Mohon tunggu...
Haqi Hilmawan
Haqi Hilmawan Mohon Tunggu... Freelance

Menurut saya, menulis bukan sekedar berpikir, melainkan menjadi teman cerita untuk diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pantai Tersembunyi

17 Juni 2025   08:02 Diperbarui: 17 Juni 2025   08:02 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pergi saja kamu tak usah kembali ke rumah." Romlah mengusir Sopyan yang tak berguna.
   "Baiklah kalau itu maumu." Sopyan pergi dengan membawa koper berisi pakainya.
   Sopyan dan Romlah, suami istri yang sudah menajalani bahtera rumah tangga selama sepuluh tahun. Namun, mereka belum memiliki keturunan.
   Pagi hari saat orang-orang masih tertidur dan matahari belum menimbulkan diri, terjadi keributan yang membuat Sopyan di usir dari rumah. Kemudian ia pergi tak ada tujuan, hanya membawa koper berisi pakaian dan uang lima puluh ribu. Satu satunya tempat untuk berteduh dari hujan, dan tidur nyaman hanya rumah Kawan lamanya. Di situlah Sopyan mulai memiliki ide untuk berbisnis. Pekerjaan sebagai tukang pijat keliling yang tak mencukupi kebutuhan rumah tangga, itulah yang membuatnya di usir dari rumah. Romlah memang wanita yang kebutuhan sehari-hari tak cukup seratus ribu. Ia memiliki teman yang suaminya mempunyai gaji di atas UMR, dan Romlah tak sanggup mengikutinya, makanya ia usir Sopyan, dan ingin mencari yang lebih mapan, itulah wanita zaman sekarang.
   "Permisi." Sopyan mengetuk pintu, tidak ada sahutan, Sopyan mencoba hingga beberapa kali baru ada yang menjawab.
   "Siapa ya?." Suara pintu terbuka.
   "Sopyan?." Andi terkejut.
   "Apa kabar, Yan. Silahkan masuk." Andi menyambut hangat kawan lamanya itu.
   "Ada apa ini, Yan, tiba-tiba datang tanpa menghubungiku dulu." Mereka duduk di sofa.
   "Aku ke sini niatnya mau numpang tinggal sementara, Di." Sopyan menghela nafas.
   "Kamu berantem sama istrimu." Andi bertanya.
   "Aku di usir dari rumah." Sopyan menunduk. Andi memasang wajah prihatin.
   "Tapi bagaimana dengan istrimu, Di." Sopyan bertanya.
   "Jangan di pikirin, yang terpenting kamu ada tempat tinggal sementara dulu." Andi tersenyum. Mengizinkan Sopyan tinggal di rumahnya.
   Dari belakang tembok istri Andi mendengar percakapan mereka. Terkejut dengan ucapan suaminya yang mengizinkan lelaki lain masuk rumahnya. Istri Andi yang mau mengantarkan minum untuk tamu, malah berbalik badan tidak jadi. Ia merasa kesal dengan suaminya yang mengizinkan orang lain masuk tanpa persetujuan terlebih dahulu, apalagi itu laki-laki.
   "Benar tidak apa-apa, Di." Sopyan menegaskan.
   "Benar, aku percaya kamu, Yan." Andi mengelus pundak Sopyan.
   "Terimakasih, Di, atas bantuannya." Sopyan menghela napas lega.
   Sopyan mengambil kopernya yang ia tinggal di depan. Sedangkan Andi masuk ke dalam mencari istrinya, yang lama sekali buatkan minuman. Andi melihat di dapur tidak ada siapa-siapa. Ia pergi ke kamar, istrinya sedang menangis tersedu-sedu.
   "Kamu kenapa menangis?." Andi menatap wajah istrinya.
   "Kamu kenapa menerima lelaki lain tinggal di rumah kita!!." Istrinya mengambil tisu, lalu mengusap air matanya.
   "Oh, Sopyan. Kamu tenang saja, Sopyan tidak akan berbuat macam-macam, aku sudah lama mengenalnya. Lagipula ia aku kasih kamar dekat garasi mobil. Jadikan jauh dari ruang tamu dan kamar kita. Kasihan ia di usir dari rumah sama istrinya. Dulu, waktu aku susah ia yang bantu aku, sekarang aku mau membalas budi saja, tidak lebih dari itu." Andi berusaha menjelaskan agar istrinya mengerti.
   Istrinya terdiam, namun masih menangis. Andi mengelus rambut istrinya, mendekapnya, supaya hatinya tentram. Sopyan yang menunggu di ruang tamu menjadi ragu tinggal di rumah kawannya itu. Ia takut istri kawannya itu tak terima dengan kehadirannya. Andi keluar kamar setelah istrinya tenang, Sopyan menunggunya cukup lama.
   "Kalau istrimu tak setuju aku bisa mencari kontrakan murah saja, Di." Sopyan berbicara saat Andi membawakannya minum.
   "Tenang saja, Yan. Istriku hanya tak bebas saja kalau ada orang lain." Andi tersenyum.
   "Kamarmu di dekat garasi, ya, di dalamnya sudah ada kamar mandi." Andi mengantar Sopyan.
   Rumah Andi sangat besar, berlantai dua, dengan pagar besi yang tinggi dan tembok yang megah sekaligus halaman yang luas. Jadi Sopyan tak mungkin melihat istri Andi, apalagi sampai mengintip. Dan Sopyan bukan orang yang mencari kesempatan atau tangan panjang. Ia memang sedang susah butuh tempat tinggal sementara. Kalau sudah cukup uangnya Sopyan akan mencari kontrakan murah, yang kamar mandinya di luar. Pahitnya, kalau Andi tak mengizinkan ia tinggal, Sopyan akan meminjam uang Andi untuk mencari kontrakan murah.
   "Aku hanya seminggu di sini, Di. Kalau uangku sudah kumpul, aku akan mencari tempat tinggal." Sopyan berbicara sambil menaruh kopernya.
   "Kamu mau sebulan juga tak apa, Yan.
   "Tak enak aku dengan istrimu itu." Sopyan menyengir.
   "Aku ke dalam dulu, ya, kamu istirahat saja." Andi keluar kamar.
   Sopyan melihat-lihat kamar yang sudah tersedia lengkap dengan segala kebutuhannya. Dari TV, kulkas, AC, lemari, hingga mesin cuci pun ada. Di luarnya terdapat motor vespa vbb tahun 65, dan motor lainnya koleksi Andi. Sopyan tak tau apa pekerjaan Andi, dari dulu ia tak pernah menanyakan. Yang ia tau Andi sahabatnya saat di sekolah dulu, hingga kuliah dan Sopyan tidak, ia masih tetap menjalin hubungan baik. Sampai waktunya Sopyan menikah, dan tidak lama Andi menikah, di situlah mereka sudah jarang berdua. Tak ada lagi kabar mengabari, mereka sibuk dengan rumah tangga dan pekerjaannya masing-masing.
   Sopyan mulai menata pakaian di lemari, lalu ia keluar mencari warung makan, karena ia tidak mau merepotkan lagi. Sisa uangnya tiga puluh ribu untuk keperluan yang lain. Malam harinya ia ada panggilan pijat di pelanggan yang sudah biasa memanggilnya. Sekali dapat job Sopyan di kasih seratus ribu atau seratus lima puluh ribu, tergantung orang yang mengasihnya, Sopyan tak mematok harga. Ia berdoa mudah-mudahan dalam minggu ini banyak job. Sopyan tidak mau berlama-lama menumpang, lebih baik tinggal sendiri tanpa membebani orang lain. Selesai makan siang, Sopyan mencuci baju, lalu menjemur pakaiannya di halaman.
   "Hey, kenapa kamu menjemur pakaian di pagar!!." Suara teriakan istri Andi berteriak.
   "Maaf saya tidak tau tempat menjemur di mana." Sopyan mengambil kembali jemurannya. Lantas membawa ke kamar.
   Istri Andi mengadu kelakuan Sopyan pada Andi. Lantas ia menghampiri Sopyan.
   "Kalau mau jemur pakaian di belakang, Yan. Bukan di pagar, kalau kamu tidak enak masuk ke dalam biar pembantu di sini yang mencuci pakaianmu." Andi memberitahu, sekalian menawarkan.
   "Tidak usah, Di, aku ingin cuci baju sendiri saja." Sopyan menolak alus tawaran itu.
   "Nanti aku pindahkan jemuran stainless yang di belakang, aku menyuruh pembantuku." Andi pergi memanggil pembantunya.
   Sopyan menghela napas panjang.
   Tak lama kemudian seorang wanita datang membawa jemuran. Namun Sopyan pangling melihat wanita itu, "Seperti di dongeng." Sopyan berkata dalam hatinya.
   "Tidak mirip seperti pembantu." Sopyan berbicara.
   "Saya memang freelance di sini." Wanita itu menaruh jemurannya.
   "Freelance?."Sopyan binggung.
   "Pembantu freelance." Wanita itu menyengir.
   "Ah, bisa saja kamu." Sopyan sedikit tertawa.
   "Namamu siapa?." Sopyan bertanya.
   "Saya Lastri." Wanita itu menjawab.
   "Saya Sopyan." Mereka berkenalan, lalu Lastri langsung masuk.
   Sopyan sedikit tertarik melihat Lastri. Tapi ia tak mau terbawa perasaan lebih jauh, sebab ia masih terikat oleh istrinya, belum cerai. Lagipula ia mau membangun bisnis terlebih dahulu, tak ingin memikirkan soal percintaan. Hatinya masih hancur, jiwanya masih remuk. Luka yang menancap di kalbu terlalu dalam untuk sembuh. Butuh bertahun-tahun hingga tirai yang menutupi terbuka kembali. Sopyan menunggu hari esok untuk bercerai dari istrinya, begitu cepat istrinya menggugat. Sehabis itu Sopyan akan terbebas, terlepas dari belenggu cinta. Dan istrinya akan bahagia bisa melepas Sopyan yang miskin menurutnya, yang tak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebenarnya cukup kalau hidupnya sederhana, dan tidak menuntut.
   Sopyan menata kembali pakaian yang akan di jemur. Istri Andi sudah tak marah melihat Sopyan, namun wajahnya sinis apabila berhadapan. Sepertinya ia tak suka Sopyan berada di rumahnya. Istri Andi keluar membawa mobil yang sudah siap berangkat sekaligus dengan supir. Tiba tiba Lastri datang memanggil-manggil, istri Andi lupa membawa dompetnya.
   "Ada apa, Las." Sopyan bertanya.
   "Ibu lupa bawa ini." Wajah Lastri gelisah, Sopyan melihat yang di genggamnya.
   "Nanti juga balik lagi." Sopyan menenangkan.
   "Usaha apa yang tidak ada ruginya, Las." Tanpa sadar pertanyaan itu keluar sendiri dari mulut Sopyan.
   "Semua usaha pasti ada ruginya, seperti aku yang lagi bangkrut, makanya sekarang jadi pembantu." Tanpa sadar Lastri menjawab, ia keceplosan bicara, lalu langsung pergi meninggalkan Sopyan.
   "Hey, kamu usaha apa, Las." Sopyan berteriak. Ia penasaran dengan ucapan Lastri, saat ingin mengejarnya tiba-tiba suara klakson mobil berbunyi, itu adalah istri Andi yang pulang ingin mengambil dompetnya yang ketinggalan.
   Sopyan buru-buru kembali ke kamarnya sambil memikirkan ucapan Lastri. Setelah istri Andi pergi kembali, Sopyan diam diam masuk ke dalam mencari Lastri. Namun, pundaknya tiba tiba di tepak oleh seseorang. Sopyan berbalik badan terkejut melihat istri Andi. Ternyata yang keluar rumah hanya supirnya saja istri Andi tidak ikut. Kemudian buru-buru ia pergi dari situ kembali ke kamarnya. Istri Andi berteriak parau memanggil suaminya, Andi segera turun menghampiri.
   "Ada apa lagi sayang." Andi panik.
   "Katamu ia tak akan masuk ke dalam rumah, aku tadi melihat ia di dalam sedang planga-plongo mencari sesuatu!!." Istrinya kesal, lalu ia pergi masuk kamar.
   "Hey, tunggu dulu." Andi berteriak, menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia tak mengejar istrinya, ia pergi menuju kamar Sopyan.
   Sopyan binggung, takut di sangka maling. Ia mondar-mandir dalam kamar, pikirannya kacau, perasaannya campur aduk. Binggung bagaimana menjelaskan pada Andi, kalau ia jujur, tujuannya hanya ingin mencari Lastri. Tapi lebih baik ia jujur, daripada bohong urusannya akan panjang kalau ketahuan.
   "Kamu sedang apa di dalam, Yan." Andi membuka pintu, bertanya.
   "Aku ingin bertemu Lastri, Di." Sopyan menjawab santai, walau hatinya deg-degan.
   "Ada urusan apa, Yan." Andi bertanya tegas. Kali ini Sopyan tak bisa jujur, ia harus bohong. Sepertinya Andi tak tau kalau Lastri memiliki bisnis. Hampir satu menit Sopyan terdiam.
   "Aku ingin berkenalan dengannya, berbincang santai. Pening kepalaku berada dalam kamar terus, Di." Tangan Sopyan tak bisa diam, ia menunggu jawaban, Andi menatap tajam wajahnya.
   "Baiklah, aku percaya. Nanti kalau pekerjaan Lastri sudah beres aku akan menyuruhnya menemui kamu di halaman depan." Andi tersenyum.
   Sopyan mengangguk, lalu menghela napas panjang. Akhirnya Andi tak mendalami rasa curiganya.
   Andi langsung pergi menuju kamarnya, lalu menghampiri istrinya yang masih kesal. Ia menenangkan, namun tak bisa. Istrinya butuh sendiri, Andi di usir dari kamar. Istri Andi sangat ingin Sopyan pergi dari rumahnya. Ia tak ingin ada orang lain masuk dalam rumahnya. Kalau bukan karena suaminya ingin balas budi, tak mungkin ia mengizinkan, itupun terpaksa. Karena sebaik-baiknya wanita ia tak ingin ada lelaki lain di rumahnya, kecuali suaminya. Kalau sekedar silahturahmi tidak ada masalah.
   Malam tiba dengan langit yang begitu indah serta rembulan menerangi seluruh hati yang rapuh, seperti yang di alami Sopyan. Ia sedang rapuh dan terpuruk setelah di usir oleh istrinya, hatinya hancur berkeping-keping, namun tubuhnya masih bisa tertawa atau sekedar melamun di kamar, ia tak sampai terkena mental. Sopyan berangkat jalan kaki sekitar 5km dari rumah Andi menuju rumah pelanggannya. Berjalan sambil merenungi nasibnya, ia harus kuat, ia harus bangkit dari keterpurukan. Selagi masih ada harapan, ada keinginan, tidak berdiam diri, pasti jalan akan terbuka. Tak terasa Sopyan hampir sampai. Namun belum apa apa kakinya sudah pada pegal, seharunya ia membeli motor atau sepeda listrik, namun uangnya belum kelihatan, jadi terpaksa jalan kaki. Sopyan menyemangati dirinya sendiri, seketika rasa lelah itu hilang, membara energinya.
   "Permisi." Sopyan mengetuk pintu.
   "Iya, masuk saja, Mas, tak di kunci pintunya." Pelanggan memanggil istrinya, menyuruhnya membuatkan kopi dan cemilan.
   Pelanggan membuka bajunya, lalu tengkurap di karpet yang sudah di siapkan. Di sampingnya sudah ada minyak zaitun dan koin logam. Tanpa basa-basi Sopyan mulai mengerok tubuh pelanggannya, kemudian di pijat. Tak lama kopi dan cemilan datang. Sambil mengurut Sopyan makan cemilan, pelanggan menikamati hingga pulas.
   Setelah selesai pelanggan pertama, Sopyan di bayar seratus lima puluh ribu, lalu di beri tip lima puluh ribu. Jarang jarang ada pelanggan yang mengasih tip. Saat Sopyan jalan pulang tiba-tiba ada yang memanggilnya, Sopyan balik badan tak ada orangnya. Memang jalanan sedang sepih sepihnya, karena sudah jam 00:00 malam. Sopyan ketakutan, ia menghitung satu, dua, tiga, saat hendak lari orang yang memanggilnya berada di hadapan Sopyan, terkejut melihatnya, jingkrak lari terbirit-birit. Orang itu binggung padahal ia bukan setan, memang tak ada niatan untuk menakuti. Cukup jauh Sopyan berlari, ia berhenti lari ketika melihat ada orang lain berpapasan dengannya, ia melihat ke belakang sudah tak ada.  
   "Mas, aku bareng kalian ya, Soalnya tadi aku melihat setan di sana."Napas Sopyan tersengal-sengal.
   Dua orang itu mengangguk.
   Sopyan berjalan di belakang mereka. Sambil menengok ke kanan-kiri dan belakang. Saat sudah ingin tiba di tempat tadi, Sopyan berpegangan oleh mereka.
   "Mas, lepas, kenapa pegang tangan kami.
   "Tadi aku melihat setan di sini." Sopyan ketakutan.
   Tiba tiba muncul seseorang, namun kemunculannya tak membuat terkejut.
   "Kamu kenapa kabur, Yan, saya panggil.
   "Hah, yang tadi manggil saya, Bapak." Sopyan terkejut, sambil menunjuk.
   "Dan yang tadi ada di hadapanmu itu anak saya." Bapak itu mengangguk.
   "Saya pikir setan." Sopyan menghela napas. Dua orang yang menemaninya sudah kabur.
   "Malam ini bisa pijat kan?." Bapak itu bertanya.
   "Bisa saja, Pak. Tapi kenapa tidak besok pagi saja. Ini sudah larut malam." Sopyan menyarankan.
   "Bukan saya yang mau di pijat, Yan.
   "Anak, Bapak?." Sopyan bertanya.
   Bapak itu menggeleng. Sopyan di ajak ke rumahnya, lebih tepatnya samping rumahnya.
   "Yang benar saja, Pak, masa saya suruh memijat kambing." Sopyan terkejut, sambil mengusap wajahnya.
   "Kenapa tidak benar!!. Kambing saya kakinya patah, saya binggung bagaimana cara meluruskan tulangnya. Kasihan kambing itu tiap hari tiduran saja, Yan, melihat teman-temannya pada mencari rumput, bermain hingga sore, ia seperti hewan di kebun binatang, mendekam saja." Bapak itu berkeluh kesah tentang nasib kambingnya. Entah punya ide liar darimana, yang seharusnya memijat tubuh manusia ini malah hewan.
   "Saya takut salah urat, bukannya sembuh malah tambah parah, lebih baik sama spesialis pijat hewan saja, Pak." Sopyan menggeleng.
   "Memang ada, Yan." Bapak itu bertanya.
   "Ya, siapa tau ada, coba di cari dulu." Sopyan menyengir, ia asal bicara.
   "Baiklah, maaf sudah menganggu waktumu, Yan.
   "Tidak apa, Pak." Sopyan pamit pulang.
   Saat di jalan ia menyengir sendiri, tidak habis pikir oleh si Bapak tadi. Ada ada saja idenya. Memang tak salah panggil tukang pijat, hanya saja untuk manusia bukan hewan. Malam memberikan sedikit tawa untuk menghibur Sopyan yang banyak pikiran, sekalipun jobnya tak jadi. Selepas puas dengan hiburan tadi, Sopyan melihat jam, sudah larut sekali ia tenggelam dalam malam. Takutnya pintu pagar di kunci, dan bagaimana cara masuknya selain lewat pagar. Tak mungkin ia manjat tembok yang besar itu.  Benar saja dugaannya, ia tak tau lagi lewat mana, hanya satu akses untuk masuk ke dalam. Sekalipun bisa melewati pagar, Sopyan belum tentu bisa masuk garasi, karena pasti pintunya di kunci. Di lihat-lihat sudah tak ada orang lagi. Sopyan menggaruk kepalanya, binggung cara masuknya bagaimana.
   Memang, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Saat Sopyan sudah memutuskan untuk tidur di luar, ia mendengar suara mobil berjalan mengarah ke arahnya, pikiran ia hanya lewat saja. Ternyata mobil itu di tumpangi oleh Andi yang baru pulang entah darimana. Ia di antar oleh seorang wanita.
   "Kamu di kunciin, Yan." Andi turun dari mobil, lalu bertanya.
   "Iya, Di, aku baru balik kerja." Sopyan menyengir. Andi membuka kunci gembok pagar.
   "Tadi yang mengantarmu seperti wanita, Di." Sopyan bertanya, padahal ia tau bahwa itu wanita, pura pura polos saja.
   "Bukan siapa-siapa, Yan. Hanya teman bekerja saja." Andi tersenyum.
   Andi membuka pintu garasi, lalu mereka berpisah, Sopyan menuju kamarnya, Andi masuk ke dalam. Di kamar Sopyan tak bisa tidur karena terbayang bayang oleh wajah sang istri. Esok adalah waktu di mana mereka bertemu, bukan untuk bersama melainkan untuk berpisah. Sopyan akan mempersiapkan diri untuk tak lagi berharap apa apa darinya, untuk bersikap tidak peduli. Namun apakah ia bisa, waktu cepat sekali memisahkan. Padahal Sopyan belum siap kehilangan. Setiap nadi yang berdenyut, setiap hembusan napas yang keluar, selalu terukir dalam hati yang tulus. Itulah mengapa manusia di ciptakan saling berpasangan, untuk mengukir cinta yang belum sempurna. Namun, perpisahan pasti ada, kenangan akan datang membawa luka, dan menjadi sejarah untuk manusia. Seiring berjalan waktu, apakah manusia bisa membuat cerita baru dalam hidupnya, atau hanya sekedar berdiam diri dalam masa lalunya. Semua tergantung pribadi masing masing. Kali ini, apakah Sopyan bisa berjalan tanpa masa lalu, atau ia tak ingin lagi mengenal cinta, bisakah ia berbisnis tanpa ada penyemangat?. Sopyan terhunus pedang yang menancap begitu dalam, sehingga ia tak sanggup mencabutnya. Pikirannya telah membuat dirinya insomnia, memikirkan hal yang seharusnya dapat di lupakan oleh waktu. Ia sudah berbaring ke kanan dan kiri, tengkurap, telentang, namun bayang-bayang istrinya terus menghantui.
   Alarm berbunyi begitu nyaring. Jam memasuki pukul 08:00 pagi. Sopyan kesiangan, ia seharusnya berangkat ke KUA dari setengah jam yang lalu. Tanpa mandi, ia langsung memakai pakaian terbaik, ia di antar Andi dan supirnya. Sopyan harus tetap tenang menghadapi situasi saat di persidangan. Di perjalanan tetap saja hatinya tak tenang. Untungnya ia tak memiliki sifat dendam, atau gusar pada calon mantan istrinya.
   Persidangan menunggu calon tergugat, yaitu Sopyan. Sebelah kanan berbaris Romlah beserta beberapa orang yang mendampingi. Sopyan telat sekitar 20 menit, ia di dampingi oleh Andi saja. Saat berjalan menuju kursi, Romlah memandang orang sebelah Sopyan.
   Setelah gugatan di bacakan, hingga hakim memutuskan. Sidang berjalan lancar, Sopyan dan Romlah resmi bercerai. Sopyan tak memandang wajah Romlah, ia takut timbul sedih di hatinya, walau ia kemarin menangis dan hari ini tak ingin menangis lagi. Sidang selesai, akhirnya Sopyan bisa tenang dan tak gugup saat di tanya hakim, dirinya ingin mengeluarkan air mata, namun tertahan oleh hatinya yang begitu kuat seperti baja. Andi memeluknya, mengelus bahu Sopyan, memberi semangat pada sahabat lamanya itu. Romlah memandang sinis pada Sopyan. Sedangkan Andi saling tatap dengan Romlah saat keluar dari gedung.
   "Sepertinya kamu perlu hiburan, Yan." Andi berbicara, sambil berjalan menuju mobil.
   "Tidak perlu, Di, aku hanya perlu sendiri." Sopyan menjawab lesuh. Seperti tak semangat menjalani hidup.
   Sampai di rumah Andi, Sopyan merenung di kamar. Tiba-tiba Lastri datang membawakan teh dan sedikit cemilan sambil menemani Sopyan yang takut kenapa-kenapa. Pikiran  yang campur aduk, hatinya yang tertusuk duri, gemuruh ombak menghantam tubuhnya, keadaan yang tidak baik baik saja.
   "Apakah kamu ingin meluapkan emosi." Lastri bertanya dengan hati hati.
   Sopyan menggeleng.
   "Aku punya tempat untuk meluapkan emosi. Waktu usahaku bangkrut, aku meluapkan semua emosi yang menggerogoti tubuhku di tempat itu. Apapun masalahnya, tempat itu menjadi penenangku." Lastri ingin Sopyan berdamai dengan lapang dada, melupakan segala hal yang menyakitkan.
   "Aku hanya perlu sendiri. Kamu beritahu aku saja tempat itu." Sopyan tertunduk lesuh. Ia sampai tak penasaran tentang usaha Lastri.
   "Aku minta nomormu, nanti aku kirim alamatnya lewat SMS."Lastri menghela napas. Sopyan menyebutkan nomor teleponnya.
   Dari sekian hal menyedihkan yang Sopyan alami, ini paling sedih. Kehilangan seseorang yang di cintai, walau bukan pergi untuk selama lamanya, namun akan tetap terasa menyiksa diri. Sopyan melihat alamat yang di beri Lastri, kemudian ia langsung menuju alamat itu. Tanpa pamit dengan Lastri ia keluar kamar, lalu berjalan tergesa-gesa hingga tak melihat ada batu di depannya, Sopyan tersungkur. Wajahnya merah, aliran darahnya meningkat. Sopyan menghembuskan napas panjang, mengelus dadanya, jangan sampai ia marah pada batu yang tak bersalah. Lastri melihat dari kejauhan, takut terjadi apa-apa, ia menghampiri Sopyan.
   "Kamu tidak apa apa." Lastri bertanya.
   "Aman, aku masih bisa mengontrol emosi." Sopyan tersenyum.
   "Mau aku temani ke tempat itu." Lastri sekali lagi menawarkan diri. Takut terjadi sesuatu yang tak di inginkan.
   Kali ini Sopyan mengangguk.
   Selama perjalanan yang lumayan jauh. Sopyan jadi terbuka, padahal ia baru kenal Lastri, bicarapun jarang sekali, namun sudah banyak bercerita satu sama lain. Mungkin mereka sedang merasakan hal yang sama, butuh teman cerita, butuh mengungkapkan rasa yang mengganjal dalam hati. Tak terasa mereka hampir sampai.
   "Kita harus masuk ke dalam hutan dulu!!." Sopyan bertanya ketakutan.
   Lastri mengangguk. Ia berjalan duluan sambil menarik tangan Sopyan. Tidak lama setelah berjalan mereka tiba.
   "Taraaa." Lastri mempersembahkan pantai yang tersembunyi di balik hutan lebat tadi,  sambil tertawa kecil.
   "Wahhh!!." Sopyan tak bisa berkata-kata, mulut seperti terkunci melihat keindahan alam yang membuatnya tak berkedip.
   "Silahkan luapkan semua emosimu, berteriak sekencang-kencangnya, tapi jangan mengamuk." Lastri memejamkan matanya sesaat, sambil memperingati.
   "Aku tak ingin meluapkan apapun, aku ingin menikmati suara deburan ombak, lalu memandangi senja." Lantas Sopyan duduk sambil tersenyum, Lastri ikut duduk di sampingnya, menghela napas panjang. Ternyata Sopyan tak seperti yang Lastri pikirkan.
   Hati dan pikiran Sopyan tenang, damai, dan tentram. Seketika rasa sedihnya terlupakan sejenak. Lastri merasakan hal yang sama, namun bedanya ia sudah bisa berdamai dengan masalah
   Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, suara burung mengalun indah mengitari langit langit senja. Sore hari menjelang malam ketenangan terasa menembus dada Sopyan. Seharusnya ia menghabiskan waktu lebih lama lagi berada di pantai tersembunyi, karena senja akan pergi dan malam datang ia memutuskan untuk pulang. Tak ada orang  mondar mandir seperti di pantai wisata, sepertinya sebagian orang saja yang mengetahui pantai tersebut. Sunyi senyap tak berisik, sejenak melepas masalah yang menerpa, sejenak melepas emosi yang membumbung tinggi. Sekarang Sopyan sudah tersenyum, ia harus terbebas dari belenggu cinta Romlah.
   "Ayo pulang, sudah mau gelap." Sopyan berdiri sambil membersihkan celananya yang menempel pasir.
   Lastri mengangguk. Mereka berjalan beriringan menuju jalan raya.
   "Terimakasih, Las, sudah mau menemaniku. Aku sangat lega bisa melepaskan kesedihan ini." Sopyan tersenyum sambil memandangi wajah Lastri.
   "Sudah sepatutnya jangan berlarut dalam kesedihan, harus bisa melupakan dan menatap masa depan." Lastri balas memandangi Sopyan. Mereka berjalan di keramaian kota, kebisingan suara kendaraan.
   "Oh, iya, kamu bisnis apa, Las." Sopyan bertanya, di barengi suara kendaraan, ia baru tertarik membahasnya.
   "Aku bisnis kosmetik, namun sudah bangkrut, karena ada seorang yang ku percaya mengkhianati kepercayaanku, orang itu membawa semua uang perusahaan." Lastri menghela napas panjang. Mereka sudah masuk ke gang.
   "Maafkan aku membuatmu teringat kejadian itu.
   "Aku sudah berdamai dengan kejadian itu, jadi tak perlu risau." Lastri tersenyum.
   "Bagaimana kita bangun usaha yang dulu pernah kamu bangun. Aku akan bantu sekuat tenaga." Sopyan ingin sekali punya bisnis, daripada pusing mikirin bisnis apa, lebih baik bangun kembali yang pernah jatuh.
   "Tidak ada modal, Yan." Lastri menggaruk kepalanya.
   "Aku lagi mengumpulkan uang, nanti kalau sudah cukup aku beri kamu modal, atau kita patungan, bagaimana?." Sopyan menawarkan diri, ingin bisnis bersama Lastri.
   "Boleh, tapi kamu jangan mengkhianati aku!." Lastri menatap tajam Sopyan.
   "Aku janji." Sopyan mengulurkan kelingking tangannya, Lastri menyambut dengan kelingking tangannya. Sopyan tersenyum, Lastri balas senyum itu, lalu gerimis turun perlahan. Mereka berlari lari kecil cukup jauh, hingga lama lama gerimis berubah jadi hujan. Untungnya mereka sudah sampai rumah.
   "Dari mana kalian berdua." Tiba tiba Andi datang bertanya.
   "Aku dan Lastri habis dari pantai. Di dalam kamar aku kepikiran tentang mantan istriku terus, jadi Lastri mengambil inisiatif untuk mengajak aku ke pantai, Di." Sopyan menjawab dengan santai. Sedangkan Lastri ketakutan.
   "Kalau begitu aku masuk dulu ya." Lastri permisi pada Andi dan Sopyan.
   Andi tidak marah pada mereka, ia bersyukur karena Lastri tau apa yang harus dilakukan, dan mengambil keputusan yang tepat agar Sopyan jangan sampai terhanyut dalam kesedihan. Hujan semakin deras, suara gemuruh kilat terdengar nyaring. Angin kencang menerpa apapun yang ada di sekitarnya. Sopyan menuju kamar, sedang Andi tetap berada di tempat, karena ia sedang menunggu seseorang. Sopyan mengganti baju dan celananya yang sedikit basah, tidak lupa ia mandi. Setelah beres beres Sopyan mendengar suara orang bicara. Tanpa basa-basi lagi ia melihat keluar, ternyata Andi yang mengobrol dengan temannya. Seorang wanita yang pernah mengantar Andi pulang, dan membuat penasaran Sopyan. Sopyan menguping pembicaraan mereka di balik pintu garasi. Namun sayang hujan membuat pembicaraan mereka terdengar samar samar, Sopyan kurang dengar apa yang sedang di bicarakan. Pikirannya tak terlalu memikirkan, Sopyan kembali lagi ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya yang sudah kehabisan energi itu. Apalagi sedang hujan membuat tidur terasa dingin seperti di puncak.
   Pagi hari yang cerah, di temani cita-cita yang menganga dalam mimpi, perlahan mulai tandas terbawa kenyataan. Mimpi Sopyan terpotong oleh mesin mobil yang menyala, terdengar jelas karena jaraknya sangat dekat dengan kamarnya. Sopyan terbangun, ada rasa kesel dalam hatinya, namun ia ingat bahwa di sini ia hanya menumpang, tidak punya hak apapun untuk marah-marah. Ia keluar kamar mengintip siapa yang sedang memanasi mobil, ternyata istrinya Andi, langsung masuk kembali ke dalam kamar. Garasi di buka lebar, istri Andi masuk mobil, lalu mobil jalan perlahan, tidak lupa pagar di buka. Tak lama kemudian seseorang datang, Sopyan mengira itu istri Andi yang balik lagi karena lupa membawa sesuatu. Ternyata mobilnya berbeda, Sopyan langsung keluar kamar melihat siapa yang datang. Wanita yang semalam mengobrol dengan Andi datang kembali. Rasa penasaran Sopyan kembali muncul, ia mengintip dari balik pintu garasi. Andi keluar menyambut hangat wanita itu dengan pelukan. Tanpa bicara lagi Andi masuk ke mobil, lalu mereka pergi entah kemana. Sepertinya Sopyan harus cerita pada Lastri.
   "Kamu kenal tidak sama wanita yang sering jemput Andi." Pas sekali mereka berpapasan saat Lastri ingin menutup pagar.
   "Aku tidak mengenalnya, dan aku tidak mau tau itu siapa, bukan urusan aku juga." Lastri mengunci pintu pagar.
   "Jangan jangan Andi selingkuh, Las." Sopyan berpikir buruk.
   "Huss, jangan berpikiran seperti itu. Mungkin teman bisnisnya atau apa gitu." Walau Lastri tak pernah melihat sosok wanita itu, namun ia tetap berpikir positif.
   Sopyan menggaruk kepalanya. Telepon berdering nyaring. Seorang menelpon Sopyan, menyuruhnya pijat. Sopyan mengiyakan, lalu ia buru-buru pergi ke rumah orang itu. Seiring berjalannya waktu, job Sopyan semakin ramai. Sehari bisa tiga kali pijat. Tanpa rasa lelah dan pegal, Sopyan terus mengambil job yang bertebaran bagai daun kering di taman. Pada akhirnya Sopyan bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit uang yang ia tabungkan. Namun, belum penuh terisi, itu masih kurang banyak untuk bisa membuka usaha. Apalagi usaha kosmetik yang terbilang cukup besar modalnya. Dengan keyakinan dan kerja keras yang di usung oleh semangat yang membara, membuat Sopyan terus bekerja ekstra. Ia terus melawan rasa malas yang menghadangnya di depan. Terkadang istirahat yang kurang, membuatnya sedikit kalah dengan rasa malas, namun semangatnya melawan kemalasan, dengan tekad dan asa yang menggebu, membuatnya mendorong rasa malasnya itu. Demi sebuah asa dan cita-cita yang setiap saat Sopyan mimpikan dalam tidurnya, kali ini harus terwujud dalam bentuk kenyataan.
   Setelah sebulan lelah bertarung, sedikit demi sedikit job Sopyan berkurang. Namun uang yang ia tabung sudah tidak sabar untuk di hitung, kira kira selama sebulan Sopyan berhasil mengumpulkan berapa. Dengan perlahan ia membuka celengan yang di bikin dari kaleng biskuit, lalu tengah tutupnya di kasih lubang, lantas di pinggir tutupnya di kasih lem. Sopyan terkejut sekaligus gembira melihat hasilnya yang ia kumpulkan melebihi kapasitas kaleng. Ia mulai menghitung kertas berharga itu, mudah mudahan cukup untuk modal. Hasil itungannya Sopyan dapat lima juta. Angka yang lumayan besar dalam jangka waktu yang singkat. Sopyan buru buru memberi tau Lastri. Namun Lastri tak kunjung keluar rumah, kalau ia masuk ke dalam yang ada istri Andi marah. Bagaimana cara memberitahunya. Apakah Sopyan menunggu saja sampai Lastri keluar, namun takut keburu lupa. Sopyan binggung apa yang harus di lakukan. Tanpa memikirkan hal buruk akan terjadi, Sopyan memberanikan diri masuk ke dalam. Pelan pelan ia masuk seperti maling, diam diam.
   "Rumah apa istana negara ini besar sekali." Ucap Sopyan dalam hatinya.
   Ia sudah menelusuri semua ruangan, namun belum ketemu Lastri. Hanya satu yang tersisa, halaman belakang. Sopyan pelan-pelan membuka pintu belakang, lalu ia memanggil pelan nama Lastri. Lastri menengok, terkejut melihat Sopyan, buru-buru ia menyuruhnya keluar rumah.
   "Aku hanya ingin bilang, kalau aku sudah ada uang untuk kembali membangun bisnismu itu." Sopyan berucap pelan. Lastri tak mendengarnya. Sopyan malah di dorong untuk segera keluar.
   "Nanti aku akan menemuimu." Lastri membisikkan Sopyan.
   Sopyan menghembuskan nafas panjang, setelah berhasil keluar tanpa ketahuan. Namun ia tak tau bahwa ada cctv yang mengintai.
   Sopyan menyimpan uang itu dengan penuh kehati-hatian. Saat sedang merebahkan tubuhnya, seorang mengetuk pintu kamar. Sopyan berpikir itu Lastri, ia membuka pintu, terkejut melihat bahwa yang datang istri Andi. Matanya melotot, wajahnya berapi api, napasnya berhembus dengan cepat, tangannya mengepal.
   "Sepertinya aku tidak melakukan kesalahan." Ucap Sopyan dalam hati yang ketakutan.
   Istri Andi hanya memperlihatkan video Sopyan yang sedang mindik-mindik masuk. Sopyan menggaruk kepalanya, ia tau kesalahannya apa. Ia tak mengetahui bahwa ada cctv dalam rumah.
   "Mulai sekarang kamu keluar dari sini!!." Istri Andi menunjuk pintu garasi, intonasi suaranya kencang sekali.
   "Maafkanku, aku tak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin menemui Lastri saja." Sopyan memohon untuk tidak di suruh pergi.
   Tapi istri Andi sudah geram, tak ada maaf lagi bagi Sopyan. Malam itu juga ia pergi dari rumah Andi. Membawa semua barang barangnya. Andi tak mengetahui itu, begitupun Lastri. Saat melihat kamar Sopyan kosong, ia terkejut dan mencari carinya di sekitar rumah. Namun tak kunjung bertemu. Lastri sedikit menyesal tak mendengarkan ucapan Sopyan siang tadi. Ia berharap bisa bertemu Sopyan kembali, karena ada janji yang harus di tepati.
   Andi baru tau Sopyan di usir, setelah istrinya memberitahu. Andi tak bisa berbuat apa-apa saat istrinya menjelaskan. Ia hanya mendoakan Sopyan supaya dapat tempat yang layak dan nyaman.
   Pada akhirnya uang tabungannya terpaksa di pakai untuk bayar kontrakan. Sopyan tak bersedih hati, mungkin ini sudah takdirnya. Namun ia akan tetap semangat mencari uang. Karena ada hati yang terkoneksi pada hati Lastri yang mengikat, ada rindu dalam kalbu.
   Malam membawa kesedihan, di balut dengan harapan yang pupus. Angin menembus tubuh bersama suara ombak yang menabrak karang. Di pinggir pantai Sopyan merenungi hidupnya. Tak pernah terpikirkan bahwa ia belum merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia selalu menunggu bahagia itu datang tepat waktu, saat semua terasa hampa. Belum lagi usaha yang di impikan harus tertunda karena uangnya terpakai. Sopyan ingin sekali bertemu dengan Lastri, ingin mengungkapkan rasa sedih yang mengganjal di hati. Semenjak cerai dengan istrinya, Lastri adalah tempat cerita bagi Sopyan, begitupun sebaliknya. Semua keluh kesah yang di rasakan selalu ada tempat cerita yang nyaman, itulah yang di rasakan Sopyan saat ini. Ia butuh Lastri ada di sampingnya, walau baru kenal, ia seperti punya tali yang tersambung dengan Lastri.
   "Aku tau kamu pasti berada di sini." Suara yang tak asing di telinga Sopyan, lalu ia menengok ke belakang melihat siapa yang datang, sedikit terkejut.
   "Kamu tau dari mana aku disini." Sopyan bertanya, lalu menghela napas.
   "Dari kata hati. Hatiku selalu menyuruh tubuhku untuk pergi ke pantai ini, karena ada hati yang rapuh." Lastri menyengir.
   Sopyan tersenyum."Aku lagi terpuruk, Las. Entah kemana arah tujuanku, aku butuh kamu sekarang, butuh tempat pulang. Aku tidak tau lagi kemana aku harus pulang, hanya kamu yang aku ingat." Sopyan menunduk, air matanya sedikit keluar. Lastri mengelus bahunya, lalu menaruh kepala Sopyan di bahunya, dan berkata."Bahagia tercipta dari hati yang hancur. Aku ingin menyatukannya kembali walau tak sempurna, bantu aku untuk menyempurnakannya. Namun Sopyan tak mendengar ucapan itu.
   "Ayo pulang. Sudah dua jam kita disini, takut kemalaman." Saking lelahnya Sopyan sampai tertidur di bahu Lastri.
   Sopyan mengangguk."Aku sedikit lebih tenang.
   Mereka berpisah di persimpangan jalan, Sopyan ke kanan, sedangkan Lastri lurus. Keesokan harinya mereka kembali bertemu, karena alasan tertentu, yaitu janji Sopyan pada Lastri.
   "Uangku ke pakai, Las." Mereka bertemu di taman kota. Lastri sudah paham kalau uang itu Sopyan pakai untuk bayar kontrakan.
   "Aku ada sedikit tabungan, bagaimana sisa uangmu gabungkan dengan uangku, kita buka usaha." Lastri menyodorkan uangnya, sambil tersenyum.
   "Ini lumayan besar, Las, sudah berapa lama kamu menabung. Katanya kamu tidak punya modal. Bahkan uangku belum ada setengahnya." Sopyan menatap kagum wajah Lastri.
   "Kamu tidak perlu tau itu, yang terpenting, sekarang kita bisa buka usaha." Lastri tertawa kecil.
   "Baiklah. Kosmetik yang kamu bangun dulu namanya apa." Sopyan bertanya.
   "Laksum skincare, kepanjangan dari Lastri Kusuma. Tapi itu dulu, sekarang aku ingin namanya, Las&Yan. Lastri dan Sopyan, bagaimana?." Lastri memberi ide, lalu menatap tajam Sopyan, agar idenya itu langsung di setujui.
   "Aku setuju." Sopyan tersenyum sambil membayangkan nama yang di buat oleh Lastri.
   Lastri menelpon perusahaan maklon tempat dulu ia membuat kosmetik. Setelah berbincang tentang desain produk dan nama brand, pihak perusahaan maklon setuju, akan segera memproduksi skincare dan mengirim sampel yang Lastri pesan. Mereka tinggal menunggu produknya datang. Lantas hari itu juga mereka mempersiapkan pemasaran produk, lalu tempat untuk live streaming. Pasar mereka adalah online shop, jadi tak perlu membuka toko. Yang di perlukan adalah branding dan kualitas.
   "Aku tak bisa ikut live." Sopyan mengeluh.
   "Kamu tak perlu ikut, itu urusanku, kamu packing produk saja, dan mengirimnya ke jasa kirim." Lastri tersenyum.Tinggal sedikit lagi mereka rapih menata ruangan. Tempat yang sempit dan seadanya, di ubah sedemikian rupa agar terlihat estetik. Lastri live di rumah kontrakan Sopyan, ia semua yang mendesain itu, Sopyan hanya ikut membantu.
   Hal yang paling rumit dari semua itu, Lastri belum bilang pada istri Andi bahwa ia ingin resign, dan ingin membuka usaha.  Ia baru ingat saat semua sudah selesai, tinggal menunggu produknya di kirim.
   "Nanti aku bantu bicara dengannya." Sopyan mengelus bahu Lastri. Kali ini gantian, Lastri yang bersandar di bahu sopyan. Mereka duduk di depan kontrakan. Udara yang sejuk, menyejukkan hati mereka. Sambil menatap masa depan yang cerah. Sesekali daun jatuh tertiup angin, namun lama kelamaan angin menusuk tulang. Sopyan berinsiatif mengambil jaket di dalam untuk Lastri yang merasa kedinginan.
   "Malam ini aku pulang ke rumahku saja." Lastri berbicara
   "Apa mau ku antar.
   "Tidak perlu.
   Keesokan harinya, Sopyan menemani Lastri bertemu istri Andi. Dengan wajah tegang, dan keringat yang mengucur, Lastri tetap memberanikan diri. Ia harus bisa keluar dari zona nyaman itu, dan kembali pada asal mulanya. Impian sedikit lagi terwujud, kali ini ia bersama orang yang memiliki impian yang sama. Ia sudah percaya Sopyan, dan begitupun sebaliknya. Bangkit adalah cara terbaik untuk menggapai cita-cita.
    "Kamu kenapa bawa orang ini balik lagi." Mereka berpapasan dengan istri Andi yang ingin pergi keluar. Sopyan menelan ludah, ia tak bisa berkata-kata.
   "Aku mengajak Sopyan ke sini untuk menemaniku bicara sesuatu, yang menurutku sangat sulit untuk di bicarakan." Lastri menghela napas."Aku ingin mengajukan resign, Bu. Aku ingin kembali membuka usaha yang dulu pernah bangkrut, bersama Sopyan." Wajah Lastri tampak lebih tegang, begitupun Sopyan.
   Istri Andi menghembuskan nafas panjang." Kalau memang itu keputusan kamu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga mau minta maaf padamu, Yan. Atas segala perkataanku yang tidak mengenakan, atau prilaku ku yang membuatmu sakit hati. Alasannya, karena aku tak ingin ada lelaki lain di rumah ini, aku hanya ingin menjaga kehormatanku.
   Tiba-tiba suara dering telepon berbunyi. Istri Andi mengangkat teleponnya, lalu terkejut mendengarnya, handphonenya jatuh dari genggaman tangannya. Istri Andi bergegas. Sopyan dan Lastri binggung apa yang terjadi, Lastri tak sempat mengucapkan terimakasih. Mobil yang di tumpangi istri Andi sudah pergi, Sopyan dan Lastri menyewa taksi, lalu membuntutinya.
   "Kira-kira ada masalah apa ya, Las." Sopyan berbicara, taksi melaju dengan kecepatan tinggi, karena lumayan jauh mereka tertinggal.
   "Aku tak tau, mudah mudah tidak terjadi apa-apa." Wajah Lastri tampak cemas, ia menjadi tak enak dengan istri Andi.
   Mereka sedikit terkejut melihat mobil istri Andi masuk ke dalam kantor polisi. Sopyan menyuruh supir taksi berhenti, lalu mereka diam-diam jalan di belakang, membuntuti. Dari jarak 30 meter, di bawah pohon mangga,  mereka memandangi istri Andi yang tak tau menunggu siapa. Banyak polisi mondar mandir, membuat mereka sesekali pura pura berbincang, agar tak di curigai. Siapa sangka, saat Andi keluar menemui istrinya, mereka terkejut lagi melihat Andi memakai baju tahanan. Di belakang Andi ada wanita yang sering menjemputnya, yang sering di curigai oleh Sopyan.
   "Itu wanita yang kamu curigai." Lastri menunjuk.
   Sopyan mengangguk."Kan sudah aku bilang wanita itu selingkuhan Andi.
   "Bukan itu yang aku maksud. Wanita itu. Ia adalah orang kepercayaanku!!." Tiba-tiba tubuh Lastri lemas tak berdaya, seperti ada beban berat di pundaknya. Napasnya tersengal-sengal, Lastri ingin pingsan, Sopyan menahan tubuhnya, lalu menyuruh Lastri bersandar di pohon mangga, mulutnya terkunci, tak bisa berkata-kata. Terkejut hebat melihat wanita itu. Sopyan mencoba menenangkan Lastri. ia tau maksud ucapan itu. Jangan sampai Lastri emosi, dan tak bisa mengendalikan diri. Mereka bisa ketahuan keberadaannya, akan menambah masalah. Untungnya Lastri bisa tenang, dan tubuhnya bisa di kendalikan.
   "Selama bekerja dengan Andi, kamu tak pernah melihat wanita itu." Sopyan bertanya dengan penuh kehati-hatian. Agar Lastri tak tersinggung.
   Lastri menggeleng. Pikirannya sedang kacau, sepertinya hatinya ikutan kacau. Sepertinya Lastri tak mau diajak bicara dulu, ia butuh sendiri, sama dengan Sopyan dulu saat diusir oleh mantan istrinya. Mereka tak melanjutkan memata matai istri Andi. Sopyan mengantarkan Lastri pulang. Lastri tak tau apa yang harus ia lakukan. Apakah harus menuntut wanita itu?, dan menyuruhnya mengembalikan semua uangnya, atau ia biarkan saja, Lastri bimbang. Sedangkan Sopyan coba menghiburnya, mengajak Lastri berkeliling kota. Namun, Lastri menolaknya. Sudah tidak tau lagi apa yang harus dilakukan, Sopyan pergi meninggalkan Lastri sendiri. Yang ada di pikirannya saat ini. Mengapa Andi bisa di tangkap polisi?. Apa kasusnya?.
   Setelah pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiran Sopyan. Tidurnya pun jadi tak nyaman. Seperti ada yang mengganjal dalam pikirannya. Sopyan memutuskan untuk kembali ke kantor polisi, bukan untuk memata matai. Namun ia ingin bertemu Andi, sekaligus menanyakan perihal pertanyaan yang mengganggu tidurnya itu. Apapun kesalahan yang Andi perbuat, tak ada rasa kecewa ataupun benci. Sopyan masih menganggap Andi sebagai sahabat lamanya, yang sekian tahun tidak bertemu. Dan karena mantan istrinya, Sopyan bisa bertemu kembali. Jadi, perceraian bukan tentang kehilangan saja, namun menemukan yang belum tepat, dan mendapatkan orang orang baik, walau tak sepenuhnya, itu manusiawi. Tak ada kesempurnaan dalam diri seseorang, tetap berusaha lebih baik dari kemarin, itulah ajaran ibunya Sopyan.
   "Apakah ada tahanan bernama Andi, Pak." Sopyan bertanya pada polisi penjaga lapas. Karena ia melihat Andi sudah tak ada di tempat sebelumnya.
   "Kamu kerabatnya, atau apa?." Polisi itu bertanya balik.
   "Saya sahabatnya, Pak.
   "Tahanan bernama Andi sedang di interogasi. Jangan jangan kamu pemain juga, ya?." Polisi itu menatap tajam Sopyan. Dalam hatinya, Sopyan tidak tau apa yang dimaksud dengan ucapan pemain itu.
   "Pemain apa, Pak." Sopyan sedikit gugup. Ia benar-benar tidak mengetahui apa apa.
   "Judi online. Kawanmu itu bandarnya." Polisi itu langsung pergi. Tiba tiba seorang datang, wajahnya tidak asing. Itu seperti mantan istrinya. Sopyan menghampirinya.
   "Kamu sedang apa disini, Rom." Sopyan menatap penasaran.
   Romlah terdiam, mematung, terkejut melihat Sopyan berada di hadapannya."Aku sedang,,,membuat SKCK." Romlah tersenyum. Tak berani menatap wajah Sopyan
   "Kenapa tidak di polsek saja, kan lebih dekat." Sopyan menatap tajam Romlah.
   "Karena disini lebih cepat, aku butuh sekarang untuk melamar kerja. Aku duluan, ya." Romlah pergi begitu saja. Sopyan tak mau ambil pusing, ia tak terlalu memikirkannya. Yang terpenting ia sudah tau apa kasus Andi, itu lebih menenangkan pikirannya. Besok Sopyan akan kembali lagi, mungkin bersama Lastri, kalau Lastri sudah bisa menerima kenyataan, dan lebih tenang.
   Sekarang Sopyan sudah bisa tidur dengan tenang, tak ada lagi yang harus di pertanyakan, tak ada lagi yang menghantui pikirannya. Saat sudah mulai setengah sadar, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuk. Sopyan mendegus kesal."Hari yang menyebalkan." Dengus Sopyan. Lantas Sopyan membuka pintu. Melihat siapa yang datang. Ternyata kurir.
   "Saya ingin mengirim paket atas nama Lastri." Kurir itu menaruh lima kardus yang tersegel di lantai.
   "Terimakasih, Pak." Sopyan tersenyum, lalu kurir itu pergi. Sopyan memasukan kardus kardus itu ke dalam."Cepat sekali sudah sampai saja." Ucap Sopyan dalam hatinya.
   Buru-buru Sopyan pergi ke rumah Lastri. Ia ingin mengasih tau bahwa kosmetiknya sudah datang, sekalian dengan stempelnya. Sopyan sangat antusias sekali, mudah mudahan Lastri bahagia dan bisa sedikit melupakan masalahnya. Akhirnya cita-cita yang selama ini Sopyan impikan bisa terealisasikan. Wajah Sopyan berbinar binar, rasa kesal yang menganggu dua kali tidurnya, kalah dengan rasa bahagianya. Ini adalah awal yang baik, mudah mudahan usahanya lancar, laku, banyak yang suka dengan produknya.
   "Permisi." Sopyan mengetuk pintu. Tak ada jawaban dari dalam, ia mencoba sekali lagi.
   "Siapa, ya?." Terdengar suara dari dalam, lalu membukakan pintu.
   "Saya temannya Lastri, Lastrinya ada, tidak." Sopyan sedikit kikuk.
   "Baru saja keluar. Saya tidak tau ia kemana."Ternyata ada wanita lain di dalam rumah Lastri. Entah temannya atau kakaknya. Yang pasti bukan ibunya, karena wanita itu belum begitu tua.
   Lantas Sopyan pamit pulang, lalu ia binggung kemana Lastri pergi. Kata hatinya mengatakan, bahwa Lastri berada di pantai tersembunyi. Karena Lastri pernah bilang."Apapun masalahnya, aku pasti pergi ke pantai itu. Tanpa basa basi, Sopyan langsung bergegas menuju ke sana. Langit tampak gelap, sepertinya hujan akan turun, Sopyan tak mempedulikan itu. Ia akan menerobos hujan. Sekarang, Lastri adalah prioritas utamanya. Tanpanya, ia pasti masih bimbang dengan jalannya. Tanpanya, ia tak bisa bangkit dari keterpurukan. Jadi, inilah saatnya ia harus berada di samping Lastri. Karena, segala yang menyakiti akan kembali tumbuh.
   Saat tiba di pantai, Sopyan melihat-lihat sekitar, namun tak ada Lastri, ia coba mengelilingi pesisir pantai, juga tak ada.
   "kalau bukan disini, Lastri pergi kemana." Ucap Sopyan dalam hatinya.
   "Lastri, kamu dimanaaa!!." Sopyan berteriak kencang.
   "Aku disini, Yan." Lastri tersenyum. Sopyan menengok ke belakang. Menatap Lastri dari ujung kaki hingga kepala, hanya melihat, ini benar Lastri atau bukan.
   "Maafkan aku, ya. Di saat kamu terpuruk aku tak berada di sampingmu."Sopyan menghela napas. Matanya berkaca kaca.
   Lastri tersenyum, satu tetes air matanya keluar."Tidak apa, Yan. Aku sudah lupakan semuanya, aku sudah menerima takdir. Kenyataan memang sakit, Yan. Aku tak bisa menghalaunya, hanya bisa menerima.
   Sopyan menunduk, tak bisa berkata apa-apa. Ia memeluk Lastri. Lantas hujan turun dengan derasnya, membawa pergi luka, membawa segala yang menyakitkan.
   Mereka menari di atas hujan, sambil tertawa. Selepas hujan pergi, senja datang membawa bahagia. Deburan ombak membuat suasana syahdu. Sesekali burung terbang di atas kepala. Pantai tersembunyi memberikan kesan yang berarti. Disitulah tempat menenangkan diri. Sekarang, pantai itu menjadi tempat favorit bagi Sopyan, semenjak Lastri memberitahunya.
   "Aku lupa satu hal. Kosmetik yang kita pesan sudah datang. Mulai besok kita sudah bisa menjualnya." Sopyan memberitahu Lastri dengan sangat antusias.
   "Oh, iya. Aku bahagia mendengarnya. Kalau begitu aku ingin melihatnya." Lastri mengajak pulang. Ia juga sangat antusias ingin melihat kosmetiknya.
   Selama perjalanan menuju kontrakan Sopyan, Lastri berlari meninggalkan Sopyan yang tak sanggup mengejarnya. Karena saking antusiasnya ia sampai tersandung batu, lalu tersungkur. Sopyan buru-buru membangunkannya.
   "Santai saja, tidak usah tergesa-gesa. Kosmetiknya tidak akan pergi juga." Sopyan membopong tubuh Lastri. Ia memandangi wajah Sopyan, senyum senyum sendiri. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya sedikit memerah.
   Sopyan menurunkan Lastri setiba di kontrakannya. Lantas mengambil lima kardus berisi kosmetik. Lastri membuka kardusnya, ia periksa satu persatu. Sudah sesuai menurutnya, Lastri menyuruh Sopyan memasukan kembali.
   "Jadi mulai kapan kamu live streamingnya." Sopyan bertanya, sambil membuang kardus bekas yang sudah tidak terpakai.
   "Besok aku sudah mulai live, tapi di satu aplikasi dulu. Sisanya aku taruh di online shop. Aku ingin membangun branding produknya terlebih dahulu, nanti kalau sudah banyak peminatnya, aku akan live di beberapa online shop juga." Lastri sedikit menjelaskan. Sopyan tak paham akan itu, ia hanya mengangguk saja, menyerahkan semuanya pada Lastri.
   Malam menyambut sunyi, dengan angin sedikit mengibarkan rambut, Sopyan sedang menunggu Lastri. Mereka ingin menengok Andi di kantor polisi. Tidak lupa, Sopyan membeli buah-buahan dan sedikit makanan. Di lantai ia duduk, sambil merenungi perasaan yang kian hari kian tumbuh. Apakah Sopyan sedang jatuh hati lagi, ia binggung dengan perasaannya. Tak mungkin jatuh hati pada partner bisnis. Apalagi selama ini, ia menganggap Lastri seperti adiknya sendiri. Mungkin Lastri pun memandang yang sama, Sopyan seperti kakaknya sendiri. Pikirannya sedikit kacau, namun ia masih bisa menghalaunya. Tanpa sadar, Lastri ada di sampingnya.
   "Bhaaa." Lastri memegang bahu Sopyan, mengangetkannya."Kamu sedang mikirin apa, Yan. Sudahlah, aku saja bisa berdamai dengan semuanya.
   Sopyan sedikit terkejut."Aku tak memikirkan apa apa. Aku lagi binggung saja sama perasaan ini.
   "Kamu jatuh cinta lagi?." Lastri menyeringai. Ia tertawa terbahak-bahak, tak sanggup menahannya.
   Sopyan merengut, hanya bisa terdiam saja. Soalnya orang yang ia binggung kan berada dihadapannya."Ayo kita berangkat sekarang. Taksi sudah menunggu di depan.
   Mereka naik, lalu perlahan taksi jalan. Keindahan kota saat malam hari memberikan kesan candu. Masing masing mereka memandangi lampu lampu yang menghiasi kota dari balik kaca mobil. Lalu lalang kendaraan pun sedikit lenggang, tidak macet.
   "Tidak terasa, ya, sudah sampai saja." Lastri berbicara saat ingin turun. Tak lupa Sopyan membayar ongkosnya. Mereka berjalan menuju polisi penjaga lapas.
   "Permisi, Pak. Mau tanya, apakah disini masih ada tahanan bernama Andi." Lastri bertanya pada salah satu polisi.
   "Ah, kamu lagi, bosan saya melihatnya." Polisi itu menunjuk Sopyan. Ternyata ia polisi yang tadi siang.
   Sopyan menyeringai
   "Kamu mengenalnya?." Lastri beebisik pelan pada Sopyan.
   Sopyan mengangguk.
   "Sekarang sama pacar ke sini nya." Polisi itu meledek. Sambil menyeringai.
   "Ini partner saya, Pak." Sopyan tersenyum ramah.
   "Ada atau tidak, Pak." Lastri menegaskan pertanyaannya tadi.
   "Lagi di sidang, nanti kalau sudah selesai, ia akan di bawa kesini, untuk beberapa hari, baru dipindahkan lagi." Polisi itu sedikit menjelaskan. Tidak lama Andi datang bersama dua polisi yang memeganginya, Andi di borgol, dengan wajah tertunduk. Di belakangnya istri Andi mengikuti.
   "Bagaimana, Bu?. Berapa lama Pak Andi di tahan?." Lastri bertanya, selepas istri Andi di suruh tunggu oleh polisi.
   "Seumur hidup, Las." Istri Andi menangis tersedu-sedu. Wajahnya tak lagi cerah, matanya sembab. Lastri coba menenangkan, memeluknya. Satu polisi menghampiri mereka.
   "Kamu Sopyan?." Polisi itu menunjuk. Sopyan mengangguk."Mari ikut saya sebentar.
   Sopyan sedikit terkejut, lalu ia mengikuti polisi itu dari belakang. Sopyan di bawa ke sebuah tempat mirip ruang isolasi."Silahkan." Polisi itu menyuruhnya duduk. Tiba-tiba Andi masuk tanpa pengawalan.
   "Aku ingin jujur, Yan. Aku harus mengatakan semua ini sebelum terlambat. Aku dihukum seumur hidup." Andi menunduk. Sopyan sudah tau itu dari istri Andi tadi.
   "Aku sebenarnya bandar judi online." Andi menunduk lagi, ia tak kuasa menatap wajah Sopyan. Namun, lagi-lagi Sopyan sudah tau itu dari polisi.
   Andi terisak-isak, tak kuat menahan air matanya. Ia akhirnya menangis untuk kesekian kalinya. Tak kuasa membendung semua kesalahan yang sudah di buat.
   "Aku selingkuh dengan mantan istrimu, Yan. Dan istriku belum mengetahui itu. Aku juga tau bahwa yang mengambil uang perusahaan Lastri adalah asistenku, yang sering menjemputku." Andi sesenggukan, air matanya sudah habis, matanya sembab.
   Kali ini Sopyan terkejut!!. Seperti di timpa gajah. Bukan karena wanita yang membuat penasarannya, melainkan, sahabatnya selingkuh dengan mantan istrinya."Kenapa dunia ini begitu sempit, memang tak ada lagi wanita selain mantan istrinya." Ucap Sopyan dalam hatinya. Sopyan tak bisa berkata-kata, ia hanya bisa menggelengkan kepala, lalu menghela napas panjang.
   "Maafkan aku, Yan!!." Andi bersujud di hadapan Sopyan. Karena, ia masih memandang Andi sebagai sahabatnya. Sopyan menyuruh Andi bangun
   "Aku tidak marah padamu, Di. Justru aku ingin mengucapkan terimakasih atas kejujuranmu."Sopyan tersenyum, padahal hatinya masih bertanya-tanya."Kenapa bisa Andi terjerumus pada wanita sukar itu. Tiba tiba polisi masuk untuk memperingati, bahwa jam bicara sudah habis.
   "Tolong, jangan beritahu istriku, Yan. Jaga ia baik baik." Andi berbisik sebelum Sopyan keluar."Hey!!, jangan lama-lama." Polisi memperingati sekali lagi untuk Sopyan segera keluar.
   "Sopyan binggung dengan ucapan terakhir Andi. Bagaimana caranya ia menjaga istri Andi. Apakah ia harus menikahinya?." Ucap Sopyan dalam hatinya. Namun pikirannya langsung mengubris. Tak mungkin ia menikahi istri sahabatnya sendiri.
   "Bagaimana, Yan?." Lastri bertanya setelah Sopyan menghampirinya. Sopyan terdiam, ia tak menghiraukan pertanyaan Lastri.
   Sebelum pulang, Sopyan menitipkan buah buahan dan makanan kepada polisi penjaga. "Ah, terimakasih. Tak usah repot-repot." Polisi itu menyeringai, bahagia sekali ia di bawakan buah-buahan dan makanan.
   "Itu bukan buat, Bapak. Itu buat Andi sahabat saya, saya hanya minta tolong, tolong kasih ke Andi." Sopyan tersenyum ramah. Polisi itu langsung memasang wajah masam, lalu pergi begitu saja.
   "Semua yang aku miliki sekarang disita, termasuk rumah. Aku binggung harus pulang kemana, sedangkan ayah dan ibuku sudah pergi sejak lama. " Istri Andi menghela napas. Mereka sedang naik taksi. Gerimis sedikit membasahi jalanan, jalan cukup lenggang, hanya ada beberapa mobil yang melintas.
   "Pulang ke rumahku saja, Bu." Suara gerimis yang semakin membesar.
   "Bagaimana dengan orang tuamu." Istri Andi bertanya, cemas.
   "Mereka sudah pergi sejak lama. Hanya ada aku dan kakakku saja." Lastri tersenyum tipis. Sopyan merasa prihatin, sekaligus tersenyum tipis, karena ucapannya tadi. Sedangkan istri Andi merasa lega mendengarnya.
   Sampai di rumah Lastri, Sopyan tak ikut turun, ia langsung pulang tidak mampir dulu. Tubuhnya sudah lelah, ingin cepat cepat berbaring di kasur. Karena tidur adalah cara melupakan sejenak masalah, ia buru buru ingin tidur.
   Keesokan harinya. Saat Fajar naik, Sopyan masih terlelap dalam tidurnya. Sampai matahari menimbulkan cahaya, ia belum juga bangun. Hingga Lastri datang mengetuk pintu, tak ada jawaban dari Sopyan. Lastri datang bersama istri Andi,  istri Andi menawarkan diri ingin ikut, karena tidak enak di rumah Lastri kalau tidak ada orangnya. Cukup lama mereka menunggu di depan, Sopyan belum kunjung membukakan pintu. Lastri memandang istri Andi yang sedang melamun, terkadang melihatnya prihatin.
   "Apakah ibu mau ikut live dengan saya. Nanti kalau banyak yang beli, ibu akan saya gaji." Lastri menawarkan, supaya istri Andi bisa sedikit ceria. Walau bagaimanapun, ia adalah orang yang baik bagi Lastri. Tak pernah menuntut apapun selama Lastri bekerja dengannya. Mungkin ini saatnya ia memberi pekerjaan, walau belum tau berapa gajinya. Setidaknya Lastri memiliki niat baik. Roda memang berputar, perubahan yang sangat cepat sekali. Dalam hitungan jam semuanya lenyap seketika. Namun, itulah kehidupan. Tak ada orang yang mampu memprediksinya, hanya Tuhan yang tau.
   "Aku tak biasa di depan layar." Istri Andi memandang daun yang jatuh dari pohon. Seperti hidupnya yang menderita."Aku binggung, kenapa Andi tak pernah bicara kalau ia bekerja sebagai bandar judi." Istri Andi menghela nafas.
   "Sabar, Bu. Tidak ada masalah yang berat kalau ibu bisa menerimanya dengan lapang dada." Lastri tersenyum. Terdengar suara pintu di buka. Saat Sopyan keluar, ia terkejut melihat di depan sudah ada Lastri dan istri Andi.
   "Dari jam berapa disini." Sopyan bertanya. Rambutnya masih berantakan, ia belum mandi.
   "Belum lama, dua jam yang lalu." Lastri merengut kesal.
   "Hah!, dua jam yang lalu. Lama sekali." Sopyan menyeringai. Ia tak tau lagi harus bicara apa.  
   "Sudah tau lama, kenapa baru di buka pintunya!!." Intonasi suara Lastri sedikit meninggi.
   "Aku tidur. Aku tak mendegar ada yang mengetuk pintu." Sopyan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
   "Husss. Aku sudah tak mau dengar alasanmu lagi." Lastri langsung masuk ke dalam, tidak lupa mengajak istri Andi.
   Antara kamar tidur Sopyan dan tempat live streaming di kasih penutup, agar privasi Sopyan tak kelihatan. Lastri memulai live, istri Andi melihat lihat kosmetik yang akan di jual, sambil sesekali menatap Lastri yang sedang live. Hatinya tersentuh melihat kegigihan Lastri dalam membangun kembali usahanya dari bawah. Istri Andi tau bahwa dulu Lastri punya usaha kosmetik juga, namun bangkrut. Tapi ia tak tau kalau yang membuat bangkrut Lastri adalah partner kerja suaminya.
   Sedangkan Sopyan binggung mau melakukan apa. Ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Soalnya yang berada disini wanita, dan ia lelaki sendiri, kalau sesama lelaki Sopyan masa bodo, mau di katain bau ban kebakar juga. Sopyan harus wangi, agar dua wanita ini tak mengusirnya.
   Dalam hatinya Lastri sangat bahagia sekali, sebab banyak yang menonton livenya, sekitar ada seribu penonton. Orang-orang pada mengenalinya, banyak yang komen.
   "Mba, Lastri kemana saja baru muncul lagi." Banyak yang komen seperti itu.
   Lastri memperkenalkan produk barunya, di sambut baik oleh penonton. Ia menjelaskan secara detail tentang bahan bahan yang digunakan, tidak lupa ia menjelaskan sekaligus memberi diskon khusus untuk hari ini. Lastri terkejut melihat pesanan dalam keranjang, dan yang checkout, banyak sekali. Ia sampai minta tolong pada istri Andi untuk memanggil Sopyan.
   "Sopyan!!." Suaranya kencang sekali, hingga terdengar di penonton. Lastri memberi isyarat, untuk pelan-pelan saja.
   Sopyan keluar dengan style terbaiknya. Lastri dan istri Andi sampai pangling melihatnya. Rambut klimis, dengan baju oversize, dan celana denim, tidak lupa parfumnya menyelimuti ruangan live, itu adalah pakaian terbaiknya.
   "Kamu mau kemana, Yan." Lastri tak menghiraukan livenya. Ia pangling melihat penampilan Sopyan.
   "Tidak kemana-mana. Aku kan mau packing pesanan. Sudah ada yang mesan belum?." Sopyan bertanya.
   "Banyak, kamu tinggal ngeprint nomor resinya saja." Lastri menjawab. Lantas Sopyan langsung pergi menuju tempat Fotocopy. Sekalian ia membeli cemilan. Lastri melanjutkan livenya, istri Andi menyiapkan bubble wrap, gunting, dan lakban.
   Setalah hampir dua jam live, Lastri menghentikan livenya, ia melihat istri Andi keteteran packing, membantunya. Sopyan yang di tunggu tak kunjung datang, sudah hampir sejam. Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang, Sopyan langsung mengasih resinya. Lastri melihat pesanan ke setiap kota, lalu di cocokan dengan jumlah barang yang di pesan. Tanpa basa basi lagi Sopyan ikut membantu. Setelah semua sudah di packing, Sopyan mengirimnya ke jasa pengiriman. Rasa lelah mereka terbayar dengan ludesnya semua kosmetik, bahagia sekali. Sopyan tersenyum senyum sendiri saat mengantarkan paket paket yang terjual. Mereka tinggal memesan kembali kosmetiknya di perusahaan maklon yang kemarin. Lastri memesan lebih banyak lagi, karena banyaknya permintaan dari konsumen.
   Setiap live, jualannya habis tak tersisa. Hingga mereka merekrut karyawan untuk membantu di bagian packing, karena keteteran. Kalau di live sudah ada istri Andi bergantian dengan Lastri. Istri Andi memberanikan diri berada depan layar, akhirnya, lama kelamaan ia terbiasa dengan itu. Tidak lupa mereka membeli mesin print, agar Sopyan tak bolak balik ke Fotocopy, jadi fokus bantu packing saja. Jualan mereka melesat dengan cepat. Sekarang mereka menyewa ruko, dan kontrakan Sopyan biarlah menjadi tempat tinggal seperti sediakala. Karyawan menambah satu lagi, total ada dua.
   Beberapa bulan kemudian. Sopyan dan Lastri sudah menjadi Bos. Perusahaan Lastri yang dulu bangkrut, kini berdiri kembali. Namun bedanya, sekarang ada Sopyan dan nama kosmetiknya juga berubah, jadi Las&Yan. Sopyan bahagia sekali, akhirnya impianya tercapai. Sementara istri Andi membantu bagian keuangan, Sopyan dan Lastri mempercayainya, tak perlu ragu.
   Saat sore tiba. Sopyan merenung di pantai tersembunyi, bersama ombak yang menemani, dan burung burung yang mengitari di udara. Sopyan tak menyangka bahwa segala kesusahan hidup bisa ia lewati. Mungkin karena ada Lastri juga yang membantu. Ia sangat berterimakasih sekali padanya. Lebih dari kata terimakasih, ada perasaan lain yang membuat Sopyan bimbang. "Apakah perasaan itu bisa di sebut, cinta?."Sopyan menghela napas, binggung. Kalau diungkapkan, nanti tak diterima, ia akan merasa canggung saat bekerja. Kalau tidak diungkapkan, Lastri tak akan tau perasaannya. Akhirnya ia menatap senja, tersenyum. Hatinya sedikit tenang. Sepertinya ia lebih memilih untuk memendam perasaannya. Sopyan merelakan Lastri memilih pilihannya. Lagipula, ia sebatas kakak bagi Lastri.
   Tiba-tiba Lastri datang langsung duduk di samping Sopyan."Senjanya cantik, ya." Lastri berbicara, membuat Sopyan sedikit terkejut.
   "Cantikan kamu, Las." Sopyan tersenyum. Lastri tak menjawab, terus memandangi senja.
   "Apakah senja mengerti cinta?. Aku bimbang dengan perasaan ini. Aku mencintai seseorang, namun aku tak punya nyali untuk mengungkapkannya. Aku hanya terus menunggu dan menunggu, agar seseorang itu memulai duluan." Lastri menghela nafas panjang, tertunduk. Sopyan mengelus bahunya, menenangkan.
   "Siapa orang itu?." Sopyan bertanya penasaran. Ia sudah merelakan Lastri, lebih baik melihat Lastri bahagia dengan pilihannya, daripada harus memaksakan sesuatu yang tak sesuai kata hati.
   "Orang itu kamu, Yan!. Aku tak merasa ada keraguan dalam hatiku. Aku pun tak memandang kamu sebagai seorang yang pernah beristri. Menurutku, kamu adalah orang yang ku cari selama ini. Dari dulu, aku selalu menolak kehadiran lelaki, dari dulu pula, banyak lelaki yang mencoba mendekatiku, namun semuanya tak ada yang cocok. Entah mengapa, saat kamu hadir, aku merasa ada ikatan erat yang menarik hatiku. Aku juga baru sadar, bahwa bunga selalu tumbuh setiap hari. Aku tak peduli kamu pernah menikah. Aku hanya melihat masa depan, bukan masa lalu." Lastri menatap langit, satu tetes air matanya keluar. Akhirnya, perasaannya bisa terungkapkan tanpa sadar. Sedangkan Sopyan termangu menatap Lastri. Hatinya sudah tak bimbang. Ini bukan tentang mengungkapkan atau memendam, tapi antara bahagia sekaligus terharu mendengarnya. Sopyan langsung memeluk Lastri.
   "Aku pun lagi memikirkan hal yang sama. Bagaimana cara mengungkapkan perasaan ini padamu. Aku berniat memendam perasaan ini. Eh, kamu bicara duluan." Sopyan tersenyum lebar. Senja semakin menawan. Burung burung berkicau indah. Pantai tersembunyi menjadi saksi atas perjalanan kisah cinta dua insan yang terpaut jauh usianya.

"Tamat"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun