Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Harley Davidson di Garuda dan Tisu Termahal yang Harus Ditebus

6 Desember 2019   10:27 Diperbarui: 7 Desember 2019   12:20 3153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) berbincang dengan Menteri BUMN Erick Thohir aat konferensi pers terkait penyelundupan motor Harlery Davidson dan sepeda Brompton menggunakan pesawat baru milik Garuda Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12/2019). Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu berhasil mengungkap penyelundupan sepeda motor Harley Davidson pesanan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, I Gusti Ngurah Askhara dan dua sepeda Brompton beserta aksesorisnya menggunakan pesawat baru Airbus A330-900 Neo milik Garuda Indonesia.

Kasus penyelundupan spare part Harley Davidson dan dua buah sepeda Brompton di dalam pesawat berbuntut pada pemecatan I Gusti Ngurah Askhara sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia.

Barang yang tidak di-declare tersebut berada dalam kabin, bukan di bagasi, pesawat Garuda Indonesia jenis Airbus A 330-900 Neo yang baru dipesan dari Perancis.

"Total potensi kerugian negara kalau tidak declare Rp532 juta sampai Rp1,5 miliar," papar Sri Mulyani.

Pejabat Garuda Indonesia itu tidak mematuhi prosedur, yakni dengan cara memreteli sepedamotor Harley Davidson 1972 Shovelhead bekas dan disamarkan dalam beberapa koli. Sesuai aturan, kendaraan bermotor bekas termasuk barang yang dilarang diimpor.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, menduga tiadanya itikad baik dalam pemasukan barang secara ilegal ke dalam wilayah Indonesia karena tidak ada dalam daftar barang yang termasuk di dalam dokumen impor pengadaan pesawat baru tersebut.

Peristiwa serupa, yaitu pemasukan barang yang tidak termasuk di dalam dokumen impor, pernah saya alami beberapa tahun lalu.

Sekitar tahun 2000-an saya bekerja di sebuah perusahaan importir umum yang memasukkan kendaraan dalam keadaan utuh (CBU: Completely Built Up). Seorang penggemar mobil meminta saya merintis usaha itu, di antaranya, dari mulai pendirian badan usaha, perijinan, pembuatan Angka Pengenal Importir Umum (API-U), berhubungan dengan Bea Cukai, melakukan pembelian mobil impor.

Mobil CBU diimpor dari negara Jepang seperti: Mazda RX-8, Nissan Elgrand, Honda Fit, Toyota Ist, Toyota MRS (mobil sport berpenumpang dua), Toyota Wish (sejenis mobil minivan). Paling laris adalah Toyota Wish (mungkin karena bisa muat 6/7 orang dan modelnya manis).

Proses importasi tidaklah serumit dibayangkan. Pilih barang cukup di Jakarta, karena penjual mobil CBU langsung datang dari Jepang membawa brosur dan Compact Disc berisi tayangan tentang performa masing-masing mobil. Tinggal pesan saja.

Transaksi dimulai dengan terlebih dahulu membayar seluruh biaya pembelian kendaraan, pengiriman, asuransi kepada penjual di Jepang.

Menerima Bill of Lading (BL) yang diterbitkan oleh perusahaan pelayaran asal yang harus sesuai dengan Invoice yang mencantumkan perincian barang dan masing-masing harganya, dan  harus sesuai dengan dokumen daftar barang (packing list).

Berdasarkan B/L lalu dipilih perusahaan jasa Freight Forwarding (FF) yang merupakan pihak ketiga profesional untuk menerbitkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Penerbitan PIB ini terhubung secara elektronik dengan Bea Cukai dan menjadi dasar pembayaran bea masuk dan pajak lainnya.

Perkiraan tarif bea masuk juga bisa dilihat di buku yang diterbitkan Bea dan Cukai, saya lupa nama bukunya. Selain tarif, tercantum juga barang-barang yang tidak boleh diimpor, di antaranya kendaraan bermotor bekas.

Saya sempat tergoda untuk memasukkan mobil "baru tapi bekas" dari Malaysia atau Australia karena cuan-nya sangat merangsang.

Salah satu cara, misalnya, mobil keluaran tahun 2019 tapi bekas pakai di luar negeri itu dibersihkan sedemikian rupa termasuk mengikis knalpot agar terlihat baru lalu dimasukkan ke Indonesia. Tentu saja dengan mengakali dokumen dan sejumlah uang pelicin.

Harga perolehan jauh lebih murah, sementara harga jualnya sama dengan harga mobil CBU baru.

Sebetulnya masih ada modus lain, namun biarlah saya simpan sendiri.

Jumlah pembayaran bea masuk berdasar PIB segera dilunasi pada loket di Pelabuhan Tanjung Priok. Kontainer, masing-masing berisi tiga buah mobil, berada di lapangan penumpukan yang dikelola oleh PT Internasional Jakarta Container Terminal (JICT) --sebuah BUMN pengelolaan peti kemas-- dalam waktu terbatas.

Kalau tidak salah, hanya satu hari penumpukan di lapangan, selebihnya harus membayar biaya sewa penumpukan sekian (lupa) Dollar Amerika per-hari.

Oleh karena itu, pelunasan bea masuk dan pajak lainnya harus segera dilakukan saat itu juga, kalau tidak akan rugi biaya sewa lapangan untuk penumpukan kontainer.

Tidak selesai dengan membayar bea masuk, terlebih dahulu kontainer harus melalui jalur pemeriksaan berupa lorong pemindaian.

Bila tidak terdeteksi adanya barang selain yang tertera di dokumen, maka kontainer tersebut masuk jalur hijau artinya barang-barang yang terdapat di dalamnya bebas penyelundupan. Bea cukai menerbitkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) agar bisa keluar dari pelabuhan ke kawasan berikat.

Sedangkan untuk kontainer yang diduga terdapat barang tidak sesuai dokumen, akan masuk ke jalur merah dan akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Konsekuensinya adalah barang tersebut bisa dire-ekspor atau dikirim kembali, kena denda, atau kena sanksi penyelundupan.

Saya tidak mengalami satupun, meski kontainer berisi mobil-mobil CBU beberapa kali sempat masuk jalur merah.

Yang paling saya ingat, adalah saat sebuah kontainer berisi Toyota MRS, Ist, dan Wish masuk jalur merah. Ditahan oleh pihak Bea Cukai karena ada barang yang perlu diklarifikasi. Berarti biaya penumpukan akan timbul dan membengkak, karena saya tidak tahu berapa lama proses itu berjalan. Kerugian membayang.

Di dalam salah satu mobil CBU, Toyota Wish, ada barang tidak termasuk dalam dokumen packing list, Invoice, BL, PIB atau dokumen impor manapun. Barang tersebut adalah beberapa box karton berlogo sebuah dealer mobil Toyota di Jepang berisi 250 sheets tisu.

Usut punya usut, salah seorang pegawai di kantor saya --yang biasa memesan kendaraan CBU-- telah meminta barang kenangan dan penjualnya menyanggupi dengan memasukkan boks tisu berlogo dealer tanpa dicantumkan di dalam Invoice dan BL.

Melalui negosiasi alot dengan oknum terkait, Saya pun merogoh kocek sebesar lima juta Rupiah untuk 15 box karton berisi tisu tanpa tanda terima, demikian agar kontainer lolos dari jalur merah pada hari itu juga.

Tisu termahal yang pernah dibeli.

Sumber: 1, 2 dan 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun