Mohon tunggu...
Sudut Kritis Budi
Sudut Kritis Budi Mohon Tunggu... Entrepreneur dan Penulis

Penulis opini hukum dan isu-isu publik. Menyuarakan kritik konstruktif berbasis hukum dan nilai keadilan. Karena negara hukum bukan sekadar jargon.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo, Satria Kumbara & Dilema Kewarganegaraan : Saatnya Hukum Memberi Ruang bagi Kemanusiaan

23 Juli 2025   08:08 Diperbarui: 23 Juli 2025   14:08 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Ilustrasi dibuat dengan bantuan AI (DALL-E, OpenAI)"

Kasus Satria Arta Kumbara bukan sekadar soal kewarganegaraan, bukan pula sekadar soal hukum. Ini soal wajah kemanusiaan negara, soal keberanian pemimpin kita melihat lebih jauh dari teks undang-undang.

Hukum memang tegas. Pasal 23 huruf (d) UU No. 12 Tahun 2006 menyatakan siapa pun yang bergabung dengan tentara asing tanpa izin Presiden akan kehilangan kewarganegaraan. Tidak ada ruang tafsir lain. Tapi, mari jujur bertanya:
Apakah negara cukup hanya menegakkan pasal tanpa memikirkan konteks manusia di baliknya? Apakah negara boleh lepas tangan begitu saja, membiarkan mantan prajuritnya terlunta di negeri asing? 

Satria Bukan Pengkhianat, Ia Korban Situasi
Jika Satria Kumbara bergabung dengan tentara Rusia demi alasan ideologi atau untuk memusuhi Indonesia, negara pantas marah. Tapi faktanya, ia melakukannya karena desakan ekonomi, ketidaktahuan hukum, dan mungkin ketidakberdayaan sebagai rakyat kecil.

Dia tidak mengibarkan bendera asing di Indonesia. Dia tidak berkhianat secara sadar. Ia hanya seorang manusia yang kini sadar betapa mahal harga kewarganegaraan itu.
Apakah kita akan memenjarakan seseorang seumur hidup di negeri asing hanya karena dia bodoh secara hukum.

Satria, dalam keterusterangannya, mengaku tak pernah paham kalau masuk tentara asing bisa berakibat kehilangan kewarganegaraan. Ia bukan pakar hukum. Ia bukan politisi. Ia hanya seorang mantan marinir, mencari nafkah di negeri asing, yang kemudian terseret dalam kontrak militer Rusia.

Kini ia tersadar, bahwa langkahnya mungkin membuatnya bukan lagi Warga Negara Indonesia. Lalu ia berkata dengan jujur:
"Saya tidak ingin kehilangan kewarganegaraan saya. Karena bagi saya, kewarganegaraan Indonesia itu segalanya."

Pertanyaannya sederhana: Apakah negara tega membiarkannya terlunta-lunta karena satu kekeliruan?

Prabowo Tidak Sedang Diuji Soal Hukum, Tapi Soal Nurani
Presiden Prabowo Subianto tahu persis bagaimana prajurit berpikir. Ia tahu rasanya kehilangan orang di negeri orang. Ia juga tahu, bahwa seorang mantan marinir yang tersesat bukan berarti harus dibuang selamanya.

Prabowo sedang diuji: Apakah ia akan bersembunyi di balik tafsir UU Kewarganegaraan, atau berani mengambil langkah berani yang menunjukkan bahwa negara tak pernah benar-benar meninggalkan rakyatnya?

Hukum memang bisa menutup pintu, tapi presiden punya diskresi politik, punya kuasa, punya hati. Pasal 33 UU Kewarganegaraan memungkinkan proses pemulihan.
Apa susahnya bagi negara memulangkan Satria, menindaklanjutinya secara administratif, lalu memberikan dia kesempatan kedua?

Dalam sistem hukum kita, Presiden memegang kunci penting soal kewarganegaraan. Melalui Pasal 4 UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Dalam Pasal 13 UU Kewarganegaraan, permohonan untuk kembali menjadi WNI harus melalui Presiden.

Presiden punya hak, dan lebih dari itu, punya kuasa moral, untuk menentukan nasib seseorang. Tidak semua soal hukum harus diselesaikan dengan kekerasan teks pasal. Banyak hal perlu diselesaikan dengan kearifan dan hati nurani.

Hari ini, kita tak bicara soal pelaku korupsi, teroris, atau penjahat yang kabur dari hukuman. Kita bicara tentang seorang mantan prajurit yang ingin pulang, yang ingin memperbaiki hidupnya, yang ingin menebus kekeliruannya dengan cara baik-baik.

Negara Tidak Akan Rugi, Justru Akan Diingat
Memulangkan Satria tidak akan menurunkan wibawa Indonesia. Sebaliknya, Indonesia akan dikenang sebagai negara yang memegang prinsip: "Tak ada anak bangsa yang dibiarkan hilang."
Kita pernah memulangkan TKI ilegal, buruh migran overstay, bahkan napi asing. Kenapa untuk bekas prajurit sendiri, negara tiba-tiba kaku, beku, tanpa nurani?

Kalau negara tega menutup pintu pulang bagi Satria, jangan heran kelak orang makin percaya: kewarganegaraan itu hanya soal administrasi, bukan soal rasa memiliki.  

Jangan Biarkan Hukum Membunuh Kemanusiaan
Hukum tak boleh dipisahkan dari akal sehat dan hati nurani. Negara besar bukan negara yang tegas menegakkan pasal, tapi negara yang tahu kapan aturan perlu memberi ruang bagi kemanusiaan. 

Kewarganegaraan memang bisa hilang, tapi hak anak bangsa untuk pulang, untuk memohon ampun tidak boleh hilang. Itu prinsip kemanusiaan, bukan politik. Itu esensi negara, bukan birokrasi. 

Kita tak boleh lupa, hukum bukan sekadar teks pasal. Pancasila mengajarkan kita tentang kemanusiaan yang adil dan beradab.Bahwa manusia bukan hanya diukur dari kesalahannya, tapi dari keinginan memperbaiki diri.

Penutup: Prabowo Harus Memilih, Sejarah Akan Mencatat
Presiden Prabowo Subianto hari ini sedang diuji sejarah:
Apakah ia akan dikenal sebagai presiden yang tegas tapi berhati dingin?
Atau sebagai presiden yang tegas, tapi tetap memberi ruang bagi anak bangsa yang ingin pulang?

Satria Kumbara bukan siapa-siapa. Tapi dalam diri orang kecil seperti dia, sejarah bangsa ini diuji: apakah kita bangsa yang membuang, atau bangsa yang memeluk kembali.

Hukum memang harus ditegakkan. Tapi negara yang besar selalu tahu kapan hukum harus memberi jalan bagi kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun