Mohon tunggu...
bucek molen
bucek molen Mohon Tunggu... Konsultan

Pernah tinggal di banyak kota, mencintai beberapa orang, dan menyesali hampir semuanya. Menulis bukan untuk didengar, tapi agar suara-suara dalam kepala tak meledak diam-diam. Tidak sedang mencari pengakuan, hanya menaruh serpihan hidup di tempat yang tidak terlalu ramai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ribetnya Capricorn

13 Oktober 2025   22:14 Diperbarui: 14 Oktober 2025   04:58 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu aku belajar kelompok di rumah Eka.
Rumahnya di Tebet Barat, besar tapi memanjang ke belakang, lorong-lorongnya seperti labirin. Dari pintu depan sampai ruang belajar di ujung belakang, ada kamar-kamar di kanan dan kiri. Pintu kayu coklat tua sebagian tertutup. Udara sore terjebak di dalamnya; wangi buku, wangi kayu tua, wangi teh melati samar dari cangkir kecil di atas meja.

Kami berlima belajar di ruang khusus seperti perpustakaan kecil. Rak bukunya tinggi, kipas gantung di langit-langit, satu jendela besar menghadap teras dan halaman. Aku duduk paling dekat ke jendela. Aji di samping Eka, Charles di depan mereka --- putih, ganteng, khas Manado. Frans di samping Charles, agak chubby tapi senyumannya gampang bikin orang nyaman.

Sejak awal aku merasa ada yang memperhatikan.
Feeling-ku bilang: mungkin Mamanya Eka, lagi memantau calon menantu. Atau adiknya --- aku sempat lihat wajahnya di foto keluarga di atas televisi; manis, rambut pendek, senyum manis ke kamera, kayanya ini foto lama karena muka eka disitu keliatan masih muda, mungkin zaman dia sma.

Tapi aku nggak mau ke-GR-an. Dengan Charles dan Frans di ruangan ini, rasanya mustahil pandangan itu buat aku. Orang selalu mengira yang menarik perhatian itu mereka, putih putih dan good looking.

Lalu, mendadak Eka bangkit dan berjalan ke kamar gelap yang dari tadi lampunya mati. Pintu menutup, lalu senyap. Dua menit kemudian dia keluar lagi, membawa beberapa kertas.
"Eh, cek... dapet salam dari adik gue, cantik lho," katanya santai.

Aku diam, pikiranku kembali ke awal belajar, ke tatapan yang dari tadi terasa, ke pintu kamar gelap itu.
Oh... ternyata aku yang dari tadi di-lihatin. Bukan Charles. Bukan Frans. Aku.

Aku cuma bisa tersenyum kecil dan berkata,
"Adik lo nggak takut gelap ya?"
Selisih dua detik, terdengar suara ketawa yang ditahan dari dalam kamar.

Besok sore nya di kampus, Eka tiba-tiba bilang,
"Nih, gue kenalin adek gue, cantik kan?"

Ternyata adeknya Eka, juga kuliah di sini.
Di kantin kampus, Eka menyodorkan seseorang.
"Ini Tiar," katanya.

Aku menatapnya.
Tiba-tiba aku bertanya, sedikit canggung, "Lah katanya cantik?"
Suasana jadi sedikit kikuk. Tiar terlihat grogi, mukanya agak tidak enak.

Aku langsung tersenyum dan menambahkan, "Ini sih... cantik banget."
Dia tersipu, senyumnya hangat tapi malu-malu.
Mirip Eka tapi versi bule, rambut pendek bop seperti Mary di There's Something About Mary, tomboy tapi penuh aura yang bikin penasaran.
"Eh, Tiar juga suka REO Speedwagon," tambah Eka.

Aku ketawa. Langsung terasa ikatan kecil: gampang ngobrol kalau ada kesukaan yang sama. Lagu, band, atau selera humor.

Dia bilang lagi dengerin album the Earth, a small man, his dog and a chicken.

Aku takjub, jarang jarang cewek suka dengerin full album REO Speedwagon.

Sejak sore yang mendung dan gerimis kecil itu aku mulai dekat dengan Tiar.
Kalau kuliah selalu kemeja gombrong dengan lengan dilipat sampai siku, blue jeans, sneaker, tas selempang---kadang malah pakai ransel. Kami sering nongkrong di perpustakaan, cari lirik REO Speedwagon di taman kampus, kadang aku antar pulang kalau dia tidak les LIA, kadang iseng ke Kota Tua atau Bogor, makan bakso Apollo di dekat stasiun lalu beli Gatorade jeruk sebelum pulang. Tak ada agenda besar. Cukup jalan, nonton di Citra Land naik patas AC, mendengar lagu, dan tertawa.

Aku baru sadar: sejak pertama kali bertemu dengannya di hari Senin yang mendung, aku mulai percaya bahwa aku bisa menyukai hujan.

Kadang aku ngajak dia nongkrong bareng gang pohon di kampus, beberapa kali double date sama kelek atau James, biasanya nonton di Metropole atau TIM
Aku suka dia. Dia suka aku. Kami sama-sama tahu.

Tapi... suatu waktu dia berubah.
Bukan karena cowok lain. Bukan karena bosan.
Dia berubah karena ingin terlihat "bagus" --- girly. Baju cewek, kaos pink, celana yang aku nggak ngerti namanya, flat shoes, rambut di biarkan panjang.

Aku duduk di mcD Depok, menatap dia dari seberang meja.
Versi tomboy Tiar yang dulu effortless hilang. Aku merasa aneh. Sederhana, tapi terasa palsu.

Suatu sore, Tiar menatapku ragu.
"Cek...aku cantik nggak?"

Aku jawab jujur:
"Kamu pakai apa saja cantik. Tapi... aku lebih suka kamu yang dulu."

Dia tersenyum tipis, separuh geli, separuh serius,
"Eh, berubah untuk yang bagus masa nggak boleh?"

Aku mengangguk pelan. Dalam hati, aku tahu: untuk yang ini aku ga setuju.

Bagi Capricorn seperti aku, menyukai seseorang bukan sekadar soal penampilan atau niat baik. Yang paling penting adalah autentisitas --- kejujuran dan konsistensi antara siapa seseorang sebenarnya dan bagaimana dia mengekspresikan dirinya.
Ketika orang yang aku suka berubah demi memberi impresi, aku merasakan incongruence --- ketidaksesuaian antara versi asli yang aku kenal dan versi baru yang dibuat-buat.
Ini bukan soal bosan atau orang ketiga, tapi soal menjaga integritas emosional. Jadi aku mundur pelan-pelan, tetap peduli, tapi mengurangi frekuensi interaksi untuk menetapkan batas emosional dan melindungi diri.

Aku masih ketemu dia di kampus, masih anter dia pulang, masih telpon tiap malam. Tapi frekuensi aku kurangi.
Bukan berarti berhenti peduli. Tapi ini cara menjaga diri dan tetap menghargai ketulusan --- baik milikku maupun milik dia. Iya Ribet, aku tahu.

Pernah setelah kekosongan tanpa bertemu seperti rutinitas sebelumnya, aku menelfon dan dia bilang, "basi lo cek!"

Tahun berjalan. Kantorku dekat SCBD, shift pagi jam 6.
Siang itu ada lunch meeting di PP. Selesai meeting, aku mau langsung pulang karena jam on duty ku sudah selesai.
Keluar dari restoran, antri lift, dan... orang yang pertama keluar dari lift adalah Tiar.

Bucek? Dunia serasa sempit seketika.

Aku menahan senyum, "Lama nggak berjumpa."

Muka Tiar sumringah.
Bukan karena ketemu aku, tapi seperti ada sesuatu yang menyenangkan datang hari itu.
"Baru dapet bonus, ya?" aku menebak.
Dia ngakak. "Iya, yukk... aku traktir ngopi."

Kami duduk di sudut kafe, aroma kopi, suara denting gelas, dan dengungan konstan mesin espresso di latar.

Cerita tentang zaman kuliah, pekerjaan dia, ternyata kantor nya disebelah ku persis, cerita keluarga nya, anaknya.

Sampai dia bilang boleh nanya? lembut, penuh ingin tahu:
"Kamu ceritain deh... ada apa dengan kita saat itu?"

Ntar kamu bad mood lagi?

Nggak, hari ini aku lagi seneng bener, aku siap denger semua yang jelek jelek katanya

Aku menatap cangkir kopi, panasnya menenangkan tapi juga menegangkan.
Aku mulai bercerita: tentang bagaimana aku mundur pelan-pelan, tentang versi tomboynya yang dulu, yang genuine, yang membuatku merasa dekat tanpa syarat.
Tentang bagaimana aku merasakan incongruence ketika dia berubah demi memberi impresi.
Tentang bagaimana Capricornku tak bisa menerima ketulusan yang terselubung, dan aku memilih mundur demi menjaga integritas emosional.

Dia mendengarkan, diam. Aku bisa merasakan matanya menelusuri setiap kata, menyerap, tanpa menghakimi.
Aku menatapnya, dan entah bagaimana, ada ketenangan di sana.
Bahwa meski aku mundur, peduliku tak pernah hilang.
Bahwa terkadang suka bukan soal memiliki atau menuntut, tapi tentang menghargai yang asli, dan memberi ruang untuk jujur.

Di sudut kafe itu, dunia di luar terasa menjauh.
Hanya ada kami, aroma kopi, dan suara langkah kaki yang memudar di lantai keramik.
Aku tersenyum pelan.
Mungkin ini yang disebut kesempatan kedua, bukan untuk kembali seperti dulu, tapi untuk merasakan, tanpa prasangka, tanpa harus menuntut.
Untuk duduk di sini, bersama dia, dan membiarkan masa lalu bicara dengan cara yang paling tulus.

"Untuk Tiar, yang dulu pernah berubah demi aku, dan justru membuatku mundur.
Terima kasih --- untuk dirimu yang pernah nyata, dan juga untuk versi dirimu yang dulu berusaha tampak sempurna."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun