Mohon tunggu...
Bryan Pasek Mahararta
Bryan Pasek Mahararta Mohon Tunggu... Freelancer - Youth Society

Youth Empowerment | Broadcasting Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Silent Majority dalam Hitung Suara Pemilu

21 Februari 2024   16:46 Diperbarui: 22 Februari 2024   07:02 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampak perbedaan antara quick count dengan real count. Untuk hasil quick count, masyarakat bisa mengetahui dalam beberapa jam setelah pemungutan suara ditutup. Sedangkan, untuk hasil real count masih membutuhkan waktu cukup lama.

Untuk pemilu 2024 ini, KPU menargetkan tanggal 20 Maret hasil resmi penghitungan suara sudah bisa dipublikasikan. Soal akurasi data dalam proses quick count memiliki margin of error yang bervariasi. Setiap lembaga survei biasanya sekitar 1-2%. Berbeda dengan real count KPU.

Hasilnya tentu lebih akurat dan bersifat final karena berdasarkan penghitungan suara yang sebenarnya. Sehingga, hasil dari real count ini akan menjadi dasar penetapan pemenang pemilu yang sah secara hukum.

Disini jelas, kedua metode penghitungan suara ini selalu menjadi rujukan dalam pemilu dengan fungsi dan karakteristik yang berbeda. Jika quick count memberikan gambaran awal tentang hasil pemilu dengan cepat, sementara real count menghasilkan data yang lebih akurat dan mengikat.

Memahami perbedaan kedua metode penghitungan ini sangatlah penting agar masyarakat tidak terjebak dalam disinformasi dan dapat memahami hasil pemilu dengan lebih baik. Selalu cek sumber informasi lembaga yang terpercaya. Pahami margin of error dalam quick count. Tetap kawal suara kalian dan tunggu hasil real count resmi dari KPU untuk mengetahui hasil pemilu yang sah.

Dukungan silent majority
Selang beberapa jam setelah hasil hitung cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei, publik memang bisa segera mengetahui hasil perolehan suara sementara berdasarkan metode sampling tiap TPS.

Di luar dugaan, betapa tingginya suara dari paslon nomor urut 2 dibandingkan dengan paslon yang lainnya membuat perdebatan para pendukung dan timses masing-masing paslon. Mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyebut fenomena tersebut sebagai silent majority.

Di tengah hiruk pikuk kampanye dan polarisasi politik, terdapat sebuah kelompok masyarakat yang suaranya kerap luput dari perhatian. Istilah tersebut dikenal sebagai silent majority. Merujuk pada kelompok mayoritas yang memilih untuk tidak terang-terangan menyatakan dukungan politiknya.

Keberadaan mereka ini bagaikan gunung es, diam namun menyimpan kekuatan besar yang mampu menentukan kemana haluan arah pilihan politik. Alasan di balik diamnya silent majority ini cukup beragam. Ada yang merasa apatis terhadap politik, kecewa dengan sistem yang ada termasuk juga keengganan terjebak dalam polarisasi dan perdebatan yang memanas.

Intinya mereka sebagai calon pemilih itu sebagian memang tidak pernah mau menunjukkan siapa calon yang akan mereka pilih. Kebanyakan dari mereka lebih memposisikan diri sebagai individu-individu yang lebih bebas dan tidak mau terikat dengan partai politik tertentu.

Para voters ini bisa jadi lebih suka menghabiskan waktunya untuk mengamati dan menimbang dengan seksama sebelum menentukan pilihan mereka. Meskipun diam, silent majority bukan berarti tidak memiliki pengaruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun