Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gingsul yang Memenjara

18 Oktober 2020   07:10 Diperbarui: 18 Oktober 2020   07:14 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Mandy Zhang on Unsplash

Begini, persoalan menyembul dari kekaguman General Manager kepada isi artikel Budi Susilo di Kompasiana, tentang hubungan baik dalam bisnis kuliner, seperti ini. Dalam dunia pelayanan, penting membangun hubungan baik dengan pelanggan. 

Bosku menginstruksikan agar seluruh penanggungjawab pemasaran aktif membuat sales call)*, bukan cuman menelpon kastemer lho! Tapi rajin berkunjung.

Bukan hanya berkunjung biasa: bertemu, berbincang-bincang, dan bersalaman. Tapi membuat laporan perkembangan tertulis agar bisa dimonitor kelanjutannya, terinci nama, alamat, bisnis yang dijalankan, nomor telepon aktif, dan kapan janjian berikutnya.

Takbisa mengarang bebas seperti pengarang yang namanya Budi Susilo itu. Menyebalkan!

Namun dalam praktiknya, ada batas tipis pemahaman antara hubungan baik dengan pelanggan dalam kerangka bisnis dengan yang bersifat pribadi.

Dalam perjalanan waktu, pengunjung mulai banyak. Malahan beberapa sudah menjadi tamu rutin, sebulan sekali, seminggu sekali dan ada juga yang datang nyaris setiap hari, kecuali akhir pekan.

Salah satunya, seorang wanita berusia matang, istri seorang pengusaha yang pulang seminggu sekali. Wanita itu menghabiskan sepinya di kafe ini, hampir setiap hari. Aku kerap menemaninya. Yah, demi menjalin hubungan baik dengan pelanggan.

Wanita berkulit bersih itu berterimakasih atas keramahanku. Sebagai ungkapan rasa senang ia menyalami kedua tanganku, lalu menyelipkan secarik kertas berisi nomor kamar sebuah hotel di Duren Tiga, sambil mengedipkan matanya.

Belum lagi seorang tamu tetap yang kerap memesan dua loyang banana pizza dan hanya mengunyah sepotong. Sisanya dibagikan kepada karyawan, termasuk aku yang menemaninya.

Wanita yang diperkirakan berusia 30-an itu selalu memilih meja yang sama, di tepi jendela. Dan aku duduk di depannya mendengar segala kesah sampai tiba waktunya kafe tutup. Cerita, tepatnya keluh kesah, mengenai persoalan rumah tangga dan kehidupan ranjangnya. 

Konon, menurut buku berjudul "How to Become a Playboy" pada bab 2 halaman 69, ketika seorang wanita mengeluhkan kehidupan rumahtangganya, tentang suaminya, maka hanya diperlukan sedikit kata mendayu-dayu untuk membawanya ke tempat tidur.

Aku tidak mau dan takakan menerapkannya, bukan tipe demikian. Aku tidak melakukan perselingkuhan di kantor. Istriku terlalu baik untuk diselingkuhi.

Malam ini aku berencana mengajaknya ke depot soto gebrak di Lapangan Roos. Pasti ia sudah menunggu kesempatan itu, makanan yang sudah diidamkan sejak tumbuhnya benih dalam perutnya.

Kegiatanku sore ini hanya tinggal mendampingi Vinny, pegawai sebuah perusahaan komputer, dalam menentukan menu prasmanan. Perusahaannya akan mengadakan acara peluncuran produk di kafe ini, berkat upaya keras setelah aku melakukan serangkaian promosi ke perusahaannya. Berkat rayuanku, pilihan Vinny jatuh ke tempatku.

Tidak sekali dua kali aku melakukan perundingan, beberapa kali melalui telepon dan pertemuan langsung dengan gadis lajang itu.

Sebagaimana karyawati metropolitan, dandanan Vinny amatlah serasi. Blazer hitam menutup blus putih tipis dan rok span pendek berwarna cokelat muda. Potongan yang demikian indah membalut tubuh langsing berkulit pualam itu.

Setelah beres pembayaran uang muka, mestinya sudah beres pula urusan hari ini. Aku bisa tenggo alias pulang tepat jam 5 sore.

Gadis berambut pendek berleher jenjang itu berbincang sejenak dengan General Manager yang lalu menoleh kearahku,

"Tolong temani Vinny pulang!"

"Tapi Pak....?"

"Kamu tahu tentang bisnis hospitality kan? Tentunya kita menerapkan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Bukankah begitu, Bu Vinny?" Pandangannya menusuk. Kendati sedikit kesal aku berlaku manis kepada Vinny. 

Aku mengemudikan kendaraan dengan hati-hati. Di sepanjang perjalanan, Vinny riang bercakap-cakap.

Sebetulnya ia gadis riang menyenangkan, lembut dan banyak hal yang bisa menjadi bahan pembicaraan. Aku terbawa suasana, turut menimpali pembicaraan.

Setelah mengantarkannya, aku bisa langsung ngebut pulang menjemput istriku. Telat sedikit tidak mengapa.

"Bisa mampir sebentar ke butik di Tebet? Untuk mengambil baju dan beberapa barang,"  Vinny berkata lembut.

Aku menginjak pedal gas, melesat dan meliuk-liuk di antara kemacetan. Tujuan takterduga itu akan membuat bertambah terlambat menjemput istriku.

Lima belas atau dua puluh menit gadis kenes itu keluar dari sebuah butik kecil, masuk ke dalam mobil dengan sumringah. Gigi gingsulnya terlihat manakala ia tersenyum cerah.

Gigi gingsul yang sontak meruntuhkan kekesalanku. Gingsul itu terlalu memesona, memenjarakan kemarahanku dalam ruang yang tidak aku mengerti. Senyum itu mendinginkan hati yang mendidih. Nyesss.

Tapi aku hanya mengagumi saja, untuk memilikinya adalah suatu hal yang mustahil. Kendati Vinny tipe gadis easy going, yang tidak menyoalkan status, namun rasanya, dari beberapa kali perjumpaan Vinny naksir aku. Mata bulatnya menyatakan itu.

Tentu saja aku menganggapnya hal itu sebagai hubungan baik dengan pelanggan. Hubungan bisnis bukan hubungan pribadi.

Aku membawakan barang  bawaan yang cukup banyak ke dalam apartemen yang dimiliki gadis kekinian itu.

Vinny membuka blazernya dan melemparkannya ke sofa. Aku menaruh tas-tas butik di meja, kemudian pamit pulang, ketika Vinny menahanku,

"Sebentar, aku ingin minta pendapatmu tentang baju yang baru kubeli."

Vinny mengambil baju dari tas butik dan tanpa aba-aba Vinny membuka blus putihnya. Sejenak muncul kecemerlangan dari kulit dadanya yang sewarna pualam walaupun tertutup pakaian dalam.

"Bagaimana? Bagus ya," sambil mematut-matut. Setelah melakukan beberapa putaran, Vinny melepaskannya lagi. 

Aku menghela napas panjang, gelisah, teringat istriku yang sedang menunggu. Aku beranjak menuju pintu.

Vinny menguncinya dan tersenyum manis, memperlihatkan gingsulnya yang memenjarakanku, dan berbisik lembut,

"Aku ingin mencoba lingerie baru berwarna merah......"

)* Sales call dan hospitality dipinjam dari istilah yang dibawa oleh Kompasianer Celestine Patter. Terimakasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun