Baru kampanye saja, seorang kandidat pemimpin publik atau wakil rakyat wajib menyediakan jutaan amplop, untuk membeli suara pemilih. Setelah bertakhta, mereka masih bersinggungan dengan amplop.
Mengamplopi dan diamplopi. Memberi amplop, kalau mau mempertahankan jabatan. Menerima amplop, jika berhubungan dengan proyek.
Cukup sampai di sini. Tiada usai berkisah mengenai amplop, diamplopi, mengamplopi, teramplopkan, amplopan, amplopwan-amplopwati di Negara Amplop. Pokoknya, amplop menjadi komoditas utama dari Negara Amplop.
Beruntung negeri tercinta kita, Indonesia, jauh letaknya, sehingga para pejabat dan ratusan juta rakyatnya tidak terkontaminasi oleh budaya amplopan. Tidak setitik jua.
Namun demikian, sebagai negara pengekspor terbesar komoditas amplop, sudah sepatutnya perwakilan pemerintah Indonesia membina hubungan baik dengan Negara Amplop.
Demi tujuan dimaksud, maka diutuslah seorang Pejabat Tinggi berikut rombongan ke negara terletak nun jauh di zona antah berantah itu. Rombongan disambut dengan gembira oleh para petinggi.
Setelah jamuan mewah dan beramah-tamah diiringi pertunjukan meriah, Menteri Urusan Dagang dan Menteri Urusan Bikin Amplop mempersilakan Pejabat Tinggi Indonesia, memasuki ruang pertemuan tertutup untuk membahas soal strategis.Â
Sedangkan rombongan tersisa berdiskusi mengenai ihwal teknis bersama petinggi Negara Amplop.
***
"Begini. Kami akan meningkatkan jumlah impor amplop dari Indonesia."
Mata Pejabat Tinggi Indonesia melebar, "kami siap. Pabrik-pabrik di negara kami sangat efisien. Berapa pun jumlahnya dapat kami penuhi."