Dia tersenyum tipis, separuh geli, separuh serius,
"Eh, berubah untuk yang bagus masa nggak boleh?"
Aku mengangguk pelan. Dalam hati, aku tahu: untuk yang ini aku ga setuju.
Bagi Capricorn seperti aku, menyukai seseorang bukan sekadar soal penampilan atau niat baik. Yang paling penting adalah autentisitas --- kejujuran dan konsistensi antara siapa seseorang sebenarnya dan bagaimana dia mengekspresikan dirinya.
Ketika orang yang aku suka berubah demi memberi impresi, aku merasakan incongruence --- ketidaksesuaian antara versi asli yang aku kenal dan versi baru yang dibuat-buat.
Ini bukan soal bosan atau orang ketiga, tapi soal menjaga integritas emosional. Jadi aku mundur pelan-pelan, tetap peduli, tapi mengurangi frekuensi interaksi untuk menetapkan batas emosional dan melindungi diri.
Aku masih ketemu dia di kampus, masih anter dia pulang, masih telpon tiap malam. Tapi frekuensi aku kurangi.
Bukan berarti berhenti peduli. Tapi ini cara menjaga diri dan tetap menghargai ketulusan --- baik milikku maupun milik dia. Iya Ribet, aku tahu.
Pernah setelah kekosongan tanpa bertemu seperti rutinitas sebelumnya, aku menelfon dan dia bilang, "basi lo cek!"
Tahun berjalan. Kantorku dekat SCBD, shift pagi jam 6.
Siang itu ada lunch meeting di PP. Selesai meeting, aku mau langsung pulang karena jam on duty ku sudah selesai.
Keluar dari restoran, antri lift, dan... orang yang pertama keluar dari lift adalah Tiar.
Bucek? Dunia serasa sempit seketika.
Aku menahan senyum, "Lama nggak berjumpa."
Muka Tiar sumringah.
Bukan karena ketemu aku, tapi seperti ada sesuatu yang menyenangkan datang hari itu.
"Baru dapet bonus, ya?" aku menebak.
Dia ngakak. "Iya, yukk... aku traktir ngopi."
Kami duduk di sudut kafe, aroma kopi, suara denting gelas, dan dengungan konstan mesin espresso di latar.
Cerita tentang zaman kuliah, pekerjaan dia, ternyata kantor nya disebelah ku persis, cerita keluarga nya, anaknya.