Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bocah Pemulung Baca Al Quran dan Pasal 34 yang Indah dalam Tulisan

7 November 2020   06:13 Diperbarui: 16 November 2020   12:52 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua anak jalanan tertidur pulas di trotoar perempatan Jalan Gelora, Jakarta. Foto yang diabadikan oleh fotografer Kompas Alif Ichwan ini menjadi foto yang ditampilkan di pameran foto Unpublished di Bentara Budaya Jakarta, 6-12 Februari 2017.(KOMPAS / ALIF ICHWAN)

Siapa tak ikut terharu membaca berita bocah pemulung yang tekun membaca Al Quran sembari mencari penghasilan di jalanan? Saya yang nonmuslim juga ikut berempati dengan bocah saleh usia 16 tahun asal Kampung Sodong, Kelurahan Muarasanding, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut itu.

Ketekunan Muhammad Ghifari Akbar membaca kitab suci Al Quran di emperan toko di Jalan Braga, Bandung itu diabadikan oleh seorang warga dan kemudian viral di media sosial.

Pentingnya Membaca (Kitab-kitab Suci)

Setahu saya, salah satu keutamaan yang penting dalam agama saudara-saudariku pemeluk agama Islam adalah membaca dan tentunya mengamalkan Al Quran. 

Salah satu versi terjemahan ayat yang memuat perintah untuk membaca (iqra') adalah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah" (QS Al 'Alaq: 1-2).

Soal pentingnya membaca kitab suci kiranya ditemukan dalam hampir semua ajaran agama. Kitab Mazmur memuat ayat indah berikut: "Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan cahaya bagi jalanku (Mazmur 119:105)." Kitab ini diakui sebagai bagian dari kitab-kitab suci Yahudi, Katolik, dan Kristen.

Mengutip tulisan Balipost, 3 Oktober 2001, pentingnya membaca kitab Weda tersua dalam ayat suci ini: "Vadhyaayam sravayet pitrye. Dharmasastrani caiva hi. Akhyaananitihasamsca Puranani khilanica" (Manawadharmasastra III.232).

Maknanya, saat upacara yadnya terutama saat pemujaan leluhur, ia harus membacakan kepada tamu-tamunya ajaran Weda, aturan hukum suci, cerita kepahlawanan dan cerita dalam kitab-kitab Purana dan Khila.

Dalam tradisi Hindu di Indonesia pada umumnya dan di Bali khususnya, ada pembacaan ajaran-ajaran agama lewat sastra weda. Pembacaan sastra weda itu lazimnya dalam bentuk kekawin atau prosa yang diambil dari Itihasa dan Purana.

Teladan Muhammad Akbar, si bocah pemulung yang tekun membaca kitab suci perlu diikuti anak, remaja, dan juga orang dewasa pemeluk agama dan kepercayaan apapun di Indonesia ini, yang memiliki kitab-kitab suci penuntun hidup. 

Tribun Jabar- Firman Wijaksana
Tribun Jabar- Firman Wijaksana

Muhammad Akbar seolah "menyindir" saya yang malas membaca kitab suci agama saya. 

Terima kasih, dik Akbar. Saya dengan rendah hati mengakui, banyak yang harus saya pelajari dari semangatmu.

Pasal 34 UUD 1945: Indah Tulisan

Mari beralih pada masalah pokok yang hendak saya angkat dalam tulisan sederhana ini. Kita tahu dan mungkin juga hafal pasal-pasal UUD 1945.

Salah satu pasal yang masih saya ingat sampai sekarang adalah pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi: "

1)  Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

2)  Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

3)  Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Membaca pasal perlindungan hak fakir miskin dan anak terlantar itu, serasa melayang ke surga yang indah. Tempat segala duka lenyap tak bersisa. Sungguh, pasal 34 UUD 1945 ini sangat indah. Setidaknya dalam tulisan, bukan dalam kenyataan.

Mari kita ulik kisah Akbar, bocah pemulung tadi. Ia hanya bersekolah hingga kelas 4 SD. Setelah putus sekolah, praktis ia menjadi anak jalanan. Mengais rezeki dengan mengamen dan memulung sampah. 

Artinya, sudah bertahun-tahun Akbar hidup sebagai anak jalanan. Ia bahkan bertualang hingga Jawa Tengah dan Lampung. Bukan hanya untuk memulung, tetapi terutama untuk mencari ibunya yang telah lama meninggalkannya.

Anak-anak Pemulung di Tangerang

pasutri budiman dari tangerang - dokpri
pasutri budiman dari tangerang - dokpri
Beberapa bulan lalu, saya telah mengulas kisah pasangan suami-istri asal Tangerang yang memberi makanan gratis bagi kaum miskin. Pasutri ini bukan orang kaya. Mereka pemilik sebuah rumah makan kecil di bilangan Lippo Karawaci Tangerang. 

"Kami kasihan melihat derita orang-orang miskin yang tiap hari lalu-lalang di depan warung makan kami. Apalagi di tengah pandemi ini. Akhirnya kami hanya bisa memberi dari kekurangan kami. Membagikan nasi bungkus pada kaum papa," ujar Ibu Tulus (nama samaran) kepada penulis.

Hingga kini, mereka rutin membagikan nasi bungkus pada tukang ojek, pemulung, dan warga miskin lainnya di dua titik. Apakah ada dana dari pemerintah yang mereka terima? Sayangnya tidak ada. Murni upaya sendiri bersama orang-orang budiman lain dari aneka latar belakang suku, agama, dan ras.

"Kami mengajak teman-teman zaman masih sekolah dan kuliah dulu, serta siapa pun yang tergerak hati untuk membantu kaum miskin. Saya sendiri yang berbelanja bahan makanan di pasar untuk memastikan kesegarannya," ujar Bu Tulus. Sang suami mendukung dengan menjadi "tukang antar" dan "tukang bagi-bagi nasi bungkus".

Kisah lengkap di sini (klik). Di antara sekian banyak foto yang dikirimkan pasutri budiman tersebut, ada pula foto anak-anak pemulung.

anak-anak pemulung - dokpri
anak-anak pemulung - dokpri
Mereka tiap hari hilir-mudik di jalanan kota, mengadu peruntungan sebagai pemulung seperti orang tua mereka. Di tengah pandemi, risiko kesehatan jelas makin besar bagi mereka.

Siapa yang Pertama Kali Menolong Anak Jalanan?

Di tengah keprihatinan banyaknya anak jalanan semacam ini, siapa yang pertama kali bergerak menolong? Dinas Sosial? KPAI? Oknum pejabat yang dulu ketika kampanye tampil bak malaikat tak bercacat?

Dengan segala kejujuran, negara sering kali justru bukan yang pertama kali menolong fakir miskin dan anak-anak terlantar seperti Akbar dan anak-anak pemulung lainnya.

Lalu siapa? Warga biasa yang berhati mulia. Orang-orang kecil yang menolong orang-orang kecil. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan. Kita.

Berapa Jumlah Anak Jalanan di Indonesia?

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Kementerian Sosial mencatat, hingga Agustus 2017 jumlah anak jalanan di Indonesia sebanyak 16.290. Apakah data ini valid? Terus terang, data pemerintah lazimnya "ABS" atau "Asal Bapak Senang".

Mengadakan sensus pada kaum marjinal itu sangat sulit. Mereka cenderung berpindah-pindah tempat. Tiada dokumen kependudukan yang dimiliki. Takut pada kehadiran aparat, meski sebenarnya aparat budiman yang hendak mendata dan menolong.

Dengan hantaman pandemi Covid-19 ini, kiranya jumlah keluarga miskin dan anak jalanan makin meningkat. Merekalah sebenarnya kalangan yang paling mendesak diperhatikan negara. 

Anggaran negara dan daerah seharusnya difokuskan untuk menolong fakir miskin dan anak jalanan. Bukan untuk komodo di Pulau Rinca yang sudah ribuan tahun hidup tenang di habitatnya dan tidak pernah minta dibuatkan Jurassic Park.

Fakir Miskin dan Anak Jalanan (Seharusnya) Dipelihara Negara

Tentu tulisan ini tidak bermaksud mengerdilkan kerja keras pemerintah pusat dan daerah dalam menangani anak jalanan. Kementerian Sosial dan pemerintah-pemerintah daerah telah, sedang, dan akan berusaha mendampingi anak jalanan.

Yang saya kritisi adalah kurangnya upaya pejabat dan pegawai dinas terkait untuk turun ke jalanan. Presiden Joko Widodo sudah memberikan teladan semangat blusukan. Nah, bawahan beliau seharusnya juga suka blusukan.

Akbar selama bertahun-tahun mengembara di jalanan, tanpa pernah (kiranya) sekalipun didata dan ditolong Dinas Sosial atau lembaga negara mana pun. Ini artinya, sistem pendataan dan penanganan anak jalanan tidak berfungsi. Jangan-jangan, juga cuma indah di atas kertas saja!

Seandainya sungguh ada, tentu tiap hari pegawai Dinas Sosial dan lembaga terkait di daerah proaktif mendata dan membina anak jalanan. Ini tugas negara yang selama ini kiranya lalai dijalankan dengan semestinya.

Justru yang pertama membantu anak jalanan biasanya warga yang juga berkekurangan dan tak punya dukungan kelembagaan. Seperti pasutri di Tangerang yang tergerak oleh belas kasihan, lantas spontan mengumpulkan donasi dari sahabat dan tetangga demi membantu anak jalanan.

dokpri
dokpri
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga agama selama ini selalu menjadi ujung tombak pelayanan bagi kaum miskin dan anak jalanan. 

Anggaran negara yang dikucurkan berapa dan apakah sampai ke lembaga-lembaga ujung tombak ini? Apakah negara dan pemerintah daerah merasa sudah bekerja ketika nyatanya ada banyak "Akbar-Akbar lain" memulung bertahun-tahun, tanpa pernah sekalipun didata dan ditolong negara?

Mungkin bunyi pasal 34 harus "direvisi" agar lebih sesuai kenyataan. "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara (kalau bisa jangan) oleh negara."

Oh, alangkah lucunya negeri ini. Kaya raya alamnya dan (oknum) pejabatnya, namun masih ada yang miskin warganya. Sampai kapan warga sesama wong cilik seolah dibiarkan menolong sesama wong cilik tanpa dukungan negara? 

Duhai, orang-orang yang selama ini asyik menikmati kekayaan dan jabatan tanpa mau peduli sesama insan, turunlah sekali-kali ke jalanan. 

Ada "Akbar-Akbar lain" yang menanti Anda sekalian. Mungkin mereka tak sesaleh Akbar, namun mereka adalah insan yang suci hatinya dan bisa "membawa" siapa pun yang menolong mereka ikut masuk surga!

Salam peduli! Salam persaudaraan!  Pojok baca: 1, 2, 3.

Artikel bertema serupa: Rumah Baru Pak Akup ; Rumah Terbuat dari Cinta; Suster Kargo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun