Pemulangan 699 Warga Negara Indonesia (WNI) dari Myanmar akibat praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berbasis online scam bukan sekadar catatan diplomasi. Ini adalah cermin kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya sejak dari hulu.
Mereka bukan korban bencana alam, bukan pula korban perang. Mereka korban kejahatan perdagangan orang modern berbasis digital, jebakan pekerjaan palsu yang sudah sering terjadi namun terus berulang.
Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan 116 orang di antaranya adalah korban yang pernah terjebak sebelumnya. Bukankah ini bukti nyata negara gagal mencegah secara sistematis?
🔍 Modus Lama, Teknologi Baru: Negara Tertinggal
Modus ini bukan hal baru. Para korban dijanjikan pekerjaan sebagai customer service di Thailand, gaji besar, fasilitas nyaman, biaya ditanggung.
Tapi kenyataannya mereka justru dikirim ke wilayah konflik Myawaddy, Myanmar, dan dipaksa menjadi pekerja ilegal di pusat kejahatan online internasional.
Mereka bukan dipekerjakan secara sah, melainkan dipaksa melakukan penipuan online, mengincar korban baru dari berbagai negara.
Bentuk eksploitasi ini memenuhi unsur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO: perekrutan, pengangkutan, penampungan, dan eksploitasi.
Celakanya, negara lambat membaca perubahan modus. Meski kejahatannya makin canggih memanfaatkan teknologi, pengawasan pemerintah tetap berjalan dengan pola lama.
🚩 Hulu yang Bocor: Negara Tak Serius Cegah di Awal
Kasus ini membuktikan pencegahan di hulu masih sangat lemah.
Rekrutmen dilakukan secara terang-terangan via Facebook, Instagram, Telegram. Tapi negara tak kunjung membangun sistem pengawasan yang kuat terhadap iklan kerja bodong.
Di sisi lain, literasi masyarakat soal migrasi aman sangat rendah. Janji gaji besar lebih cepat dipercaya dibanding edukasi hukum yang minim disosialisasikan pemerintah.
Inilah celah yang terus dimanfaatkan sindikat.
Padahal sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), pemerintah wajib melakukan pencegahan dan edukasi secara menyeluruh. Kenyataannya, langkah ini lebih banyak retorika daripada aksi nyata.
⚖️ Penegakan Hukum: Baru Menyentuh Akar Rumput, Bukan Sindikat
Penegakan hukum dalam kasus ini baru menyentuh perekrut kecil. Tersangka HR (27), karyawan swasta, dijerat Pasal 4 UU TPPO dan Pasal 81 UU PPMI dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Namun, pertanyaannya:
Di mana pelaku utamanya?
Siapa penyandang dana?
Mengapa sindikat besar lintas negara tak tersentuh?
Sindikat ini jelas melibatkan jaringan internasional yang lebih kompleks. Penegakan hukum tidak cukup hanya menindak perekrut lokal. Negara harus:
- Memburu jaringan lintas negara melalui kerja sama Interpol dan ASEAN.
- Membekukan rekening sindikat melalui PPATK.
- Memaksimalkan UU ITE untuk memotong jalur rekrutmen digital.
🚨 Pemulangan Bukan Akhir, Tapi Tanda Bahaya Baru
Pemulangan korban memang kewajiban negara. Pasal 19 UUD 1945 tegas memerintahkan negara melindungi warganya di mana pun mereka berada. Tapi perlindungan bukan berhenti setelah mereka sampai Bandara Soekarno-Hatta.
Negara wajib melanjutkan:
1. Rehabilitasi psikis dan sosial.
2. Pemberdayaan ekonomi agar korban tak kembali terjebak.
3. Edukasi hukum yang lebih konkret ke daerah-daerah sumber migran.
Tanpa itu semua, pemulangan hanya akan jadi rutinitas, bukan solusi. Korban baru akan terus bermunculan.
📣 Saatnya Negara Berpikir Ulang: TPPO Sudah Digital, Jangan Berpikir Kuno
Sindikat TPPO sudah canggih. Mereka memanfaatkan:
- Teknologi, media sosial, dan jejaring internasional.
- Negara transit seperti Thailand.
- Kawasan abu-abu hukum seperti Myanmar.
Sementara negara kita masih pakai kacamata lama. Pencegahan masih manual. Edukasi belum menyentuh akar. Penegakan hukum baru sebatas permukaan.
Kalau negara tidak segera berbenah, adaptif, dan agresif, kasus seperti ini akan jadi langganan berita. Perdagangan orang berbasis digital akan semakin tak terbendung.
🔔 Penutup: Jangan Biarkan 699 Ini Jadi Angka yang Terulang
Kasus ini harus jadi peringatan keras. Negara perlu segera:
- Memperkuat pencegahan berbasis teknologi.
- Memutus jalur rekrutmen daring ilegal.
- Meningkatkan diplomasi hukum dengan negara kawasan.
- Memberi perlindungan menyeluruh, bukan sekadar pemulangan.
Kalau tidak, 699 WNI ini hanya permulaan. Korban akan terus bertambah, sindikat makin kuat, dan nama Indonesia terus tercoreng.
Negara tidak boleh kalah dalam melawan TPPO digital. Bukan untuk pencitraan, tapi untuk menyelamatkan rakyatnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI