Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajarkah Beri Nama Bayi Corona, Covid, dan Lockdown? Ini 5 Hal Penting dalam Pemberian Nama Anak

8 Mei 2020   05:36 Diperbarui: 8 Mei 2020   05:36 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bayi dari Pixabay.com/satyatiwari

Pandemi corona virus baru atau Covid-19 bukan hanya berpengaruh pada kesehatan dan ekonomi, namun juga pada nama bayi. Belum lama ini, sejumlah orang tua memberi nama terkait pandemi corona.

Dikutip dari Kompas.com, dua bayi India yang lahir dari dua ibu berbeda diberi nama Corona Kumar dan Corona Kumari. Ada pula orang tua asal India yang menamai bayi mereka Lockdown.

Sementara di Filipina, seorang bayi yang lahir pada 13 April lalu diberi nama Covid Marie. Seorang bayi Indonesia yang dilahirkan pada Maret lalu diberi nama Kar***ina Co**** Corona. 

5 Hal Penting dalam Pemberian Nama

Pertanyaannya, apakah wajar memberi nama terkait corona dan wabah atau bencana lainnya? Jawaban atas pertanyaan ini bisa amat beragam. Ada lima hal yang patut menjadi pertimbangan: aspek hukum, psikologis, budaya, bahasa, dan sejarah.

1. Aspek hukum


Di dunia internasional, berlaku Konvensi Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Konvensi ini berlaku pada tanggal 2 September 1990. Sampai dengan Desember 2008, 193 negara telah meratifikasinya, termasuk Indonesia pada 5 September 1990.

Artikel 19 Konvensi Hak-Hak Anak itu antara lain menyebutkan bahwa negara-negara harus menjamin hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan fisik dan psikis. 

Secara tersirat, anak wajib dilindungi pula dari perundungan atau bully. Nah, pemberian nama anak dengan nama terkait penyakit, wabah, atau bencana memang berisiko (tapi tidak selalu) memancing perundungan pada si anak ketika ia bertumbuh besar kelak. Ini terkait dengan aspek kedua, yakni psikologi.

2. Aspek psikologi

Nama adalah unsur pokok identitas seseorang. Nama sangat berpengaruh terhadap kepercayaan diri anak. Seorang anak tentu sewajarnya perlu kita beri nama dengan nama positif.

Nama juga adalah sebuah doa. Ini bisa dijelaskan secara psikologis pula. Doa identik dengan sesuatu yang diulang-ulang agar dikabulkan. Nama juga demikian. Bayangkan berapa juta (atau miliar) kali seseorang mendengar namanya dipanggil sepanjang hidupnya?

Jika nama itu bermakna baik misalnya, "Budi" dan "Utami" tentu si anak akan terpacu untuk menjadi seorang berbudi luhur. Nama menjadi afirmasi sikap yang ia kembangkan dalam hidup.

3. Aspek budaya

Pemberian nama juga terkait erat dengan budaya masyarakat setempat. Setiap masyarakat memiliki cara untuk meneruskan kearifan budaya, termasuk dengan menetapkan semacam norma pemberian nama bayi.

Suku-suku tertentu bahkan mewajibkan seperangkat nama untuk bayi-bayi yang lahir demi mempertahankan identitas budaya. Tentu saja, nama-nama ini bisa dipastikan bermakna positif bagi budaya setempat. 

Di Indonesia, kita beruntung memiliki khazanah nama-nama bayi yang amat kaya. Kita memiliki ratusan bahasa daerah yang menyediakan nama-nama positif. Pula kosakata bahasa Indonesia menyediakan bagi kita banyak sekali kata positif untuk menamai anak-anak. 

4. Aspek bahasa

Pemberian nama dari bahasa asing secara serampangan bisa mengganggu. Apalagi, bila nama-nama asing itu dicomot begitu saja tanpa memperhatikan apa artinya dalam bahasa asing. 

Terkadang, kita mengira semua kata dari bahasa asing, apalagi bahasa-bahasa yang dipergunakan untuk menulis kitab-kitab suci aneka agama adalah kata-kata yang selalu baik.

Padahal tidak selalu. Misalnya, salah satu kata bahasa Ibrani (bahasa asli Kitab Suci Perjanjian Lama umat kristiani) adalah abad atau avad.

Seorang ayah Katolik mungkin mengira, "Kata ini dari bahasa Ibrani, pasti baik artinya." Sang ayah lantas memberi nama anaknya Avad. Padahal, avad dalam bahasa Ibrani itu artinya budak. 

Juga kurang tepat membuat nama-nama sedemikian rupa sehingga mirip bahasa asing, tapi terlalu memaksakan sehingga malah ganjil. 

Misalnya, seorang ibu Katolik mengira, asalkan berakhiran -us seperti nama orang suci Katolik (misalnya Santo Fransiskus), suatu nama pasti baik.

Maka si ibu ini dengan mantap memberi nama anaknya Kementus. Sekilas mirip nama santo, tapi...tidak ada seorang pun santo bernama Kementus. Ketika si anak pergi kuliah di Jogja, dia diledek teman-temannya yang orang Jawa. Mengapa? Dalam bahasa Jawa, kementhus justru artinya sok pintar ^_^. 

Karena itu, sebaiknya meminta petunjuk dan nasihat dari tokoh agama atau orang yang sungguh paham bahasa-bahasa asing tersebut sebelum memberi nama anak. 

Repot juga nanti ketika harus mengganti nama lewat proses hukum di pengadilan.

5. Aspek sejarah

Bung Karno pernah menulis, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jasmerah. Hal ini juga berlaku ketika orang tua memberi nama bayi. 

Karena itu, sebaiknya orang tua mencari tahu, apakah nama yang akan mereka berikan ternyata terkait nama tokoh dunia maupun nasional yang -sayangnya-terkenal dursila. 

Nama-nama artis dan tokoh publik (yang masih hidup) sering jadi rujukan orang tua zaman sekarang dalam memberikan nama bayi. Bahkan, beberapa bayi dinamai persis dengan nama artis dan tokoh publik. Pernah terpikir kah, bagaimana jika si artis atau tokoh publik (yang masih hidup) ini terjerumus narkoba atau skandal memalukan? Hmm...runyam kan jadinya? Tapi, kalau sudah telanjur, ya gimana :)

Karena itu, ada baiknya memilih nama yang secara historis "sudah teruji". Para tokoh suci agama-agama dan kepercayaan, pahlawan nasional, ilmuwan, olahragawan, politikus, dan nenek moyang budiman bisa menjadi pilihan yang baik.

Wajarkah Memberi Nama Terkait Corona dan Wabah Lainnya?

Nah, wajarkah pemberian nama corona, covid, lockdown dan segala yang terkait wabah dan bencana? Jawabannya juga bisa beragam, tergantung siapa yang menafsirkannya.

Penamaan  Corona Kumar dan Corona Kumari rupanya terinspirasi gagasan seorang dokter India. Tujuannya mulia: mengingatkan orang di masa depan akan risiko pandemi. Orang tua kedua bayi ini tidak khawatir bahwa anak-anak mereka akan mendapat perundungan. 

Pada masa lalu, orang tua memberi nama terkait bencana alam saat kelahiran si bayi. Misalnya, angin topan dahsyat diabadikan dalam nama bayi Topan atau Ribut. Gempa dikenang dalam nama Lindu. Seorang anak Lombok pada 2018 lalu dinamai Gempa Riz**.

Tentu orang tua bermaksud baik saat memberi anak-anak mereka nama-nama terkait bencana alam atau pun wabah. Mungkin maksudnya justru bersyukur bahwa si anak lahir dengan selamat di tengah bencana. Bisa jadi juga menjadi pengingat sejarah yang hidup. 

Lagi pula, hukum di negara kita tidak melarang nama anak terkait bencana. Sila baca artikel aturan hukum pemberian nama di Indonesia pada laman ini. Para pembaca budiman, sila berkomentar dan memberi masukan. Ada yang punya nama unik?

NB: Hak cipta pada penulis. Dilarang memuat ulang. Bagikan jika Anda pandang bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun