dan instrumental bebas royalti, daripada berurusan dengan hukum.
Dalam perspektif saya yang dulu berlaku sebagai pengelola kafe, seyogianya pemerintah mencari titik temu antara hak ekonomi pencipta atau yang terkait, dengan pihak yang menggunakan musik untuk tujuan komersial (seperti kafe, restoran, bar, club, diskotik).
Satu hal penting lainnya. Sebaiknya, pemerintah menciptakan iklim mendukung. Menghilangkan biaya siluman dan pungutan-pungutan tak resmi seperti di zaman dulu.Â
Mudah-mudahan sekarang sudah tidak ada lagi. Tiadanya biaya-biaya liar akan mengurangi beban finansial pelaku bisnis kuliner pengguna musik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI