Sistem moneter internasional adalah fondasi krusial dalam mengelola hubungan ekonomi antarnegara. Ia mengatur bagaimana mata uang dipertukarkan, bagaimana negara menjalankan kebijakan moneter dalam konteks global, serta bagaimana stabilitas ekonomi dunia dijaga. Sepanjang sejarah modern, sistem ini telah mengalami transformasi dramatis: dari sistem standar emas di abad ke-19, menuju sistem Bretton Woods pasca-Perang Dunia II, hingga transisi menuju nilai tukar mengambang pada tahun 1970-an. Setiap periode mencerminkan respons dunia terhadap tantangan ekonomi, politik, dan teknologi yang terus berkembang.
Melalui penelusuran sejarah sistem moneter internasional antara tahun 1870 hingga 1973, kita dapat memahami betapa eratnya hubungan antara kebijakan domestik dan kondisi global, serta bagaimana pencarian keseimbangan internal dan eksternal menjadi kunci dalam desain sistem moneter dunia.
I. Tujuan Kebijakan Ekonomi Makro dalam Ekonomi Terbuka
Dalam konteks ekonomi terbuka, di mana negara-negara saling terhubung melalui perdagangan dan arus keuangan, kebijakan makroekonomi memiliki dua tujuan utama: keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal.
Keseimbangan internal mengacu pada kondisi di mana suatu negara mencapai tingkat kesempatan kerja penuh serta kestabilan harga. Dalam praktiknya, pemerintah berusaha menjaga agar permintaan agregat tidak terlalu melebihi atau terlalu rendah dari kapasitas produksi nasional.
Keseimbangan eksternal, di sisi lain, mengacu pada situasi di mana neraca transaksi berjalan (current account) suatu negara tidak mengalami defisit atau surplus yang terlalu besar. Ketidakseimbangan yang berlebihan dapat menimbulkan risiko terhadap kestabilan ekonomi, seperti krisis kepercayaan, ketergantungan terhadap utang luar negeri, atau potensi konflik ekonomi dengan negara mitra dagang.
Kedua tujuan tersebut saling terkait dan sering kali saling bertentangan. Dalam sistem moneter internasional, tantangan utama bagi negara-negara adalah bagaimana menjaga keseimbangan internal tanpa mengorbankan keseimbangan eksternal, dan sebaliknya.
II. Era Standar Emas (1870--1914)
Sistem moneter internasional modern pertama kali terinstitusionalisasi melalui apa yang dikenal sebagai standar emas. Dalam sistem ini, mata uang nasional dikaitkan secara tetap dengan emas, dan nilai tukar antar mata uang ditentukan berdasarkan paritas emas masing-masing.
Inti dari sistem ini adalah mekanisme penyesuaian otomatis yang dikenal sebagai "price-specie-flow mechanism". Bila suatu negara mengalami defisit dalam neraca transaksi berjalan, emas akan keluar dari negara tersebut, menyebabkan penurunan jumlah uang beredar, harga domestik menurun, ekspor meningkat, dan impor menurun---akhirnya mengembalikan keseimbangan eksternal. Sebaliknya, negara dengan surplus akan mengalami masuknya emas, kenaikan harga, dan penyesuaian arah sebaliknya.
Namun, sistem ini juga memiliki kekurangan. Bank sentral diharapkan mematuhi "aturan main" standar emas, seperti tidak melakukan sterilisasi terhadap aliran emas. Kenyataannya, negara-negara seringkali melanggar aturan ini, terutama ketika mereka ingin mempertahankan kebijakan moneter domestik yang kontradiktif dengan penyesuaian otomatis. Selain itu, standar emas cenderung mengorbankan tujuan keseimbangan internal karena mengutamakan stabilitas nilai tukar dan neraca pembayaran.
III. Masa Antarperang (1918--1939): Ketidakstabilan dan Disintegrasi
Perang Dunia I menandai berakhirnya stabilitas standar emas. Banyak negara menghentikan konvertibilitas mata uang terhadap emas demi mendanai perang. Usaha untuk menghidupkan kembali sistem tersebut di tahun 1920-an hanya berlangsung singkat dan penuh masalah.
Hipertinflasi di Jerman, yang dipicu oleh pembayaran reparasi perang dan ketidakmampuan pemerintah membiayai defisit anggaran tanpa mencetak uang, menjadi contoh ekstrem kegagalan sistem keuangan di masa ini. Krisis ini menimbulkan ketidakpercayaan pada mata uang dan melemahkan ekonomi domestik secara drastis.
Usaha untuk kembali ke standar emas dilakukan oleh beberapa negara (seperti Inggris tahun 1925), namun dengan nilai tukar yang tidak realistis. Hal ini menyebabkan deflasi dan tingginya pengangguran. Depresi Besar yang terjadi pada tahun 1929 memperparah situasi. Banyak negara menerapkan kebijakan proteksionis dan devaluasi kompetitif, yang dikenal sebagai beggar-thy-neighbor policies. Akibatnya, perdagangan internasional runtuh, dan ekonomi global terfragmentasi.
IV. Sistem Bretton Woods (1944--1971): Upaya Menyatukan Stabilitas dan Fleksibilitas
Melihat kegagalan masa antarperang, para perancang tatanan ekonomi pascaperang berkumpul di Bretton Woods, New Hampshire, tahun 1944. Hasilnya adalah dibentuknya International Monetary Fund (IMF) dan sistem nilai tukar tetap yang baru.
Dalam sistem Bretton Woods:
- Semua mata uang dikaitkan secara tetap terhadap dolar AS.
- Dolar AS sendiri dikaitkan dengan emas pada harga $35 per ounce.
- Negara-negara anggota dapat meminta bantuan dari IMF bila mengalami defisit transaksi berjalan, dengan syarat menjalankan reformasi kebijakan sesuai panduan IMF (dikenal sebagai IMF conditionality).
Sistem ini bertujuan menjaga stabilitas nilai tukar sambil tetap memberi fleksibilitas terbatas melalui devaluasi terkelola (adjustable peg). Negara-negara diharapkan mencapai keseimbangan eksternal tanpa mengorbankan keseimbangan internal.
Namun, sistem ini sangat bergantung pada kredibilitas dolar sebagai cadangan internasional. Seiring dengan meningkatnya likuiditas global dan arus modal internasional, sistem menjadi semakin sulit dipertahankan.
V. Masalah Keseimbangan Eksternal Amerika Serikat
Sebagai negara pemilik mata uang cadangan dunia, AS memiliki posisi unik namun juga problematik. Untuk menjaga kredibilitas sistem, AS harus mempertahankan konversi dolar menjadi emas. Namun, selama tahun 1960-an, kebijakan fiskal ekspansif (terutama untuk membiayai Perang Vietnam dan program sosial domestik) mendorong inflasi dan defisit transaksi berjalan.
Krisis kepercayaan pun terjadi: negara-negara lain, khususnya Perancis, mulai menukarkan dolar mereka menjadi emas. Ketika jumlah dolar di luar negeri melampaui cadangan emas AS, sistem ini menjadi tidak berkelanjutan. Ini disebut "confidence problem".
Dalam upaya menjaga sistem, berbagai solusi seperti penerbitan Special Drawing Rights (SDR) diperkenalkan, namun tidak cukup untuk menahan runtuhnya sistem Bretton Woods.
VI. Inflasi Global dan Transisi ke Sistem Nilai Tukar Mengambang
Pada awal 1970-an, tekanan inflasi meningkat tajam di seluruh dunia. Inflasi AS mendorong negara-negara lain mengalami tekanan serupa akibat arus dolar internasional. Ketika sistem tidak mampu lagi mengakomodasi ketegangan antara tujuan internal dan eksternal, sistem Bretton Woods secara de facto runtuh tahun 1971 ketika Presiden Nixon mengakhiri konversi dolar menjadi emas (Nixon Shock).
Tahun 1973, sebagian besar negara secara resmi beralih ke sistem nilai tukar mengambang, di mana nilai mata uang ditentukan oleh pasar. Sistem ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi kebijakan domestik, namun juga memperkenalkan volatilitas nilai tukar yang lebih tinggi.
VII. Refleksi dan Kesimpulan
Transformasi sistem moneter internasional antara 1870 dan 1973 menunjukkan bahwa tidak ada sistem yang benar-benar sempurna. Standar emas menawarkan stabilitas nilai tukar, namun mengorbankan fleksibilitas kebijakan domestik. Bretton Woods mencoba menyeimbangkan kedua aspek, namun akhirnya tidak tahan terhadap tekanan arus modal global dan ketimpangan eksternal yang menumpuk. Sistem nilai tukar mengambang yang berlaku sejak 1973 hingga sekarang pun memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam menghadapi krisis keuangan global.
Namun pelajaran utama dari sejarah ini adalah pentingnya koordinasi internasional dalam mengelola sistem moneter global. Ketika negara-negara bersaing secara tidak sehat atau menolak bekerja sama, krisis menjadi lebih mungkin terjadi. Sebaliknya, kerja sama yang solid, seperti yang diupayakan melalui IMF, dapat menciptakan kerangka kerja yang lebih stabil dan adil bagi semua pihak.
Sistem moneter internasional tidak hanya soal angka dan kebijakan teknis, melainkan juga mencerminkan hubungan kekuasaan, ideologi ekonomi, dan kondisi geopolitik global. Oleh karena itu, memahami sejarahnya bukan hanya tugas ekonom, melainkan bagian penting dari literasi global kita bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI