Belum lama ini, Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat yang dikenal vokal dan kontroversial mengumumkan program “pembinaan” siswa nakal dengan cara mengirim mereka ke barak militer selama enam bulan. Program ini diklaim sebagai bagian dari pendidikan berkarakter. Namun, alih-alih menuai apresiasi, kebijakan ini justru mengundang kritik keras dari berbagai kalangan, terutama pemerhati pendidikan dan psikologi remaja.
Apakah kebijakan ini benar-benar bentuk solusi jangka panjang? Atau hanya jalan pintas penuh risiko?
⚠️ Krisis Ide: Ketika Negara Kehabisan Cara
Menggunakan barak militer sebagai tempat “pendidikan” remaja bermasalah menunjukkan satu hal penting: krisis ide dalam menangani kenakalan remaja.
Remaja yang melakukan tawuran, kecanduan gim, atau membangkang, bukanlah "penjahat negara". Mereka adalah refleksi dari masalah sosial dan psikologis: minimnya perhatian di rumah, ketidakhadiran guru sebagai pembina, hingga ketidakmampuan sekolah menghadirkan sistem konseling yang kuat.
👉 Bukannya memperkuat bimbingan konseling, negara malah menyerahkan anak-anak ke tangan militer.
👉 Bukannya mendekatkan guru dan orang tua, yang dilakukan justru menjauhkan anak dari lingkungan yang seharusnya menyembuhkan.
🧠 Gagal Paham Psikologi Remaja
“Disiplin sejati lahir dari kesadaran, bukan ketakutan.”
Kutipan ini menjadi tamparan keras bagi kebijakan Dedi Mulyadi.
Remaja yang bermasalah butuh pendekatan reflektif, bukan koersif. Mereka butuh ruang aman untuk berbicara, untuk didengar, dan untuk diarahkan bukan digiring ke tempat yang keras, penuh perintah, dan berpotensi menimbulkan trauma.
Bayangkan jika seorang anak dengan luka emosional harus tinggal di barak militer, dipaksa bangun jam 4 pagi, push-up di bawah teriakan, tanpa ada pendamping psikologis. Apa yang sedang kita tanamkan? Disiplin atau dendam?
🪖 Militerisasi Pendidikan: Ancaman Demokrasi Kecil
Apa jadinya jika sekolah kehilangan fungsinya sebagai tempat tumbuh kembang anak?
Program wajib militer di sekolah, seperti yang juga diwacanakan, adalah bentuk militerisasi pendidikan yang berbahaya. Ketika siswa belajar bahwa solusi dari pembangkangan adalah kekerasan simbolik dan komando, maka yang lahir adalah generasi penurut bukan generasi berpikir.
📉 Ini bukan hanya soal pendidikan, tapi soal masa depan demokrasi.
📉 Ini bukan hanya soal disiplin, tapi soal peran negara dalam membentuk manusia yang merdeka secara utuh.
🧭 Butuh Solusi, Bukan Hukuman
Pemerintah seharusnya:
- Menguatkan layanan konseling dan psikolog sekolah
- Mendorong pelatihan guru untuk menangani remaja bermasalah
- Membuat program pemulihan berbasis komunitas
- Melibatkan tokoh agama, pemuda, dan keluarga dalam proses pendidikan karakter
Bukan mengirim anak ke barak karena pemerintah malas berpikir!
🗣️ Penutup: Barak Bukan Sekolah, Anak Bukan Tentara
Kita sedang kehilangan arah dalam mendidik anak bangsa. Alih-alih menciptakan kebijakan berbasis empati dan ilmu, pemerintah justru memunculkan kebijakan instan yang mengorbankan anak-anak bermasalah.
Apakah kita akan terus membiarkan anak-anak dididik dengan tekanan, bukan kasih sayang?
📌 Barak bukan tempat mendidik anak.
📌 Anak-anak nakal bukan untuk dipenjara, mereka untuk dipahami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI