Mohon tunggu...
Budhiman Prakoso
Budhiman Prakoso Mohon Tunggu... Human Resources - DATTEBAYO !!!!

Penikmat Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Ritel Modern di Indonesia: Dari Kemunculan hingga Eksistensinya di Masyarakat

22 Oktober 2020   12:43 Diperbarui: 25 Mei 2021   08:51 12401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejarah bisnis ritel di Indonesia. | Kompas

Awal mula tonggak sejarah ritel modern di Indonesia terjadi pada tahun 1960-an dengan berdirinya Sarinah sebagai sebuah toserba. Begini sejarah bisnis ritel di Indonesia.

Menurut Levy dan Weitz (1995) ritel adalah satu rangkaian aktivitas bisnis untuk menambah nilai guna barang dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk konsumsi pribadi atau rumah tangga.Produk yang dijual biasanya berupa kebutuhan rumah tangga termasuk sembilan bahan pokok. Ritel di Indonesia pada mulanya masih bersifat tradisional seperti pasar, kelontongan, maupun warung-warung yang hampir selalu ada di setiap daerah.

Seiring berkembangnya teknologi, perekenomian dan gaya hidup pada masyarakat membuat masyarakat khususnya kelas menengah ke atas menginginkan kenyamanan lebih dalam berbelanja yang tidak dirasakan di ritel tradisional. 

Selain itu, kekuatan daya beli masyarakat yang meningkat, pertambahan jumlah penduduk, dan adanya pola perubahan belanja yang terjadi pada masyarakat perkotaan yang tidak hanya sekedar berbelanja melainkan juga untuk mencari hiburan, jalan-jalan, maupun makan-makan. Hal tersebut yang membuat ritel-ritel modern di Indonesia terutama di perkotaan dapat tumbuh subur dan perkembangannya kian tak terbendung.

Baca jugaObligasi Ritel Indonesia, Sarana Investasi yang Sudah Pasti "Cuan" dan Penuh Manfaat


Awal mula tonggak sejarah ritel modern di Indonesia terjadi pada tahun 1960-an dengan berdirinya Sarinah sebagai sebuah toserba (toko serba ada)/ departemen store pertama di Indonesia, pada 23 April 1963 di jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Soekarno yang menggagas konsep toserba ini dengan mengadopsi dari negeri Barat dan Jepang. 

Namun, ia merancanakan toserba ini bukan berbentuk perusahaan yang semata-mata mencari untung melainkan badan sosial sebagai stabilator harga kebutuhan pokok masyarakat. Namun hal itu tidak dapat terwujud karena tidak lama kemudian Orde Lama runtuh pada tahun 1966 dengan meninggalkan inflasi yang tinggi serta keadaan ekonomi yang kacau.

Kemudian, pada saat Orde Baru keadaan ekonomi Indonesia mulai membaik dengan ditandai menurunnya angka inflasi dari 600% menjadi 1,6% serta terdapat kenaikan pendapatan perkapita hingga USD 1200 pada tahun 1970-an. Lalu, pada saat Orde Baru Sarinah dijadikan sebagai sebuah perusahaan dan tentunya harus mengejar laba sebanyak-banyaknya.

Kemudian, pada tahun 1970-1980-an keadaan ekonomi Indonesia terus meningkat ditandai dengan munculnya golongan kelas menengah dan orang kaya baru sehingga menyebabkan munculnya ritel modern dengan format supermarket dan departement store yang diperuntukan bagi mereka. Ritel modern tersebut contohnya: Matahari ( didirikan pada 11 Maret 1986), Hero(didirikan pada 23 Agustus 1971), dan Ramayana (didirikan pada 14 Desember 1983).

Kemudian pada periode tahun 1990-an perkembangan ritel modern semakin berkembang dengan format convenient store, yang ditandai dengan maraknya pertumbuhan minimarket seperti Indomaret (didirikan pada tanggal 21 November 1988)  dan Alfamart( didirikan pada 22 Februari 1989). Kemudian dengan kebijakan ekonominya, Orde Baru menerima banyak sekali investasi modal dari luar negeri.

Selain itu dengan adanya Kepres no 99 th 1998 yang membuat ritel-ritel asing banyak berdatangan ke Indonesia ditandai dengan berdirinya ‘Sogo’ (1990) di Indonesia yang merupakan ritel dari Jepang, Circle K  dari Amerika (1987), serta Mark dan Spencer  asal inggris (1992). Pada periode ini juga berdiri Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) yang berdiri pada tahun 1994 sebagai wadah dari ritel-ritel yang ada di Indonesia.

Kemudian, pada tahun 1998 Orde baru runtuh dengan terjadinya krisis moneter 1998 yang tinggi yang menyebabkan keadaan ekonomi dan politik menjadi kacau. Lalu, pada pemerintahan era Reformasi permasalahan inflasi dapat teratasi sehingga pemulihan keadaan ekonomi dan politik dapat dilakukan. Hal ini juga ditandai membaiknya pengeluaran masyarakat dari sisi konsumsi.

Baca jugaDaripada Terkena "Jebakan Batman" Investasi Bodong, Lebih Baik Coba Berinvestasi Surat Berharga Negara Ritel Milik Pemerintah

Kemudian, dengan ditetapkannya UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, ditandatanganinya letter of inten yang mensyaratkan adanya deregulasi kebijakan ekonomi yang kemudian dikeluarkan Keppres No.96/2000 yang menggolongkan ritel sebagai bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing dan swasta nasional, adanya peningkatan daya beli masyarakat, timbulnya golongan kelas menengah kedua, hal-hal tersebut membuat ritel modern semakin berkembang.

Alhasil, dari tahun 2000-2010 ritel modern di Indonesia baik lokal maupun internasional semakin menggurita dan bahkan menyasar kalangan kelas menengah ke bawah. Pada era ini ritel modern di Indonesia muncul dengan format hypermarket dan perkenalan e-retailing. Era ini ditandai dengan hadirnya Carrefour di Glodok Plaza (1998) dengan format hypermarket dan hadirnya Lippo-Shop.

Format ritel modern saat ini terdiri dari supermarket, minimarket, hypermarket, specialty store/convinience store, dan department store berdasarkan pepres no 112 tahun 2007. 

Namun, pada saat ini ritel modern yang perkembangannya paling pesat yaitu Minimarket (Indomaret dan Alfamart), Supermarket (Hero, Ramayana, dan Yogya + Griya Supermarket), dan Hypermarket(Carrefour, Matahari, Giant, Yogta, Superindo). Luas lahan usaha dan lahan parkir, jumlah item dan jenis produk yang diperdagangkan, dan modal usaha yang dibutuhkan merupakan unsur pembeda diantara ketiga ritel modern tersebut.

Persaingan ritel modern di Indonesia pada awalnya didominasi oleh beberapa ritel ternama seperti  Hero, Indomaret, Ramayana, Matahari, dan Alfa. Namun  sejak periode tahun 2000-an hipermarket(Carrefour dan Ramayana) mulai masuk ke Indonesia dan menjadikan persaingan bisnis ritel modern menjadi makin sengit. 

Selain itu, masyarakat juga mulai banyak yang tertarik ke  hipermarket dikarenakan lahan yang luas, display yang lega, pilihan barang yang sangat bervariatif dan serba ada. Ramainya persaingan  industri ritel modern di Indonesia  juga diikuti dengan adanya ritel-ritel asing seperti Makro (Belanda), Carrefour (Piterancis), dan Giant (Malaysia, yang kemudian juga digandeng oleh PT Hero Supermarket Tbk), yang tersebar di kota-kota besar.

Carrefour masuk ke Indonesia  pada awal tahun 1998 dan mulai melalukan ekspansi bisnisnya dibeberapa kota di Indonesia. Carrefour merupakan ritel modern dari negeri Perancis. Dengan pengalaman internasional serta modal yang besar membuat Carrefour memiliki nilai lebih dalam bersaingan dengan ritel-ritel modern lokal.  Oleh sebab itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya kemungkinan Carrefour akan memonopoli pasar Retail Indonesia. Hal ini tentunya dapat memunculkan potensi gulung tikar bagi pengusaha domestik, bahkan lebih jauh akan mengkanibalisasi pasar tradisional.

Senada dengan KPPU, AC Nielsen mengemukakan dari tahun ke tahun mulai 2000 pangsa pasar pasar retail tradisional terus menurun. Pada awal 2000 pangsa pasar tradisional 78,3% dan makin berkurang menjadi 70,5% di tahun 2005. Carrefour dengan ekspansi bisnisnya yang semakin menggurita patut diwaspadai akan mengganggu ritel-ritel modern lokal bahkan ritel tradisional. 

Ditambah lagi dengan adanya pergeseran konsumen dari ritel tradisional ke modern sehingga menyebabkan banyak muculnya mart-mart atau ritel modern ditengah pemukiman masyarakat yang sebelumnya merupakan segmen pasar dari ritel tradisional. Hal itu membuat omzet yang diperoleh oleh peritel tradisional menurun dan terancam bangkrut.

Bergesernya konsumen ke ritel modern biasanya disebabkan oleh: kenyamanan belanja yang ditawarkan, perubahan perilaku konsumen, diskon harga pada waktu tertentu, dan gerainya yang dibuka dalam waktu 24 jam. 

Adapun, dampak positif dengan banyaknya ritel modern adalah lebih nyaman dalam berbelanja, bisa menggunakan kartu ATM, buka 24 jam sehingga bisa dikunjungi kapanpun, alternatif belanja bertambah, Harga bergerak turun, kenyamanan berbelanja bertambah, adanya penyerapan tenaga kerja oleh peritel modern. 

Sedangkan, kelemahan semakin banyaknya ritel modern membuat ritel tradisional semkain terjepit, timbulnya budaya konsumtif di masyarakat, terjadinya monopoli pasar, pelenggaran terhadap aturan zonasi, tersingkirnya distributor tradisional, tersingkirna pekerja informal di ritel kecil, serta adanya penekanan pada pemasok.  

Baca jugaPandemi Merajalela Industri Ritel Merana

Kemudian, dalam mengatasi semakin terjepitnya ritel tradisonal oleh ritel modern dan agar ritel modern dan tradisional dapat tumbuh bersama, pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan dan aturan dalam bisnis ritel seperti: adanya keputusan Presiden No. 96/2000 yang diperbaharui dengan keputusan Presiden No.118/2000 mengenai penanaman modal asing. 

Lalu, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri dalam Negeri Nomor 145/MPP/Kep/5/1997 dan No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan.

 Kemudian, pada tahun 2007 dikeluarkannya pepres no 112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern yang berisi 6 hal pokok mengenai definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, jam buka, syarat perdagangan, kelembagaan pengawas, dan sanksi. Lalu pemerintah mengeluarkan Permendag No.53 Tahun 2008 pada akhir tahun 2008 sebagai aturan dari Perpres 112/2007 yang mengatur lebih rinci lagi masalah zoning serta trading term.

Sumber :

  1. Hanggoro T Hendaru. 2019 Awal Mula Ritel Skala Besar di Indonesia dalam dalam https://historia.id/ekonomi/articles/awal-mula-ritel-skala-besar-di-indonesia 6jJgJ/page/1, Diakses 18 Juli 2019, pukul 19.00 WIB.
  2. Madgalena, Maria. 2013. Pedangan Kecil “Warung dalam gempuran ritel modern”. Majalah Ilmiah Universitas Pandanaran vol 11 No 26
  3. Martinus, Handy. “ANALISIS INDUSTRI RETAIL NASIONAL”.  HUMANIORA Vol.2 No.2 Oktober 2011: 1309-1321.
  4. Soliha, Euis. 2008 “ALISIS INDUSTRI RITEL DI INDONESIA”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE). Vol. 15, No.2 September 2008: 128 - 142
  5. Utomo,  Tri  Joko. 2011. Persaingan  Bisnis  Ritel: Tradisional  Vs  Modern  (The
  6. Competition of Retail Business: Traditional vs Modern. Fokus Ekonomi. Vol. 6 No. 1 Juni 2011 : 122 – 133.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun