Jika tidak semuanya laku, masakan tersisa dikembalikan ke pemilik warung.
Wanita itu, saya lupa menanyakan namanya, dalam sehari biasa membawa 18-23 bungkus masakan matang. Artinya, bila barang dagangan habis terjual, ia mendapatkan Rp18.000 hingga Rp23.000 setiap hari.
Sebagai manusia biasa, tak setiap hari berjualan. Ada saat-saat tidak terdengar suara lantangnya menjajakan masakan. Mungkin 2 atau 3 hari dalam seminggu ia tidak berjualan.
Anggaplah ia berjualan 20 hari dalam sebulan. Perkiraan penghasilannya adalah: 18-23 bungkus X Rp1.000 X 20 hari = Rp360.000 hingga Rp460.000 per bulan.
Keadaannya makin tenggelam di bawah permukaan, bila tidak semua barang dagangannya laku.
Pendapatan di atas amatlah kritis. Tak perlulah mengambil rujukan Garis Kemiskinan BPS sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau menyejajarkannya dengan Garis Kemiskinan Makanan Rp443.433,
Diantara 8,57 persen kemiskinan pada September 2024, keadaan yang dialami penjaja masakan matang itu hanya satu noktah. Ada di depan mata saya. Nyata.
Apakah wanita itu tidak mendapat bantuan, misalnya bansos?
Ya itu! Berhubung ditinggal begitu saja oleh sang suami kurang ajar, legalitas status kependudukannya bermasalah. Kartu Keluarga belum diubah sesuai keadaan terakhir, sementara dokumen sahih menjadi syarat mengurus bansos dan semacamnya.
Saya tidak mendalami, sejauh mana elemen terkecil dari struktur pemerintah di lingkungannya --seperti RT/RW-- membantu dalam penyelesaian perkara tersebut.
Syukurlah, alam semesta bekerja dengan cara bijaknya. Saya mengetahui, sedikit orang membelikan popok atau susu bayi. Kebaikan yang meringankan beban penjaja masakan matang itu.