SERING nongkrong dan ngobrol sambil seruput kopi tubruk di lapak penjualan menu sarapan, satu hal mengikuti adalah saling mengenal antar pengunjung kendati tak mengetahui semua nama. Mungkin begitu ya, bila sejumlah pria sering bertemu maka suasana akrab terbentuk.
Namanya Aip, entah panjangnya, adalah pengelola lapak yang berjualan di teras sebuah rumah Gang Pasama, Jalan Tentara Pelajar (dahulu, Cimanggu Raya), Kota Bogor. Berdagang nasi uduk, lontong sayur, mi glosor, mi/bihun goreng, hingga ketoprak dan lotek (pecel bumbu ulek).
Sesuai permintaan pelanggan, kemudian `Aip menyediakan kopi saset diseduh.
Tak jarang saya memesan kopi hitam diaduk sekali. Ditambah, dua hingga empat potong gorengan. Berhubung sudah sarapan di rumah, saya tidak makan menu "berat". Sesekali saja menyantap mi glosor disiram bumbu kacang. Ringan, tak terlalu mengenyangkan.
Harga mi glosor murah, hanya Rp2.500 sebungkus. Gorengan Rp1.250 sepotong. Kopi Rp4.000 secangkir.
Bukan cuma harga murah, tetapi keakraban antar pengunjung menyeret akan kaki ke lapak tersebut saat melewatinya. Susana yang menawarkan kehangatan, sehangat gorengan belum lama diangkat dari wajan.
Kurang dari sepuluh ribu perak saya mendapatkan banyak cerita. Secangkir kopi dan dua potong gorengan telah memberikan beragam makna.
Kala sedang menyantap tempe goreng hangat dan menyeruput kopi, terlihat pemilik lapak menggoreng umbi-umbian. Penjual singkong, ubi jalar, dan pisang di dekat lapak telah memberikan sekantong ubi kepada Aip yang kemudian membersihkan, memotong, dan menggorengnya.
Ubi jalar oranye sedang digoreng! Salah satu penganan kesukaan saya. Orang bule menyebutnya, sweet potato.