Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong semakin memunculkan aroma janggal dalam proses penegakan hukumnya. Terutama ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung secara terbuka gagal menghadirkan dua sosok kunci, yakni Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan mantan Menteri BUMN Rini Soemarno, ke dalam ruang sidang sebagai saksi.
Padahal, dari konstruksi perkara, kebijakan yang menyeret Tom Lembong ke kursi pesakitan merupakan lanjutan dari perintah dan kebijakan pemerintah sebelumnya. Bahkan, keterlibatan Kementerian BUMN kala itu tak bisa dilepaskan dari peran Rini Soemarno.
Lantas muncul pertanyaan mendasar:
➡️ Apakah penegakan hukum ini objektif? Ataukah Jaksa hanya mencari tumbal demi sekadar memenangi perkara?
⚖️ Asas Equality Before The Law: Mengapa Jokowi & Rini Tak Bisa Dihadirkan?
Prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum) seharusnya menempatkan siapa pun termasuk Presiden dan Menteri dalam posisi setara di hadapan proses peradilan.
Namun faktanya, JPU dalam perkara ini tidak berhasil, atau tidak mau, memaksa kehadiran saksi kunci. Padahal, pengacara Tom Lembong dengan tegas mempersoalkan bahwa tanpa kesaksian Jokowi dan Rini, konstruksi dakwaan menjadi pincang.
🔴 KUHAP Pasal 183 menegaskan:
Putusan hakim atas seseorang hanya sah apabila berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.
Jika saksi kunci dibiarkan hilang, bagaimana bisa pembuktian dianggap lengkap?
📂 Kelemahan Jaksa: Membuktikan Tanpa Niat Jahat (Mens Rea) dan Tanpa Saksi Kunci
Pengacara Tom Lembong juga menyindir keras ketidakmampuan jaksa membuktikan adanya mens rea (niat jahat) dari Tom dalam menerbitkan izin impor gula. Kebijakan administratif diseret sebagai kejahatan, padahal secara hukum administrasi, diskresi diberikan ruang melalui:
Pasal 22 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:
Pejabat Pemerintahan dapat menggunakan diskresi untuk mengatasi stagnasi atau kekosongan hukum.
Tom menjalankan tugas stabilisasi gula nasional dalam situasi kekosongan hukum dan kebutuhan pasar. Bila kebijakan ini keliru, seharusnya diuji secara administrasi, bukan pidana.
💡 Konstruksi Hukum yang Dipaksakan: Dari Operasi Pasar Jadi Kasus Korupsi?
Fakta lain yang diabaikan oleh jaksa adalah soal Inkopkar (Induk Koperasi Kartika) yang bekerja atas dasar perintah Presiden. Surat-surat resmi Inkopkar menunjukkan keterlibatan langsung negara dalam operasi pasar, bukan sekadar keputusan menteri.
Namun Jaksa justru memelintir fakta ini menjadi seolah-olah Tom bertindak untuk memperkaya pihak tertentu. Padahal, kerjasama dengan PT Angel Products, PT Makassar Tene, dan lainnya sudah melalui mekanisme teknis yang saat itu legal.
Lantas kenapa Jaksa tidak menersangkakan koperasi milik TNI-Polri yang ikut dalam program ini? Mengapa hanya Tom?
🚨 Audit BPKP: Alat Rekayasa, Bukan Kebenaran?
Perubahan angka kerugian negara dari Rp 400 miliar menjadi Rp 578 miliar secara tiba-tiba, bahkan diserahkan setelah sidang berjalan 12 kali, adalah cacat hukum yang fatal.
➡️ Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 menegaskan:
Kerugian negara harus nyata, aktual, pasti, bukan angka rekaan atau potensi.
Fakta bahwa audit BPKP baru diserahkan di akhir persidangan membuat hak pembelaan terdakwa menjadi ilusi semata. Ini bertentangan dengan asas due process of law.
🏛️ Hukum Pidana Bukan Alat Balas Dendam Politik
Tidak bisa dipungkiri, Tom Lembong secara politik berseberangan dengan kekuasaan saat ini. Bahkan penangkapannya dilakukan hanya 2 minggu setelah pemerintahan baru dilantik.
🔴 Hukum pidana adalah ultimum remedium, bukan alat politik untuk menghabisi lawan.
Jika kebijakan pemerintah dipidana hanya karena tidak populer, atau karena berseberangan secara politik, maka masa depan hukum administrasi dan investasi di Indonesia menjadi terancam.
📌 Penutup: Jaksa Gagal Membuktikan, Pengadilan Harus Berani Membebaskan
Hakim seharusnya menolak tuntutan Jaksa yang jelas-jelas lemah dan sarat aroma politis. Ketika Jokowi dan Rini tak berani dihadirkan, tetapi Tom Lembong dikorbankan sendirian, ini adalah contoh sempurna dari hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Jika Pengadilan tetap memutus bersalah, maka Indonesia sedang mengajari pejabat publik untuk takut membuat keputusan, takut menjalankan diskresi, dan takut berpihak pada kebutuhan rakyat, hanya karena bayang-bayang kriminalisasi.
📚 Referensi Hukum:
1. Pasal 183 KUHAP
2. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
3. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor
4. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016
5. KUHP Pasal 55 ayat (1) ke-1
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI