Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tak Kenal Tanggal Tua

22 Oktober 2021   06:59 Diperbarui: 23 Oktober 2021   20:33 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak uang tak kenal tanggal tua, ilustrasi oleh EmAji dari pixabay.com

Dimas tersedak menelan potongan telur ceplok setengah matang, “lupakan soal kelola uang bulanan. Mereka tak kenal tanggal tua, setiap hari adalah tanggal muda.”

Suapan terakhir nasi goreng keasinan bukan penanda usainya kicauan, tapi merupakan awal repetan berkepanjangan tak berkesudahan, “masak, pangkat sama. Beban sama. Mestinya gajinya pun sama. Tapi gaya hidup mereka lebih-lebih dari kita.”

Pria berperawakan kurus itu beranjak, membawa piring kosong ke dapur. Sekembalinya, ia disambut nyanyian pagi yang berkumandang berkali-kali setiap hari. Dimas garuk-garuk kepala, kerabatnya belum lama diangkat, mengapa ia lebih makmur ya?

Sebelum terlanjur tertahan oleh omelan lebih panjang pun lebih lebar tanpa jeda, Dimas menyambar tas kerja menuju pintu, menghidupkan mobil. Sonder menunggu mesin panas, ia menarik tuas persneling ke arah kakinya, melepaskan rem tangan dan pedal kopling. Mundur, kemudian mengarahkan muka mobil ke jalan menuju kantor

Aum mesin memutar roda berdecit-decit menggaruk aspal, meninggalkan jejak panjang. Bau karet terbakar, debu berhamburan mengisi cangkir kopi mengepul-ngepul di teras depan rumah tetangga sebelah.

“Sontoloyo...!!! Semprot Pak Tarjo.

Sudah dapat dipastikan Dimas tidak mendengar makian dari dalam kabin. Raungan mesin, bentakan gigi transmisi, decit-decit ban, bagi Dimas terdengar jauh lebih menenangkan daripada mengindahkan omelan istri juga makian tetangga.

Persoalan demi persoalan berkobar tidak lama setelah iparnya naik jabatan selaku Kepala Bidang Sarana dan Prasarana (Kabid Sarpras) sebuah Dinas Basah (Dinbas) di Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Nganu. Berbeda instansi, Dimas menyandang jabatan sebagai Kepala Bidang Pelatihan Pegawai Baru (Kabid PPB) di Dinas Kering (Dinker).

Kedudukan setara. Pangkat sama. Gaji mestinya sama. Mengapa ia lebih kaya?

Mobil iparnya, tiga. Suami mengendarai SUV luks. Sedan kecil buatan Eropa untuk istri dan jip untuk mengantar anak kuliah. Sedangkan Dimas? Satu unit MPV sejuta umat dan satu sepeda motor untuk anak Dimas.

Rumah Iparnya? Tingkat dua dengan ruang tamu megah, area keluarga, satu kamar utama, dua kamar untuk dua anaknya, satu kamar tamu. Lainnya standar rumah real estate: kamar mandi atas bawah, dapur basah dapur kering, garasi muat dua mobil, carport, dan halaman luas di depan juga kecil nan asri di belakang.

Rumah Dimas? Berada di permukiman warga biasa, hunian lawas itu sudah lapuk pula di sana-sini. Tidak usah diceritakan mengenai jumlah kamar beserta fasilitas tersedia, pokoknya bersyukur bisa berlindung dari panas dan hujan bagi dirinya beserta istri dan anak. Juga sebuah tempat penyimpanan mobil, tanpa dinding dan atap.

Raja Minyak Tak Kenal Tanggal Tua,” demikian keluarga besar istri Dimas menjulukinya. Disebut begitu, tiada satu pun terlewatkan dalam menanggung pembayaran. Iparnya dengan mudah merogoh dompet, mengulurkan tangan membayar segala tanpa pengecualian.

Iparnya menjadi penyumbang paling utama dalam acara pernikahan keponakan-keponakan serta acara ulang tahun anggota keluarga. Makan-makan di restoran semahal apa pun ia akan tanggung pembayarannya.

Bila keluarga pergi piknik ke luar kota, menyewakan kendaraan atau membayar bensin mobil-mobil rombongan. Menyelesaikan biaya tol. Menebus tiket masuk area wisata.

Tiada pernah dan tidak akan pernah datang tanggal tua. Tidak tersua tanggal tua dalam sejarah Raja Minyak.

Sementara Dimas? Istrinya berpeluh-peluh demi menghemat pengeluaran. Berkeluh-kesah tentang tanggal tua. Lantas istri Dimas menjajarkan nasib. Mempersamakan. Mengaci-acikan. Lalu membanding-bandingkan suaminya dengan suami dari adik kandungnya itu.

Diam-diam, meski tidak sepenuhnya dilakukan secara diam-diam, Dimas menguping bisik-bisik di antara anggota keluarga besar. Selentingan yang juga membanding-bandingkan gaya hidup Raja Minyak dengan cara hidup Dimas.

Beuh, lama-lama sakit kepala mikirin nyinyiran. Kalbu Dimas berontak hendak segera sampai di kantor. Pedal gas dipendam. MPV sejuta umat melaju. Lesat.

Hari itu. Pada hari Jumat itu Dimas menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia membaca satu demi satu kertas bersusun-susun setinggi satu meter dengan saksama. Menyimak. Meneliti. Membubuhkan tanda tangan. Mencoret-coret sebagian untuk diperbaiki lagi oleh para staf.

Seluruh isi kertas cuma berkaitan dengan pelatihan dan kegiatan orientasi bagi pegawai baru di lingkungan Pemkab Nganu. Pada kegiatan rutin Kabid PPB Dinker tiada dan tiada akan pernah datang berkas negosiasi rekanan sehubungan dengan proyek. Berbeda dengan Kabid Sarpras selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinbas, yang senantiasa kelimpahan urusan dengan pemborong proyek.

Ah, kenapa pikiran ke arah si Raja Minyak ya?

Dimas mengibaskan telapak tangannya, mengusir benak yang ikut nyinyir, mengingat besok ada acara keluarga besar berwisata ke luar kota. Mumpung PPKM sedang dilonggarkan.

Keluarga besar mengharapkan sumbangsih Dimas dalam acara dimaksud. Sebagaimana diteruskan oleh istri Dimas. “Ayo, Pah! Sekali ini Papah harus berkontribusi, apakah berupa satu dua kendaraan minibus sewaan atau traktiran makanan dalam perjalanan. Mosok Raja Minyak jadi andalan mulu?”

Dimas menghela napas. Ini tanggal tua. Gajian masih sepuluh hari lagi. Pos pengeluaran apa yang harus dikorbankan? Cicilan mobil? Cicilan motor? Kasbon ke kantor? Ngutang ke kolega? Atau mengorbankan biaya makan selama sepuluh hari ke depan?

Menghela napas --berharap tak kembali-- Dimas tambah puyeng memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih sangat mungkin sulit dilakukan.

Matahari senja mengetuk jendela samping dengan manja. Tiba saat pulang. Tumpukan kertas sudah hilang. Dimas kembali pening, keengganan untuk kembali ke rumah merayapi dada. Berkedut. Terasa ngilu juga pilu.

Hingga sebuah berita menggembirakan, sekaligus menggemparkan, membuat Dimas bergegas menghidupkan mobil. Sonder menunggu mesin cukup panas, ia menekan pedal gas sedalam-dalamnya. Ingin menemui istri selekas-lekasnya.

Aum mesin memutar roda berdecit-decit menggaruk aspal, meninggalkan jejak panjang. Bau karet terbakar, debu berhamburan memasuki pos jaga mengisi cangkir kopi mengepul-ngepul.

“Sontoloyo...! Gerutu Satpam dalam hati.

Meninggalkan mobil dengan pintu terbuka, Dimas membentangkan pintu ruang tamu, ”Mamah, Mamah. Pindahkan film Drakor ke saluran TV Berita!”

“Tanggung. Lagi asyik nih ...”

“Buruan! Raja Minyak masuk TV!”

Hah? Nah kan, tambah hebat dia,” jari jemari berlepotan cokelat memencet angka tiga pada remote control.

Pasangan itu menyimak layar kaca dengan suka cita. Sang istri girang menemukan bahan omelan. Sang suami senang menemukan bahan pembuktian.

“Ternyata Raja Minyak menyewa banyak mobil untuk acara kita besok. Tuh lihat, Pah. Banyak mobil hitam di depan rumahnya. Pengantarnya pun keren-keren.”

“Ya, ya, ya. Raja Minyak tampak dekil, lesu dengan wajah kuyu menunduk layu. Para pengantar bersafari hitam menggelandangnya ke dalam mobil hitam berpelat merah,” gumam Dimas membusung. Rasa puas membubung-bumbung tiada pernah puas-puasnya.

Tamat. Tiada lagi dan tidak akan pernah ada lagi kisah tentang Raja Minyak Tak Kenal Tanggal Tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun