Kasus Satria Arta Kumbara bukan sekadar soal kewarganegaraan, bukan pula sekadar soal hukum. Ini soal wajah kemanusiaan negara, soal keberanian pemimpin kita melihat lebih jauh dari teks undang-undang.
Hukum memang tegas. Pasal 23 huruf (d) UU No. 12 Tahun 2006 menyatakan siapa pun yang bergabung dengan tentara asing tanpa izin Presiden akan kehilangan kewarganegaraan. Tidak ada ruang tafsir lain. Tapi, mari jujur bertanya:
Apakah negara cukup hanya menegakkan pasal tanpa memikirkan konteks manusia di baliknya? Apakah negara boleh lepas tangan begitu saja, membiarkan mantan prajuritnya terlunta di negeri asing?Â
Satria Bukan Pengkhianat, Ia Korban Situasi
Jika Satria Kumbara bergabung dengan tentara Rusia demi alasan ideologi atau untuk memusuhi Indonesia, negara pantas marah. Tapi faktanya, ia melakukannya karena desakan ekonomi, ketidaktahuan hukum, dan mungkin ketidakberdayaan sebagai rakyat kecil.
Dia tidak mengibarkan bendera asing di Indonesia. Dia tidak berkhianat secara sadar. Ia hanya seorang manusia yang kini sadar betapa mahal harga kewarganegaraan itu.
Apakah kita akan memenjarakan seseorang seumur hidup di negeri asing hanya karena dia bodoh secara hukum.
Satria, dalam keterusterangannya, mengaku tak pernah paham kalau masuk tentara asing bisa berakibat kehilangan kewarganegaraan. Ia bukan pakar hukum. Ia bukan politisi. Ia hanya seorang mantan marinir, mencari nafkah di negeri asing, yang kemudian terseret dalam kontrak militer Rusia.
Kini ia tersadar, bahwa langkahnya mungkin membuatnya bukan lagi Warga Negara Indonesia. Lalu ia berkata dengan jujur:
"Saya tidak ingin kehilangan kewarganegaraan saya. Karena bagi saya, kewarganegaraan Indonesia itu segalanya."
Pertanyaannya sederhana: Apakah negara tega membiarkannya terlunta-lunta karena satu kekeliruan?
Prabowo Tidak Sedang Diuji Soal Hukum, Tapi Soal Nurani
Presiden Prabowo Subianto tahu persis bagaimana prajurit berpikir. Ia tahu rasanya kehilangan orang di negeri orang. Ia juga tahu, bahwa seorang mantan marinir yang tersesat bukan berarti harus dibuang selamanya.
Prabowo sedang diuji: Apakah ia akan bersembunyi di balik tafsir UU Kewarganegaraan, atau berani mengambil langkah berani yang menunjukkan bahwa negara tak pernah benar-benar meninggalkan rakyatnya?
Hukum memang bisa menutup pintu, tapi presiden punya diskresi politik, punya kuasa, punya hati. Pasal 33 UU Kewarganegaraan memungkinkan proses pemulihan.
Apa susahnya bagi negara memulangkan Satria, menindaklanjutinya secara administratif, lalu memberikan dia kesempatan kedua?
Dalam sistem hukum kita, Presiden memegang kunci penting soal kewarganegaraan. Melalui Pasal 4 UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Dalam Pasal 13 UU Kewarganegaraan, permohonan untuk kembali menjadi WNI harus melalui Presiden.