Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kebijakan Penjabat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 45/PK.03.03/KESRA Tahun 2025. Isinya melarang kegiatan study tour sekolah keluar Provinsi Jawa Barat. Sekilas, larangan ini tampak sederhana dan wajar, apalagi dikaitkan dengan dalih keselamatan pasca sejumlah insiden kecelakaan. Namun, dampaknya menjalar ke mana-mana.
Tidak butuh waktu lama, ribuan pelaku wisata, sopir bus, pelaku UMKM, bahkan ASN, terkena imbas langsung.
Yang lebih mengkhawatirkan, kepala sekolah yang tetap melaksanakan study tour justru diancam pencopotan jabatan.
Di sinilah letak permasalahan yang patut dikritisi secara hukum. Apakah kebijakan ini sah? Apakah berdasar hukum? Atau justru ini bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas?
Surat Edaran Bukan Produk Hukum yang Mengikat Masyarakat
Pertama-tama, perlu kita luruskan. Surat Edaran (SE) secara hukum administrasi adalah bentuk kebijakan administratif bersifat intern. Ia hanya berlaku sebagai pedoman bagi internal pemerintahan, bukan perintah yang mengikat pihak luar, apalagi masyarakat umum.
Hal ini ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 6 P/HUM/2020 yang menyatakan bahwa Surat Edaran tidak dapat menimbulkan akibat hukum bagi masyarakat.
SE bukan regulasi. Bukan perda. Bukan peraturan gubernur. Tidak punya daya paksa sebagaimana norma hukum yang sah.
Dengan demikian, menggunakan Surat Edaran untuk memberikan sanksi  apalagi pencopotan jabatan ASN  jelas bertentangan dengan asas legalitas dalam administrasi negara.
Asas Legalitas Dilanggar Terang-Terangan
Dalam hukum administrasi pemerintahan, asas legalitas menjadi prinsip utama yang tak boleh dilanggar. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebut dengan jelas:
"Penggunaan kewenangan pemerintahan wajib didasarkan pada peraturan perundang-undangan."
Di sisi lain, PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil juga telah mengatur, bahwa ASN baru dapat diberikan sanksi jika melakukan pelanggaran hukum, bukan sekadar tidak mematuhi imbauan atau edaran.
Jadi, atas dasar hukum apa kepala sekolah dicopot? Tidak ada.
Pelanggaran SE bukan pelanggaran hukum.
Jika ASN bisa dihukum hanya karena tidak tunduk pada surat edaran, itu bukan sekadar salah administrasi. Itu adalah penyalahgunaan kekuasaan yang nyata.
Maladministrasi dalam Wajah Paling Terang
Apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi ini sejatinya sudah masuk kategori maladministrasi. Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI mendefinisikan maladministrasi sebagai:
 "Perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, atau menyalahgunakan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menimbulkan kerugian masyarakat."
Menggunakan surat edaran untuk memaksa ASN tunduk, memberikan ancaman pemecatan, serta merugikan hak masyarakat luas (pelaku wisata, UMKM, sopir bus) adalah praktik maladministrasi.
Larangan semacam ini seharusnya diatur melalui produk hukum yang lebih kuat, seperti Peraturan Gubernur (Pergub), bukan sekadar surat imbauan.
Dampak Sosial-Ekonomi yang Diabaikan oleh Kekuasaan
Lihatlah bagaimana dampak Surat  Edaran ini menjalar begitu cepat:
- UMKM pariwisata di Cibaduyut kolaps.
- Ribuan sopir bus, pemandu wisata, pengrajin oleh-oleh kehilangan pendapatan.
- Pelaku industri kreatif wisata gulung tikar.