Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bisnis Paling Menjanjikan

17 Mei 2022   19:56 Diperbarui: 17 Mei 2022   20:02 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bisnis Paling Menjanjikan oleh HaiBaron dari pixabay.com

Keningku berkerut, "lho, kan sebelumnya berternak ikan lele?"

"Benar. Sekarang keberadaan warung pecel lele berkurang. Dulu sempat booming!"

Gaya bicara kawanku tidak pernah berubah. Ekspresif. Mimik muka, gerakan kedua tangan, dan gestur tubuh bercerita seru bersama mulutnya yang cakap meyakinkan orang lain.

Seperti waktu itu. Di sela-sela aku sedang menyantap hasil peternakan yang digoreng dan dicocol sambal kemangi, ia bercerita dengan berapi-api. Potensi bisnis pembesaran ikan lele yang menjanjikan.

Aku melihat, pada sebagian besar halaman rumahnya yang teduh dibuat kolam-kolam berdinding terpal biru. Tampak ikan-ikan berenang tenang. Sesekali makan pelet yang ditebar oleh kawanku itu.

Tidak perlu memelihara dari bibit, tapi membeli anakan berukuran 5-7 sentimeter dari peternak di Ciseeng. Diberi pakan yang cukup. Dipanen ketika beratnya mencapai satu seperempat hingga satu setengah ons per ekor. Dijual, laris terserap oleh warung pecel lele yang menjamur.

Namun jauh setelah itu ia menyatakan, "tapi itu ada masanya. Warung pecel lele keberadaannya mulai surut. Maka aku harus cepat beralih ke komoditas lain."

Aku menoleh ke halaman. Kolam-kolam lenyap. Berganti dengan kandang-kandang bambu. Di mana terdapat unggas-unggas yang sedang santai atau tidur-tidur ayam.

Sebagian hewan bersayap yang tidak bisa terbang itu bebas berkeliaran. Menggali dan mencabut dari lubang tanah cacing yang menggeliat kesal.

Sang kawan menyahut, "ayam buras! Ayam kampung harganya bagus. Diserap oleh restoran penjual ayam kampung penyet yang sedang merebak luas di kota-kota."

"Ooooh..."

"Telurnya pun bernilai tinggi."

Aku mencomot paha ayam bakar. Mengambil sejumput kangkung rebus hasil panen. Menambah sambal dadak yang sekejap menyengat mulut, tapi kemudian muncul rasa enak yang membuat ketagihan. Sejenak aku membaui ayam sedang digoreng.

Selanjutnya ia menjelaskan, makanan ayam kampung berasal dari bahan alami. Tidak sedikit pun mengandung unsur kimiawi. Masyarakat menggandrungi olahan ayam kampung tanpa pakan buatan.

"Beternak ayam buras merupakan bisnis menjanjikan!"

Aku mengangguk-angguk seraya menyeka cabai berikut rombongan yang tertinggal di bibir.

"Hayo, habiskan ayam bakarnya! Masih ada ayam goreng."

***

Hampir setahun aku tidak ke tempat kawan yang cerewet, namun kadang memicu rasa kangen itu. Ah, sebetulnya aku juga ingin makan enak di rumahnya, seraya memandang peternakan dan kebun yang mendamaikan hati.

Pada satu sore, aku menyempatkan diri mengunjunginya. Sepi mengalir. Semilir angin mengantarkan wangi yang sangat kukenal. Aroma daging bakar! Aku mengetuk pintu.

"Kebetulan. Ayo ke dalam, lagi bakar sate nih."

Tak butuh basa-basi, aku mengambil piring. Mencomot sate dari loyang dan mengambil lima kerat lontong. Rasanya enak. Lebih kenyal dibanding daging ayam. Melihat wajahku bertanya-tanya, sang kawan tersenyum.

"Memang itu bukan ayam."

"Jadi?"

"Ya. Ternyata ini bisnis sangat menjanjikan."

"Oh, jadi?"

"Ya. Beternak ayam buras aku sudahi. Sekarang...... taraaaa... Ini," kedua telapak tangannya membuka, jari-jarinya menunjuk tumpukan sate di dalam loyang.

Seperti biasa, tanpa diminta, sang kawan menjelaskan secara panjang lebar bisnis barunya dengan berapi-api. Aku mendengarkan sembari mengunyah sate yang telah dicocol saus kacang dan sambal. Aku tidak menghitung jumlah tusuk yang daging bakarnya sudah masuk ke perut.

Sang kawan bercerita, pasar hasil bisnis tersebut memang terbatas di kalangan warga penikmat makanan berkhasiat. Santapan  bermanfaat bagi pengobatan dan kesehatan. 

Harganya sangat bagus. Sementara ongkos produksi rendah. Lagi pula, belum banyak pemain pada bisnis itu. Inilah bisnis paling menjanjikan yang pernah ia tangani.

"Daging yang kau makan itu menyehatkan, selain mengenyangkan."

Aku memindahkan isi loyang ke piring. Ditambah saus, sambal, serta acar mentimun, wortel, dan bawang merah mentah. Tanpa menambah lontong.

"Tenang saja. Masih banyak sate sedang dipanggang."

Senang mengetahui perkembangan tersebut. Aku menggeser duduk ke dekat jendela terbuka. Perut terisi penuh. Tubuh berpeluh. Terasa panas.

Senang melihat kandang ayam rapi. Sekat-sekat dan pagar tampak lebih rapat, sehingga ayam-ayam tidak terlihat.

Senja yang kian temaram rupanya membuat para ayam buras tidur cepat. Tiada suara ayam berkokok dan berkotek. Apalagi yang berkeliaran menikmati sensasi cacing menggeliat.

Aku meraih kipas terbuat dari anyaman bambu, lalu memandang halaman asri. Tampak sebentuk berwarna hitam legam meluncur mulus secara elegan dari kurungan. Bukan satu, tapi dua, tiga, lima, dan beberapa ekor.

Ekor? Aku memekik-mekik, lantas berseru dengan suara tertahan.

Mendengar teriakanku, sontak reptilia itu waspada. Kepalanya meninggi tegak. Rusuknya mengembang lebar. Lehernya memipih menjelma sendok.

"Tenang! Hari gelap adalah waktu bagi mereka untuk mencari makanan."

Sirkulasi darah di wajahku tiba-tiba berhenti. Perutku berguncang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun