Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerita untuk Anak] Rizky Mimisan

18 Januari 2020   07:30 Diperbarui: 18 Januari 2020   08:43 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang terang benderang. Matahari berpendar garang. Rerumputan terpanggang. Tanaman kering kerontang. Baju Rizky centang perentang bersama debu ketika mengangkat tanah dengan beko)1 ke atas punggung damtrek)2.

Wajahnya sumringah, memancarkan kegirangan saat bermain angkutan tanah sembari menggumamkan gemuruh suara mesin.

Permainan itu seperti, .....ergh...apa ya namanya?

"Kontraktor...!" kata yu Anti, mengawasai Rizky sambil membaca buku.

Ya, betul itu! Rizky ingin seperti ayahnya yang bekerja di sebuah perusahaan konstruksi, membangun perumahan, jalan, pabrik dan banyak lagi yang tidak bisa diingatnya. Hanya sekali saja, Rizky diajak Ayahnya menyaksikan pengerjaan jalan baru di dekat tempat tinggalnya.

Ah, tapi kali ini ayahnya terlalu lama pergi. Mungkin Ia sangat sibuk. Katanya sedang mencari uang untuk Ibu, yu Anti, Rizky dan Nenek.

Biarlah, toh Ayah sudah memenuhi keinginannya membangun jalan, membelikannya mainan beko dengan remot)3 dan damtrek berukuran besar. Lebih besar dibanding punya teman-temannya. Ayahnya sudah berjanji akan membelikannya sepeda mini warna biru yang lama menjadi impiannya, setelah pulang dari luar kota.

Rizky sebentar lagi akan masuk Sekolah Dasar (SD). Setiap kali menanyakan tentang sepeda mini warna biru impian itu kepada Ibunya, Ia hanya akan terdiam, lalu memeluknya erat-erat.

Tidak tahu kenapa, Rizky tak pernah memperoleh jawab. Demikian juga ketika bertanya ke Nenek, Ia hanya mengelus-elus kepala Rizky seraya berkata, sabar.

Tanya ke yu Anti sama saja berbicara dengan tembok, Kakaknya yang baru tahun pertama menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu lebih suka berpetualang menjelajahi buku-bukunya.

Tapi sudahlah, Rizky tetap akan menunggu janji Ayah ketika pulang nanti. Saat Ia datang, Rizky selalu paling dahulu menghambur ke pelukannya. Rengkuhan hangat Ayah, sambil mengacak-acak rambut jabriknya, yang tak bakal dilupakan.

Bau keringat, bau tanah, bau solar, bau matahari melekat rapat di benak. Kadang jika Ayahnya pergi lama, Ibu akan menyelimuti Rizky dengan pakaian Ayah yang belum sempat dicuci agar tidur tidak gelisah.

Kali ini Ayah perginya amat lama, tidak seperti biasanya. Mungkin benar, Ia sangat sibuk, sedang mencari uang untuk Ibu, yu Anti, Rizky dan Nenek. Juga mencari banyak uang untuk membeli sepeda mini warna biru impiannya.

Rizky kangen ayah, mengidamkan bau tubuhnya, rindu kepada rengkuhan hangatnya yang sambil mengacak-acak rambut jabriknya.

Sengatan siang terasa amat menyengat, badan mungil menghangat, sinaran surya menyirami kepala ringkih. Rizky merasakan hidungnya meleleh, cairan menyungai menuju bibirnya. Rasanya asin.

Disekanya cairan kental itu dengan telapak tangan kiri. Memerah. Darah!

Yu Anti terperanjat mendengar sebuah teriakan, lalu bergegas menopang Rizky yang sempoyongan hendak jatuh. Dilihatnya darah mengucur dari hidungnya. Ia pun berteriak sejadi-jadinya, memanggil ibu dan neneknya.

"Rizky berdarah! Tolong...tolong...toloooong...!!!"

Hampir bersamaan, Ibunya, Neneknya menghambur dari dapur ke halaman depan. Ibu Rizky membopong menuju tempat tidur, disekanya limpasan darah di lubang hidung, mulut dan sebagian leher. Neneknya mengambil daun sirih.

Setelah baju yang ternoda darah diganti kaos oblong, Rizky berbaring dikompres air hangat, hidungnya disumpal dengan daun sirih yang telah digulung-gulung seperti rokok klobot kakeknya yang telah tiada.

Untuk sementara perdarahan berhenti. Ya! Rizky mimisan! Bukan sekali ini saja Ia mengalami pecah pembuluh halus di hidung, tetapi sebelumnya Ia sudah pernah mimisan beberapa kali. Bahkan yang terakhir kali, Ayahnya membawa Rizky ke rumah sakit.

Rizky sesenggukan mengingat itu, apalagi sekarang ditambah perasaan tidak nyaman menjalar di seluruh badan. Tubuhnya sedikit meriang, meradang.

Berkali-kali Nenek berkata, "Le)4...khan sudah Nenek bilang, jangan main tanah dan panas-panasan terlalu lama. Beginilah akibatnya kalau tidak mau mendengar kata orang tua". Rizky berharap dukungan dari Ibunya, tetapi Ia diam saja sambil memeras kain kompresan.

Untuk urusan nasehat-menasehati, Neneknya sangat banyak mengumbar kata-kata "Jangan", seperti:

"Le... jangan duduk di depan pintu, ora ilok)5!" Ayahnya tertawa mendengarnya.

"Jangan terlalu banyak tertawa, nanti akan ada kepedihan mendera!" mulut Ayah terkatup, giliran Rizky terkekeh.

"Kalau makan harus habis, jangan bersisa nasi sebutirpun! Kasihan, nanti petani menangis. Mereka telah bersusah payah menanam padi".

Dan masih banyak lagi ujaran nenek yang tidak semua Rizky ingat.

Mimisan berkurang. Gulungan daun sirih diganti baru. Ibu membersihkan gumpalan-gumpalan merah kehitaman dari hidung anak lelaki kecilnya. Agak lega nafasnya.

Tetapi badannya bertambah panas. Kepala Rizky masih berputar-putar, pusing tujuh keliling.

Makanan tak ada yang enak rasanya. Setelah tidak menghabiskan bubur yang disuapkan ibunya, Rizky minum cairan penurun panas, yang terasa agak manis meski getir.

Yu Anti sudah berselimut mimpi. Ibu dan Nenek kian cemas mengetahui suhu badan Rizky tidak kunjung menurun, malah semakin larut semakin meninggi.

Wajah kedua wanita beranak-pinak itu mendung. Bola-bola mata keruh susah payah menyangga beban berat gelembung-gelembung awan yang sebentar lagi tumpah ruah.

Pusing tujuh keliling di kepala Rizky berangsur-angsur mereda, berganti dengan perasaan ringan, sangat ringan, bahkan bisa melayang dari atas tempat tidur.

Kamar berukuran 3 4 meter itu tampak memuai lalu membesar, seiring dengan menyusutnya tempat tidur. Dirasakannya sebagai berada di awang-awang. Dua wanita yang dicintainya kelihatan menyusut, kecil-kecil, lalu merupa titik-titik gelap. Rizky melayang-layang ringan.

Sayup-sayup kabut membalut, mengelilingi sosok renta yang tersenyum. Kakek? Kakeknya sedang menghisap klobot, seperti kebiasan yang Rizky ingat, menunggunya pada ujung lorong serba putih, tetapi tidak begitu putih, seperti kapas. Udara dirasakannya dingin, tapi tidak begitu dingin, sebagaimana dinginnya penghujan.

Melayang, ringan dan terbang. Damai yang belum pernah Rizky rasakan sepanjang hidupnya. Seperti, entahlah, pokoknya sulit diterangkannya.

Tangan sepuh Kakeknya menjulur hendak menjemput tangan mungil Rizky.

Kemudian, Ayahnya segera mengulurkan tangan berototnya, merengkuh erat-erat tubuh Rizky. Bau keringat, bau tanah, bau solar, bau matahari menyelundup di benak Rizky.

Perasaan gembira yang menyembul tiba-tiba membuat jiwa Rizky sangat senang. Dirasakannya kehadiran Ayah yang dirindukannya selama ini.

"Ayah....?" Rizky tersenyum lirih, lemah tak berdaya meluapkan riang bergelombang. Ayahnya mengangguk dan memeluk rapat tubuh putranya itu seakan berjuang memindahkan seluruh hawa panas dari tubuh mungil itu ke tubuh kekarnya.

Akhirnya, putra tercintanya terlelap damai dalam rengkuhan rapat Ayahnya. Apapun akan dilakukannya demi kesembuhan anak bungsunya.

Pada hari minggu berikutnya, di halaman depan rumah, mengenakan topi merah penahan panas dari sang surya, Rizky bersorak gembira belajar menaiki sepeda mini warna biru impian, ditemani Ayahnya tercinta.

~~Selesai~~

Catatan: 
)1. beko: backhoe/excavator 
)2. damtrek: dumptruck 
)3. remot: remote control 
)4. ora ilok: tidak pantas 
)5. le: panggilan kepada anak lelaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun