Budhe Ririn menimbrung pembicaraan, "Nenekmu itu wanita tangguh dan ulet. Dia jualan bumbu dapur di kompleks perumahan tentara. Ketika sudah pindah ke Tanjung Pinang, Sabtu-Minggu dia jualan baju dari Singapura."
"Oh, waktu itu masih bebas, ya, Budhe? Orang Kepulauan Riau boleh keluar-masuk Singapura?" tanyaku.
"Betul. Tahun 50-an, orang Tanjung Pinang enak sekali masuk Singapura. Tak perlu visa dan paspor," kenang Budhe Ririn.
Aku memandang foto mendiang kakek yang dipajang di ruang tamu rumah Budhe Ririn. Tampak gagah. Namun, tak sedikit pun ada kesan garang.Â
Aku ingat, para tetangga memuji kakekku sebagai tentara yang ramah. Murah senyum pada siapa saja. Termasuk pada orang-orang biasa di kampung.Â
"Ketika kakekmu pindah dari Bangkinang, banyak orang ingin mencegahnya pergi," tutur Budhe Ririn.Â
"Kenapa, Budhe? Kakek terlalu disayangi, ya?"
Budhe Ririn mengangguk. "Para pengusaha di Bangkinang merasa berhutang budi. Kakekmu tulus tak harap fulus. Mereka sampai kebingungan, bagaimana meyakinkan kakekmu untuk mau menerima tanda kasih di akhir jabatannya di Kodim."
"Wah, kalau aku jadi kakek, aku langsung terima, Budhe. Lumayan untuk jajan bakso," tukasku.
*
Angin sepoi-sepoi yang bertiup di antara dedaunan jati mengiring langkahku mendekati pusara kakek. Satu-dua daun jati tua gugur tertiup bayu senja. Seolah mengingatkanku, suatu hari aku pun akan berpulang. Menyatu dengan pertiwi seperti kakekku.