Aku langsung tersenyum dan menambahkan, "Ini sih... cantik banget."
Dia tersipu, senyumnya hangat tapi malu-malu.
Mirip Eka tapi versi bule, rambut pendek bop seperti Mary di There's Something About Mary, tomboy tapi penuh aura yang bikin penasaran.
"Eh, Tiar juga suka REO Speedwagon," tambah Eka.
Aku ketawa. Langsung terasa ikatan kecil: gampang ngobrol kalau ada kesukaan yang sama. Lagu, band, atau selera humor.
Dia bilang lagi dengerin album the Earth, a small man, his dog and a chicken.
Aku takjub, jarang jarang cewek suka dengerin full album REO Speedwagon.
Sejak sore yang mendung dan gerimis kecil itu aku mulai dekat dengan Tiar.
Kalau kuliah selalu kemeja gombrong dengan lengan dilipat sampai siku, blue jeans, sneaker, tas selempang---kadang malah pakai ransel. Kami sering nongkrong di perpustakaan, cari lirik REO Speedwagon di taman kampus, kadang aku antar pulang kalau dia tidak les LIA, kadang iseng ke Kota Tua atau Bogor, makan bakso Apollo di dekat stasiun lalu beli Gatorade jeruk sebelum pulang. Tak ada agenda besar. Cukup jalan, nonton di Citra Land naik patas AC, mendengar lagu, dan tertawa.
Aku baru sadar: sejak pertama kali bertemu dengannya di hari Senin yang mendung, aku mulai percaya bahwa aku bisa menyukai hujan.
Kadang aku ngajak dia nongkrong bareng gang pohon di kampus, beberapa kali double date sama kelek atau James, biasanya nonton di Metropole atau TIM
Aku suka dia. Dia suka aku. Kami sama-sama tahu.
Tapi... suatu waktu dia berubah.
Bukan karena cowok lain. Bukan karena bosan.
Dia berubah karena ingin terlihat "bagus" --- girly. Baju cewek, kaos pink, celana yang aku nggak ngerti namanya, flat shoes, rambut di biarkan panjang.
Aku duduk di mcD Depok, menatap dia dari seberang meja.
Versi tomboy Tiar yang dulu effortless hilang. Aku merasa aneh. Sederhana, tapi terasa palsu.
Suatu sore, Tiar menatapku ragu.
"Cek...aku cantik nggak?"
Aku jawab jujur:
"Kamu pakai apa saja cantik. Tapi... aku lebih suka kamu yang dulu."