Demokrasi yang sehat menuntut ruang untuk keberanian baik dari rakyat untuk bersuara, maupun dari penguasa untuk mendengarkan. Namun, apa yang terjadi ketika kritik tidak dijawab dengan argumen atau klarifikasi, melainkan direspons dengan tekanan, pemantauan, bahkan teror?
Inilah yang kini tengah menjadi luka terbuka dalam kehidupan demokrasi kita. Berbagai tokoh yang menyampaikan kritik terhadap keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo justru mendapat intimidasi yang sistematis. Alih-alih menjadi ajang klarifikasi terbuka, isu ini menjadi panggung ketakutan yang meluas.
🟧 Ijazah yang Dipertanyakan, Teror yang Dikirim: Siapa yang Takut Transparansi?
Isu keabsahan ijazah Jokowi tidak muncul dari ruang kosong. Ia dibuka oleh tokoh-tokoh publik yang memiliki latar belakang akademik dan teknis, seperti Dr. Tifa (epidemiolog), Rismon Sianipar (forensik digital), dan Roy Suryo (pakar telematika). Kritik mereka tak berdiri di atas fitnah, tetapi pada panggilan transparansi terhadap dokumen publik seorang kepala negara.
Namun, respons yang muncul bukan klarifikasi logis. Roy Suryo mengaku diteror oleh orang tak dikenal. Dr. Tifa melaporkan adanya gangguan terhadap keluarganya. Rismon juga mengalami intimidasi setelah mengungkap analisis forensik terhadap dokumen terkait.
Alih-alih menjawab secara terbuka, respons yang muncul justru berupa tekanan dan intimidasi. Aparat seolah diam, bahkan beberapa tindakan seakan dibiarkan. Negara, melalui pembiaran institusionalnya, tampak membalas kritik dengan rasa takut.
🟨 Teror yang Berpola: Ancaman Sistematis atas Kebebasan Berpendapat
Jika satu orang dikriminalisasi, itu bisa disebut kecelakaan hukum. Tetapi jika tiga tokoh publik diserang secara beruntun setelah menyuarakan topik yang sama, maka yang terbaca adalah pola represi.
Pola tersebut tampak dalam:
- Penguntitan fisik dan digital, yang menciptakan ketakutan dan tekanan psikologis. Dr. Tifa bahkan menyebut keluarganya ikut terdampak.
- Panggilan hukum yang ganjil, seperti pelaporan ke polisi terhadap penyampai kritik berbasis data.
-Penyebaran data pribadi dan serangan karakter di media sosial, yang diarahkan untuk membungkam secara sosial.
- Tekanan terhadap institusi tempat para pengkritik bekerja, yang membuat mereka seolah harus memilih antara kebebasan bersuara atau kenyamanan karier.
Ini adalah bentuk ancaman terhadap kebebasan sipil, yang tak lagi dilakukan secara kasat mata oleh kekuasaan formal, tetapi oleh sistem yang dibiarkan bekerja dalam diam.
🟩 Diamnya Prabowo: Strategi Politik atau Pengabaian terhadap Ketakutan Publik?
Di tengah gelombang teror terhadap para pengkritik, suara yang dinanti justru tidak terdengar: Presiden terpilih Prabowo Subianto. Mengapa ia memilih diam?
Ada beberapa kemungkinan:
Pertama, Prabowo masih menjaga hubungan politik strategis dengan Jokowi dan pendukungnya. Masuk ke isu ini berarti berhadapan dengan loyalis yang belum sepenuhnya keluar dari arena kekuasaan.