Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Negara Amplop

6 November 2021   06:58 Diperbarui: 6 November 2021   07:03 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peta Negara Amplop oleh Nietjuh dari pixabay.com

Adalah upaya pelik super sulit, menghapus ketergantungan rakyat sebuah negara untuk tidak pernah tidak memeluk amplop, kertas persegi tipis berwarna putih atau cokelat.

Dua puluh empat jam sehari. Tujuh hari sepekan. Lima puluh dua minggu dalam setahun menggenggam amplop. Sampai tiba saat untuk menyerahkannya ke tangan orang lain.

Negara Amplop terletak jauh di zona antah berantah. Jauh banget dari Indonesia. Penduduknya berjibun menempati wilayah dikelilingi laut. Dipimpin oleh sebuah organisasi pemerintahan berdaulat dan memiliki kepentingan nasional.

Di dalamnya terdapat satu kebijakan tertinggi, yaitu memenuhi hajat hidup mayoritas rakyatnya terhadap konsumsi amplop.

Diketahui, warganya merupakan konsumen amplop terbesar di seantero jagat, sesuai dengan namanya: Negara Amplop.

Bayangkan. Seluruh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diisi oleh amplop di mana-mana. Baik berwarna putih maupun coklat dengan berbagai ukuran. Kebanyakan disuplai dari negara-negara lain.

Berita baiknya, bahagian terbesar daripadanya diimpor dari Indonesia. Syukurlah.

Pihak otoritas, diwakili Menteri Urusan Dagang bersama Menteri Urusan Bikin Amplop bersepakat, cadangan amplop aman harus dipenuhi.

Rumusnya: Persediaan Amplop Nasional = Konsumsi Setahun + Cadangan Setahun.

Industri amplop lokal hanya mampu memenuhi tiga perempat dari jumlah konsumsi setahun.

Tidak usah kita bicara tentang ketidak-efisien-an pabrik lokal; buruknya tata-kelola distribusi amplop; permainan harga bahan baku oleh pedagang besar; atau persekongkolan para menteri dalam upaya melanggengkan impor amplop yang tidak berkesudahan.

Kita rakyat Indonesia yang sudah terbiasa tertib tidak bakal mengerti kekisruhan semacam itu. Pasti puyeng memikirkannya. Jangan! Lebih baik memenungkan, mengapa mereka "doyan" amplop?

Kosakata amplop, diamplopi, mengamplopi, teramplopkan, amplopan, amplopwan-amplopwati telah memperkaya mayapada bahasa mereka. Demikian mengakar sehingga kebiasaan itu kemudian mengadat-istiadat, lalu mengonstruksi sebuah bangunan budaya yang kokoh.

Sempat ada sekelompok orang menyadari bagaimana budaya amplopan menggerogoti keuangan negara. Faksi penekan hendak meruntuhkannya, tetapi seperti biasa mereka tergerus oleh kultur terlanjur menggurita itu.

Pemerintah tidak tinggal diam, berusaha membendung laju pertumbuhan budaya amplopan dengan menerbitkan rangkaian undang-undang dan peraturan turunannya.

Berjenjang-jenjang dari mulai UU Anti Amplop, Peraturan yang mengatur sanksi bagi pelanggar (termasuk petunjuk teknis dan pelaksanaannya berserta perangkat preventif juga represif), sampai pembentukan regu tindak pidana amplopan (TIPIAM) di institusi kepolisian dan kejaksaan.

Paling mutakhir adalah pembentukan Lembaga Sampiran Pemberantasan Amplopan (LSPA).

Namun praktik, tepatnya budaya amplopan kian meng-kohesi. Tarik-menarik antarunsur mengamplopi dan diamplopi semakin kokoh. Semua tanpa ada yang dikecualikan menjadi amplopwan-amplopwati unggulan.

Mau mengurus Kartu Identitas, mengamplopi sebelum diminta amplop. Petugas-petugas Kantor Penerbit Lisensi Nyetir (KPLN) wajib diamplopi agar lulus dari berbagai macam jebakan ujian.

Minta surat keterangan? Mau kerja? Mau naik kelas dan lulus sekolah? Mau kawin? Punya anak? Mati? Semua mutlak perlu amplopan.

Di dunia bisnis dan politik, praktik amplopan lebih dahsyat. Tidak cukup satu. Tapi amplop menggunung-gunung.

Untuk memperoleh proyek, harus terlebih dahulu mengamplopi. Setelah teken kontrak, pejabat pengadaan dan pengawasan mesti diamplopi. Demikian sampai ke tahap penagihan.

Baru kampanye saja, seorang kandidat pemimpin publik atau wakil rakyat wajib menyediakan jutaan amplop, untuk membeli suara pemilih. Setelah bertakhta, mereka masih bersinggungan dengan amplop.

Mengamplopi dan diamplopi. Memberi amplop, kalau mau mempertahankan jabatan. Menerima amplop, jika berhubungan dengan proyek.

Cukup sampai di sini. Tiada usai berkisah mengenai amplop, diamplopi, mengamplopi, teramplopkan, amplopan, amplopwan-amplopwati di Negara Amplop. Pokoknya, amplop menjadi komoditas utama dari Negara Amplop.

Beruntung negeri tercinta kita, Indonesia, jauh letaknya, sehingga para pejabat dan ratusan juta rakyatnya tidak terkontaminasi oleh budaya amplopan. Tidak setitik jua.

Namun demikian, sebagai negara pengekspor terbesar komoditas amplop, sudah sepatutnya perwakilan pemerintah Indonesia membina hubungan baik dengan Negara Amplop.

Demi tujuan dimaksud, maka diutuslah seorang Pejabat Tinggi berikut rombongan ke negara terletak nun jauh di zona antah berantah itu. Rombongan disambut dengan gembira oleh para petinggi.

Setelah jamuan mewah dan beramah-tamah diiringi pertunjukan meriah, Menteri Urusan Dagang dan Menteri Urusan Bikin Amplop mempersilakan Pejabat Tinggi Indonesia, memasuki ruang pertemuan tertutup untuk membahas soal strategis. 

Sedangkan rombongan tersisa berdiskusi mengenai ihwal teknis bersama petinggi Negara Amplop.

***

"Begini. Kami akan meningkatkan jumlah impor amplop dari Indonesia."

Mata Pejabat Tinggi Indonesia melebar, "kami siap. Pabrik-pabrik di negara kami sangat efisien. Berapa pun jumlahnya dapat kami penuhi."

"Baiklah. Bila Anda tidak berkeberatan. Ada syarat mengikuti...."

"Saya mendengarkan...," Pejabat Tinggi Indonesia bersemangat.

"Erghhh, transaksi bilateral menyangkut impor amplop telah berlangsung lama. Kami juga memuji kualitas dan ketepatan waktu pengiriman.....," tutur Menteri Urusan Dagang.

Menteri Urusan Bikin Amplop memotong tanpa tedeng aling-aling.

"Kuota impor dari negara Anda akan dilipatgandakan. Untuk itu, setiap lembar amplop agar ditambahkan harga sebesar 3 rupiah. Dua rupiah untuk kami, di mana akumulasi akhir agar dikirim ke sebuah rekening di Swiss. Satu rupiah lagi silakan Anda miliki."

Pejabat Tinggi Indonesia sontak bangun dari kursi berlapis kulit. Mukanya memerah.

"Tidak bisa! Tidak mungkin! Itu bukan kebisaan kami," radang pejabat tinggi menutup tas Echolac dengan kasar, lalu melangkah menuju pintu.

"Sebentar. Sebentar. Kuota impor dari negara Anda kami naikkan menjadi 1 triliun lembar amplop."

Pria perlente berperut buncit itu membalikkan badan. Berkerut kening.

"Anda lihat tumpukan amplop di sudut ruangan? Isinya berjumlah 10 miliar rupiah. Apakah cukup sebagai awal kesepakatan?"

"Gedubraaak...!!!" Tas Echolac terjatuh. Berkas di dalamnya berhamburan. 

Pejabat Tinggi menganga takjub memandang amplop menggunung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun