Parkir di badan jalan sepanjang jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk dibersihkan.
Pada Senin kemarin pihak dinas perhubungan menertibkan kendaraan yang parkir di badan jalan, yang fokus utamanya di jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk. Kawasan Glodok terutama di jalan Gajah Mada, merupakan kawasan perdagangan yang strategis. Meski bisnis utama di kawasan Glodok adalah perdagangan piranti elektronik dan piranti teknik, namun dari ramainya geliat bisnis disini mampu mengundang lapangan kerja lain seperti jasa parkir, jasa angkut barang, jasa ekspedisi, hingga jasa yang ditawarkan oleh para pedagang kaki lima dengan menawarkan barang dagangannya yang sangat beragam. Namun sayang, keriuhan geliat ekonomi disini belum mampu dikelola secara baik oleh pihak-pihak yang bersangkutan (pemkot maupun pengelola gedung di kawasan Glodok). Kesimpang-siuran dan saling 'crash' satu sama lain mengenai suatu kebijakan, belum mampu menghasilkan solusi yang tepat untuk kepentingan bersama.
Siapa yang salah atas operasi penertiban di kawasan Glodok ?
Disini saya pribadi tidak akan mencari siapa yang salah atau yang benar, namun hanya sebatas menyikapi dari segi personal yang kebetulan saya pun sudah pernah mengalami menjadi bagian dari pihak tersebut.
1. Pihak pengguna jasa parkir (pengunjung)
Ternyata budaya buru-buru, saling serobot, dan acuh telah mengakar kuat bagi pengunjung. Meski saya berulangkali mencoba mengikuti aturan yang ada (antri) tetap saja banyak yang tidak patuh dan kadang memaksa saya untuk berbuat lebih tidak patuh. Alasan para pengunjung yang parkir di badan jalan rata-rata adalah "cuma sebentar", "males karna parkir di gedung cuma buang-buang waktu", dan "ribet bila parkir di dalam gedung". Dengan dalih kurang nyaman itulah pengunjung lebih banyak memilih untuk parkir di badan jalan karena lebih efisien, meski pihak pengelola gedung menyediakan lahan parkir.
2. Pengelola gedung
Bila pengunjung mempermasalahkan soal tarif yang biasanya dihitung per jam, sebenarnya pihak pengelola parkir pun juga mengeluarkan sistem langganan. Sebagai contoh di Lindeteves Trade Center yang perparkirannya dikelola oleh Secure Parking, dengan biaya langganan sebesar Rp 50.000 per bulan maka pengunjung dapat menikmati fasilitas parkir sebulan penuh. Bagi yang sering keluar-masuk, tentu saja lebih murah daripada harus dihitung per jam. Namun pihak pengelola pun seakan acuh terhadap kondisi tempat parkir yang disediakan. Contohnya seperti di Hayam Wuruk Indah, tempat parkir di basement terkesan kumuh, kotor, pengap, dan lift yang sering ngadat. Dengan keadaan seperti itu tak heran bila banyak pengunjung memilih parkir di luar HWI.
3. Petugas parkir
Bila ada razia penertiban seperti ini "seolah" petugas parkir adalah pihak yang paling dipersalahkan. Bila kita lihat memang di badan jalan tersebut jelas-jelas ada rambu larangan parkir, tetapi mengapa ada petugas parkir berseragam, apakah mereka gadungan ? Bila kita telisik lebih dalam lagi, maka kita akan menemui bahwa parkir di badan jalan tersebut dikelola oleh orang/badan yang juga selalu rutin memberi pemasukan kepada pemkot (dibahas di bawah). Tentu saja petugas parkir pun merasa telah mendapat persetujuan bahwa tempat tersebut boleh ditarik retribusi parkir daripada dipastikan pengunjung hanya akan sembarangan memparkir kendaraan.
4. Pemerintah (pemkot-dishub)