Mohon tunggu...
Bryan Pasek Mahararta
Bryan Pasek Mahararta Mohon Tunggu... Freelancer - Youth Society

Youth Empowerment | Broadcasting Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Silent Majority dalam Hitung Suara Pemilu

21 Februari 2024   16:46 Diperbarui: 22 Februari 2024   07:02 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pemilu  2024 merupakan momen yang penting bagi proses demokrasi di Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong memberikan hak suara untuk memilih pemimpin dan wakil rakyatnya. Setelah proses pemungutan suara selesai, muncul dua proses penghitungan suara. Istilah yang sering didengar yaitu hitung cepat (quick count) dan hitung resmi (real count).

Sampai hari ini, baik lembaga survei maupun hasil dari quick count Komisi Pemilihan Umum (KPU) menempatkan pasangan Prabowo - Gibran unggul dengan rata-rata sebesar 58% dari paslon lainnya. Sebelum hasil resmi muncul dari KPU, semua kemungkinan itu masih bisa terjadi.

Penghitungan suara
Calon presiden dengan nomor urut 2, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka sejak masa penghitungan cepat 14 Februari masih menjuarai perolehan suara nasional. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan masa-masa Prabowo mengikuti kontestasi Pilpres dua periode sebelumnya.

Dalam edisi Pilpres 2014, hasil quick count beberapa lembaga survei memenangkan Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa. Sementara, beberapa lembaga survei lainnya memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Respon masyarakat pun terbelah, antara pendukung Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Sampai pada akhirnya, KPU mengeluarkan hasil resmi penghitungan suara dengan pemenangnya adalah pasangan Jokowi-JK.


Meskipun dinyatakan kalah, hal itu tidak membuat Prabowo patah semangat untuk mencalonkan diri kembali pada perhelatan Pilpres 2019. Pada pilpres tersebut, Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno kembali melawan Jokowi yang kali ini menggandeng KH Ma’ruf Amin.

Berbeda dengan Pilpres 2019 sebelumnya. Jika Pilpres 2014 beberapa lembaga survei menunjukkan Prabowo masih memiliki peluang menang, justru pada Pilpres 2019 Jokowi menang mutlak menurut semua lembaga survei yang berpartisipasi.

Belajar dari pengalaman tak enak dalam dua Pilpres sebelumnya, tampaknya membuat Prabowo cukup mawas diri. Kabar kemenangan di Pilpres 2024 berdasarkan hasil quick count mayoritas lembaga survei menunjukkan perolehan suaranya melampaui 50 persen. Artinya, dalam Pilpres kali ini ia punya kans besar jadi presiden.

Lalu, apa sebenarnya definisi dari quick count dan real count? Jadi, dalam sebuah election (pemilihan umum) istilah quick count itu merujuk pada proses hitung cepat yang dilakukan oleh lembaga survei untuk memprediksi hasil pemilu berdasarkan sampel data dari TPS yang dipilih.

Sementara, untuk real count adalah sebuah mekanisme penghitungan suara yang dilakukan secara resmi oleh penyelenggara pemilu yaitu KPU berdasarkan seluruh data C1 (berita acara hasil penghitungan suara) dari semua TPS.

Tampak perbedaan antara quick count dengan real count. Untuk hasil quick count, masyarakat bisa mengetahui dalam beberapa jam setelah pemungutan suara ditutup. Sedangkan, untuk hasil real count masih membutuhkan waktu cukup lama.

Untuk pemilu 2024 ini, KPU menargetkan tanggal 20 Maret hasil resmi penghitungan suara sudah bisa dipublikasikan. Soal akurasi data dalam proses quick count memiliki margin of error yang bervariasi. Setiap lembaga survei biasanya sekitar 1-2%. Berbeda dengan real count KPU.

Hasilnya tentu lebih akurat dan bersifat final karena berdasarkan penghitungan suara yang sebenarnya. Sehingga, hasil dari real count ini akan menjadi dasar penetapan pemenang pemilu yang sah secara hukum.

Disini jelas, kedua metode penghitungan suara ini selalu menjadi rujukan dalam pemilu dengan fungsi dan karakteristik yang berbeda. Jika quick count memberikan gambaran awal tentang hasil pemilu dengan cepat, sementara real count menghasilkan data yang lebih akurat dan mengikat.

Memahami perbedaan kedua metode penghitungan ini sangatlah penting agar masyarakat tidak terjebak dalam disinformasi dan dapat memahami hasil pemilu dengan lebih baik. Selalu cek sumber informasi lembaga yang terpercaya. Pahami margin of error dalam quick count. Tetap kawal suara kalian dan tunggu hasil real count resmi dari KPU untuk mengetahui hasil pemilu yang sah.

Dukungan silent majority
Selang beberapa jam setelah hasil hitung cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei, publik memang bisa segera mengetahui hasil perolehan suara sementara berdasarkan metode sampling tiap TPS.

Di luar dugaan, betapa tingginya suara dari paslon nomor urut 2 dibandingkan dengan paslon yang lainnya membuat perdebatan para pendukung dan timses masing-masing paslon. Mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyebut fenomena tersebut sebagai silent majority.

Di tengah hiruk pikuk kampanye dan polarisasi politik, terdapat sebuah kelompok masyarakat yang suaranya kerap luput dari perhatian. Istilah tersebut dikenal sebagai silent majority. Merujuk pada kelompok mayoritas yang memilih untuk tidak terang-terangan menyatakan dukungan politiknya.

Keberadaan mereka ini bagaikan gunung es, diam namun menyimpan kekuatan besar yang mampu menentukan kemana haluan arah pilihan politik. Alasan di balik diamnya silent majority ini cukup beragam. Ada yang merasa apatis terhadap politik, kecewa dengan sistem yang ada termasuk juga keengganan terjebak dalam polarisasi dan perdebatan yang memanas.

Intinya mereka sebagai calon pemilih itu sebagian memang tidak pernah mau menunjukkan siapa calon yang akan mereka pilih. Kebanyakan dari mereka lebih memposisikan diri sebagai individu-individu yang lebih bebas dan tidak mau terikat dengan partai politik tertentu.

Para voters ini bisa jadi lebih suka menghabiskan waktunya untuk mengamati dan menimbang dengan seksama sebelum menentukan pilihan mereka. Meskipun diam, silent majority bukan berarti tidak memiliki pengaruh.

Suara mereka bisa menjadi penentu dalam pemilihan umum, terutama dalam situasi di mana suara terpecah belah antara beberapa kandidat. Kandidat yang mampu menarik simpati dan memahami aspirasi silent majority memiliki peluang besar untuk meraih kemenangan.

Mari kita tarik ke mundur ke tahun 2016. Banyak pakar dan lembaga survei pada Pilpres Amerika Serikat saat itu memprediksi akan dimenangkan oleh Hillary Clinton.

Namun, hasil akhir menunjukkan Donald Trump keluar sebagai pemenang. Salah satu faktor yang dianggap berperan penting adalah dukungan dari silent majority.

Beberapa faktor yang mendorong silent majority mendukung Trump, seperti kekecewaan terhadap politik establishment, tidak kompeten dan tidak mewakili kepentingan rakyat. Isu imigrasi dan keamanan serta janji kampanye Trump soal perubahan dan mengembalikan kejayaan Amerika yang dikenal dengan "Make America Great Again".

Kemenangan Trump menunjukkan bahwa silent majority dapat menjadi kekuatan politik yang signifikan. Hal ini memberikan pelajaran penting bagi para politisi dan pakar politik untuk lebih memahami aspirasi dan kebutuhan silent majority sebagai pemilih yang perlu didengar dan diakomodasi.

Strategi kampanye tradisional bisa dikatakan tidak efektif lagi. Diperlukan pendekatan yang lebih personal dan kreatif untuk menarik perhatian serta melibatkan silent majority dalam proses politik agar memastikan suara mereka bisa terwakili.

Di era digital ini, media sosial menjadi platform penting untuk menjangkau silent majority. Kampanye yang memanfaatkan media sosial dengan konten yang menarik dan informatif dapat menjadi cara efektif untuk menarik perhatian mereka.

Wajar saja, kemunculan personal branding Prabowo "Gemoy" yang jauh berbeda dari dua edisi pilpres sebelumnya dan dilakukan secara masif selama Pemilu 2024 menjadi faktor kemenangan tersendiri.

Sosok Prabowo yang maju sebagai capres untuk kesekian kalinya, juga bisa jadi alasan lain mengapa silent majority dalam Pilpres 2024 kali ini merupakan suatu gerakan untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran yang merupakan representasi dari pemerintahan Jokowi.

Disisi yang lain, kombinasi antara besarnya dukungan masyarakat terhadap keberlanjutan program-program pemerintahan Jokowi dan kekecewaan masyarakat atas dominasi partai politik tertentu juga menjadi faktor penentu mengapa dalam Pilpres 2024 memantik dukungan silent majority.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun