Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Kemarin

6 Oktober 2018   07:19 Diperbarui: 13 Oktober 2018   21:18 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Detik.net.id (foto: thinkstock)

Untuk kesekian kalinya kalimat singkat itu meluncur dari bibir tipisnya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Segera kulempar langkahku meninggalkan Gadis itu di kafenya sebelum hati ini mendua. Sialnya pada saat itu terdengar alunan sebuah lagu Stinky yang seolah-olah membangun imajinasiku dengannya.

Aku mengalihkan pandangan mataku pada sekumpulan bocah yang berlarian menyongsong suara telolet itu sambil mengacung-acungkan tangannya. Aku tersenyum melihat apa yang mereka genggam. Sejenak polah tingkahnya dapat menghapus tatapan dan senyum manis Gadis di kafe yang mencoba menggapai palung hatiku.

Terlintas bayangan seseorang yang sedang berdiri menungguku terpisah jarak ruang dan waktu beberapa puluh kilometer di sana. Aku sudah terikat janji walau belum sampai mengikat jari manisku. Bus antar kota segera melaju mengantarkan Aku padanya.

"Aku dalam perjalanan" ... send ... kalimat itu tertulis dalam chat pribadiku dengannya.

Sepi ... hanya beberapa orang saja di dalam bus antar kota ini. Aku duduk sendiri di samping jendela. Kembali bayangan Gadis di kafe itu muncul dalam kesendirianku. Aku berada di persimpangan. Long distance ini seperti mencoba melonggarkan ikatan tambatan hatiku. Imajinasiku bertebaran tanpa bisa Aku bendung lagi.

Pandangan mataku menerawang jauh keluar dari jendela bus. Terlihat sekumpulan awan saling berpautan membentuk sebuah hamparan kelabu yang semakin gelap. Segelap imajinasiku yang sedang kuurai untuk menemukan batas-batas kebenaran sebuah janji.

Udara dingin AC pun semakin dingin menemani turunnya setetes dua tetes air hujan dari langit. Hujan pertama yang telah lama dinantikan oleh tanah. Hujan sebagai curahan rasa rindu mendung kepada tanah. Sementara bus antar kota tetap melaju cepat menggerus jarak antara Aku dengan dia. Bayangan Gadis di kafe itupun samar-samar masih menyelinap di rongga kepalaku.

Dan hujan turun dengan derasnya. Aku hanya bisa menggigit jari membayangkan kesetiaan tanah pada hujan. Sebuah kesetiaan akan tanpa arti bila tidak ada yang menjadi pengujinya, begitu pikirku. Hujan pun turun semakin deras diiringi tiupan angin yang semakin kencang. Angin datang sebagai penguji bagi hujan dan tanah. Butiran air hujan berhamburan, daun-daun gugur beterbangan kesana-kemari dan dahan-dahan patah di terjang angin kencang.

Bus antar kota tiba di pinggiran kampung tempat dia menungguku. Suasana sudah porak-poranda. Sebuah pohon besar tumbang melintang di jalan dan baliho baja roboh di samping halte tempat dia biasa menjemput impiannya. Bus harus berputar arah. Sementara Aku melihat dia di sana bersama kerumunan orang dengan wajah ketakutan. Aku gelisah ketika bus berbelok arah dan terus melaju pelan menghindari kemacetan.

"Aku harus turun di halte itu," kataku pada kondektur.

"Tidak bisa mendekat. Macet ... harus belok arah," kata Pak Sopir tetap menekan pedal gasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun